Siska tidak bertanya apapun. Dia lihat saja Raditya dan Melisa meninggalkan rumah. Sudah pasti, ada sesuatu di antara dua orang itu. Siska sangat hafal kelakuan Raditya. Dan Melisa? Ternyata dia lebih buruk dari yang Siska pikirkan."Aku harus cepat bergerak. Aku tidak mau Violetta akan terpengaruh Melisa. Memang dari kota pinggiran dia berasal, tapi ternyata tidak selugu itu. Gila." Siska berkata sendiri lalu dia balik ke ruang atas ke kamarnya.Di kamar sebelah, Violetta sudah selesai mandi. Dia tidak berniat berbuat apa-apa. Hanya mau rebahan hingga tertidur sendiri. Sayangnya, percakapan dengan sang ibu terus berkumandang dan terngiang di pikirab dan kepalanya."Helios butuh kamu. Dan Helios yang akan memberi kamu kebahagiaan." Violetta mendesah. Dia kembali duduk. Gelisah makin mendera. Tangan Violetta dengan cepat membuka galeri dan melihat foto-foto saat dia bersama Helios. Helios memang sangat tampan. Dia jarang tersenyum apalagi sampai tertawa lebar. Terkesan datar dan tena
Raditya seperti sedang kalap. Dia menarik Violetta agar mendekat dan merapat padanya."Kamu jangan jadi benalu. Jangan kamu permainkan aku, hah?!" Raditya menatap Violetta dengan mata menyala.Bau alkohol yang menyengat tercium membuat Violetta mual. Ada apa dengan Raditya? Dia memang mabuk, tapi ...."Sini kamu, Kucing kecil! Sudah beberapa hari kamu menolak aku. Tapi malam ini aku tidak akan melepaskan kamu!" Tangan Raditya menarik Violetta kuat dan menyeret gadis itu ke ruang tengah."Om, lepasin. Om mau apa?!" Violetta menarik lengannya. Dia mulai ketakutan."Mau apa katamu?! Mau apa?!" Raditya makin emosi mendengar ucapan Violetta.Violetta hampir berhasil lepas, tapi Raditya masih lebih sigap. Dia berhasil kembali mencengkeram lengan Violetta. Kali ini kedua-duanya.Tanpa aba-aba, Raditya menarik kuat Violetta dalam dekapannya lalu memberikan ciuman dengan liar.Violetta meronta. Dia makin ketakutan. Dia berusaha mendorong Raditya agar menjauh. Violetta merasa seluruh tubuhnya ge
"Mana laki-laki gila itu?! Aku mau bunuh dia!!" Teriakan Siska menggelegar di seluruh ruangan rumah besar itu. Dia baru datang dari perjalanan dan mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Darah Siska langsung mendidih. Dengan amarah yang meluap, Siska masuk ke dalam rumah dan mencari Raditya."Radit!!!" Semakin keras Siska berteriak sambil berjalan cepat menuju kamar Raditya."Nyonya, tolong tahan emosi, Nyonya. Tolong ..." Dadang terus mengikuti Siska.Dia sangat hafal tabiat majikannya. Jika dibiarkan bisa jadi perang besar di rumah."Kamu mau membela manusia sinting itu?! Hahh??! Sudah bosan hidup juga kamu?!" Siska menyemprot Dadang yang berusaha menghalanginya."Bukan begitu, Nyonya. Semua bisa diselesaikan baik-baik. Kasihan Nona Vio," bujuk Dadang."Kamu minggir atau kamu yang pertama aku hajar?!" Siska berkacak pinggang di depan pintu kamar Raditya berhadapan dengan Dadang.Dadang sengaja berdiri di depan pintu, menahan Siska. Kalaupun bertemu Raditya, Siska harus bisa menekan
Helios memutar tubuhnya dengan cepat. Victor berdiri di depannya, memandangi Helios dengan tatapan heran."Ngapain di sini? Ngintip apa?" Victor bertanya karena penasaran juga."Nanti aku kasih tahu. Bang Victor datang sama Pak Halim?" tanya Helios balik."Yup. Kamu bisa menduga kenapa, kan?" ujar Victor."Ya, soal Pak Radit," jawab Helios."Laki-laki edan. Aku shock mendengar kabar itu dari Pak Halim. Tuan Besar minta secepatnya Pak Halim datang. Aku diajak, karena pasti akan perlu bantuan katanya." Victor menjelaskan."Kenapa Bang Victor tidak ikut bicara dengan mereka?" tanya Helios lagi."Kalau perlu aku dipanggil," ujar Victor. "Kita ke kamarmu saja?""Ayo," ajak Helios.Keduanya masuk ke dalam kamar Helios. Meluncurlah kisah tragis yang terjadi saat Helios pulang dari kantor malam sebelumnya. Victor menggeleng-geleng kesal dan marah. Raditya benar-benar sudah gila. Dia malas, cuma mau menghabiskan uang, dan licik.
