Helios memutar tubuhnya dengan cepat. Victor berdiri di depannya, memandangi Helios dengan tatapan heran.
"Ngapain di sini? Ngintip apa?" Victor bertanya karena penasaran juga.
"Nanti aku kasih tahu. Bang Victor datang sama Pak Halim?" tanya Helios balik.
"Yup. Kamu bisa menduga kenapa, kan?" ujar Victor.
"Ya, soal Pak Radit," jawab Helios.
"Laki-laki edan. Aku shock mendengar kabar itu dari Pak Halim. Tuan Besar minta secepatnya Pak Halim datang. Aku diajak, karena pasti akan perlu bantuan katanya." Victor menjelaskan.
"Kenapa Bang Victor tidak ikut bicara dengan mereka?" tanya Helios lagi.
"Kalau perlu aku dipanggil," ujar Victor. "Kita ke kamarmu saja?"
"Ayo," ajak Helios.
Keduanya masuk ke dalam kamar Helios. Meluncurlah kisah tragis yang terjadi saat Helios pulang dari kantor malam sebelumnya. Victor menggeleng-geleng kesal dan marah. Raditya benar-benar sudah gila. Dia malas, cuma mau menghabiskan uang, dan licik.
"Satu babak selesai. Misimu berhasil satu tahap." Herman menatap Helios. Helios tidak bereaksi. Ya! Bukankah misi yang dia jalankan adalah menyingkirkan Raditya dan Siska? Atau Helios mampu membuat mereka menerima apapun keputusan Herman terkait harta kekayaannya?Raditya akhirnya pergi, tanpa bisa memprotes keputusan Herman. Tapi mengapa Helios sama sekali tidak merasa ini adalah keberhasilan? Sedih, itu yang dia rasakan. "Aku tidak membayangkan akan seperti ini. Tidak sama sekali." Herman berdiri. "Papa mau ke kamar?" Helios ikut berdiri. "Dadaku ..." Herman memegang dadanya yang terasa makin berat. "Aku ambil kursi roda. Sebentar, Tuan!" Victor dengan cepat bergerak. Tidak lama dia kembali dengan kursi roda. Helios membantu Herman naik ke kursi roda lalu mengantar pria itu ke kamarnya. Halim langsung menghubungi dokter dan meminta datang secepatnya untuk memeriksa kondisi Herman. Kejadian itu sangat memukul Herman. Meskipun tampaknya dia kuat, ternyata pria itu rapuh di dala
Melisa memang belum tahu apa yang terjadi dengan Violetta. Raditya pulang dengan tubuh lebam dan memar. Pria itu marah-marah sambil menangis dan mengusir Melisa. Dia bilang akan pergi dan mengosongkan apartemen.Melisa kalang kabut, tapi tidak bisa mengelak. Sebelum Raditya semakin kalap, Melisa memilih meninggalkan apartemen dengan cepat. Dia membereskan barang-barang miliknya asal saja, lalu segera ke rumah Siska mencari pertolongan.Dia yakin keluarga Hartawan akan berbelas kasihan karena dia sudah akrab dengan mereka. Hampir tiap hari Melisa beredar-edar di mansion dan semua baik padanya. Tapi apa yang baru dia dengar dari Siska?"Kalau kamu tidak muncul di sini, Raditya tidak akan jadi gila karena kamu! Kamu benar-benar tidak tahu malu!!" Suara Siska yang masih dipenuhi kekesalan terdengar lagi."Ga mungkin. Itu ga mungkin. Vio, itu ga benar, kan?" Melisa bicara lagi sambil.mengeleng melihat pada Violetta.Violetta bahkan tidak mau mengangkat wajahnya. Dia menenggelamkan wajah di
Kata-kata yang baru Helios dengar dari Violetta jauh dari Violetta yang selama ini Helios kenal. Sejak Helios pertama kali melihat Violetta, di mata Helios, Violetta gadis yang menawan, berkelas, dan menarik.Setelah mengenalnya, Helios memang melihat ada hal yang tidak baik dari Violetta, tetapi jelas bulan soal ketidakpercayaan diri atau rasa diri tidak berharga."Sangat mungkin sejak aku dalam kandungan mama tidak pernah menginginkan aku. Itu kenapa dia tidak benar-benar sayang padaku. Lalu papa? Kalau dia sayang, dia pasti mau peduli denganku. Kenyataannya tidak."Helios melebarkan telinga untuk mendengar lebih dalam lagi jeritan hati Violetta."Beberapa kali aku mencoba menghubungi, tapi tak pernah dia respon. Padahal, dia hidup baik-baik. Papa bahkan punya keluarga, istri dan anak-anak. Aku punya dua adik, Hel, dari papaku. Tapi aku, sama sekali dia tidak mau tahu tentang aku." Kalimat lanjutan yang Violetta ucapkan terdengar miris di telinga.Violetta meluapkan rasa pilu hatinya