"Satu babak selesai. Misimu berhasil satu tahap." Herman menatap Helios. Helios tidak bereaksi. Ya! Bukankah misi yang dia jalankan adalah menyingkirkan Raditya dan Siska? Atau Helios mampu membuat mereka menerima apapun keputusan Herman terkait harta kekayaannya?Raditya akhirnya pergi, tanpa bisa memprotes keputusan Herman. Tapi mengapa Helios sama sekali tidak merasa ini adalah keberhasilan? Sedih, itu yang dia rasakan. "Aku tidak membayangkan akan seperti ini. Tidak sama sekali." Herman berdiri. "Papa mau ke kamar?" Helios ikut berdiri. "Dadaku ..." Herman memegang dadanya yang terasa makin berat. "Aku ambil kursi roda. Sebentar, Tuan!" Victor dengan cepat bergerak. Tidak lama dia kembali dengan kursi roda. Helios membantu Herman naik ke kursi roda lalu mengantar pria itu ke kamarnya. Halim langsung menghubungi dokter dan meminta datang secepatnya untuk memeriksa kondisi Herman. Kejadian itu sangat memukul Herman. Meskipun tampaknya dia kuat, ternyata pria itu rapuh di dala
Melisa memang belum tahu apa yang terjadi dengan Violetta. Raditya pulang dengan tubuh lebam dan memar. Pria itu marah-marah sambil menangis dan mengusir Melisa. Dia bilang akan pergi dan mengosongkan apartemen.Melisa kalang kabut, tapi tidak bisa mengelak. Sebelum Raditya semakin kalap, Melisa memilih meninggalkan apartemen dengan cepat. Dia membereskan barang-barang miliknya asal saja, lalu segera ke rumah Siska mencari pertolongan.Dia yakin keluarga Hartawan akan berbelas kasihan karena dia sudah akrab dengan mereka. Hampir tiap hari Melisa beredar-edar di mansion dan semua baik padanya. Tapi apa yang baru dia dengar dari Siska?"Kalau kamu tidak muncul di sini, Raditya tidak akan jadi gila karena kamu! Kamu benar-benar tidak tahu malu!!" Suara Siska yang masih dipenuhi kekesalan terdengar lagi."Ga mungkin. Itu ga mungkin. Vio, itu ga benar, kan?" Melisa bicara lagi sambil.mengeleng melihat pada Violetta.Violetta bahkan tidak mau mengangkat wajahnya. Dia menenggelamkan wajah di
Kata-kata yang baru Helios dengar dari Violetta jauh dari Violetta yang selama ini Helios kenal. Sejak Helios pertama kali melihat Violetta, di mata Helios, Violetta gadis yang menawan, berkelas, dan menarik.Setelah mengenalnya, Helios memang melihat ada hal yang tidak baik dari Violetta, tetapi jelas bulan soal ketidakpercayaan diri atau rasa diri tidak berharga."Sangat mungkin sejak aku dalam kandungan mama tidak pernah menginginkan aku. Itu kenapa dia tidak benar-benar sayang padaku. Lalu papa? Kalau dia sayang, dia pasti mau peduli denganku. Kenyataannya tidak."Helios melebarkan telinga untuk mendengar lebih dalam lagi jeritan hati Violetta."Beberapa kali aku mencoba menghubungi, tapi tak pernah dia respon. Padahal, dia hidup baik-baik. Papa bahkan punya keluarga, istri dan anak-anak. Aku punya dua adik, Hel, dari papaku. Tapi aku, sama sekali dia tidak mau tahu tentang aku." Kalimat lanjutan yang Violetta ucapkan terdengar miris di telinga.Violetta meluapkan rasa pilu hatinya
Herman meluruskan pandangan matanya melihat pasa Victor yang tampak tegang di depannya."Kamu bekerja dengan baik selama ini, Victor. Sangat baik. Aku senang kamu menunjukkan dedikasi kamu sejak Halim dan aku meminta kamu bekerja dengan kami," kata Herman. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Victor.Victor makin bertanya-tanya dalam hati, persoalan apa yang terjadi sebenarnya. Victor mencoba menerka, tetapi dia tidak yakin."Helios. Kamu yang menemukannya. Aku sepakat kamu dan Halim membawanya kemari. Dia anak muda yang luar biasa. Aku serasa memiliki seorang anak. Aku yakin dia akan menjadi penerus Hartawan yang hebat."Kejadian yang menimpa Violetta, mataku seperti dibuka. Helios dan Violetta tidak sekadar akrab sebagai saudara sepupu. Siska tidak secara langsung mengatakan, tetapi ada sesuatu dengan mereka." Kalimat itu Herman katakan dengan tenang, tapi ada nada geram yang terdengar."Tuan yakin?" Dugaan Victor benar, tetapi dia sendiri tidak yakin. Helios berulang kali memasti