Herman meluruskan pandangan matanya melihat pasa Victor yang tampak tegang di depannya."Kamu bekerja dengan baik selama ini, Victor. Sangat baik. Aku senang kamu menunjukkan dedikasi kamu sejak Halim dan aku meminta kamu bekerja dengan kami," kata Herman. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Victor.Victor makin bertanya-tanya dalam hati, persoalan apa yang terjadi sebenarnya. Victor mencoba menerka, tetapi dia tidak yakin."Helios. Kamu yang menemukannya. Aku sepakat kamu dan Halim membawanya kemari. Dia anak muda yang luar biasa. Aku serasa memiliki seorang anak. Aku yakin dia akan menjadi penerus Hartawan yang hebat."Kejadian yang menimpa Violetta, mataku seperti dibuka. Helios dan Violetta tidak sekadar akrab sebagai saudara sepupu. Siska tidak secara langsung mengatakan, tetapi ada sesuatu dengan mereka." Kalimat itu Herman katakan dengan tenang, tapi ada nada geram yang terdengar."Tuan yakin?" Dugaan Victor benar, tetapi dia sendiri tidak yakin. Helios berulang kali memasti
Helios sampai di depan kantornya. Victor menunggu di lobby depan kantor Helios."Hai, Bang. Apa ada masalah? Pesanmu membuat aku cemas." Helios berdiri tak jauh dari Victor duduk."Kita bicara di dalam saja." Victor menengok ke arah ruangan Helios.Helios membuka pintu dan keduanya masuk. Mereka duduk berhadapan dengan situasi yang tegang. Sangat tidak menyenangkan memulai pagi dengan pertemuan panas."Kenapa, Bang?" tanya Helios."Sebenarnya aku tidak suka membicarakan ini. Tapi aku harus bicara, Tuan Muda. Ini menyangkut misi yang harus kamu tuntaskan." Victor memulai tapi tidak memberi clue masalah yang dia mau ungkapkan."Semua hal tentang aku, selama aku jadi Helios, memang tentang misi Tuan Besar. Katakanlah, Bang. Jangan buat aku makin ga tenang." Helios memandang Victor."Kamu ada sesuatu dengan Violetta?" Tak perlu basa-basi. Victor ingin semua segera jelas.Ah, kenapa Helios tidak bisa menduga apa yang Victor mau bicarakan dengannya? "Helios, bilang sama aku." Victor langsu
Cukup lama Violetta berpikir, akhirnya dia mengangguk. Siska tersenyum lagi. Senyum manis. Senyum seorang ibu kepada putrinya. Senyum seperti ini sudah lama sekali tidak Violetta lihat dari sang ibu. "Oke, kita akan pulang. Kamu mau makan apa buat makan siang? Aku akan minta Etti menyiapkannya," kata Siska. "Aku mau omelet," jawab Violetta. "Omelet?" Siska heran dengan jawaban itu. "Omelet seperti yang Helios buatin. Enak sekali," ujar Violetta. "Seperti apa itu? Kenapa omelet? Kamu bisa minta menu yang mewah, yang ... kok omelet?" Siska menggeleng-geleng heran. "Helios masak malam itu, dia temani aku makan. Waktu itu, Ferry datang dan aku benar-benar kacau. Helios membuat aku tenang lagi." Violetta tidak akan lupa malam itu. Siska memandang putrinya. Wajah sendu di sana masih ada, tetapi ada senyum girang yang tersirat. Dan itu karena Helios. Sepertinya Violetta memang mulai membuka diri untuk anak dadakan Herman."Baiklah. Hubungi Helios, minta dia makan malam sama-sama, kala
Mata Violette menghujam, lekat memandang Helios. Perlahan dia maju dan mendekat hingga berhadapan dengan jarak hanya sekian senti saja. Helios merasa detak jantungnya seketika berpacu. Apa yang terjadi dengan Violetta? Kenapa dia menatap begitu pada Helios? "Hel ..." ucap Violetta lembut. Violetta meraih piring di tangan Helios lalu meletakannya di meja di sebelah mereka berdiri. Lalu dia memegang kedua tangan Helios dan menggenggamnya erat. "Kamu ..." Helios tidak tahu harus bersikap apa. Dia bingung mau bicara apa. Violetta maju dua langkah, lalu memeluk Helios. Dia menyandarkan kepala di dada pria tampan itu. Helios makin bingung. Kenapa Violetta tiba-tiba bersikap seperti itu? "Keep being my hero," kata Violetta lembut. Kalimat itu adalah pesan Violetta di chat. Ketika berhadapan, kalimat itu dia ucapkan langsung pada Helios. "Apa aku salah ingin kamu terus sama aku, Hel? Apa aku salah?" Violetta mengangkat mukanya menatap lagi Helios yang memerah. Tentu saja Helios senang.
"Apa yang kamu temukan, Victor?" Herman berbicara dengan Victor di telpon. Dia mau tahu hasil penyelidikan terhadap kecurigaan Herman pada hubungan Helios dan Violetta."Ya, Tuan. Saya minta maaf, tapi saya tidak bisa berdusta. Tuan Muda memang sangat dekat dengan Nona Vio. Saya sudah memperingatkan Tuan Muda," jawab Helios."Jadi benar. Mereka punya hubungan lebih dari sekadar dekat. Mereka pacaran?" tanya Herman lagi dengan suara lebih rendah. "Tidak, Tuan. Tuan Muda mengatakan tidak. Dia akan menjaga jarak dengan Nona Vio. Dia melihat Nona Vio sebagai adik. Dia juga mengatakan tidak akan melanggar perjanjian dan tidak akan mengecewakan Tuan," kata Victor dengan tegas. Dia ingin meyakinkan Herman jika Helios tahu bagaimana membawa diri."Kamu yakin?" ucap Herman."Ya, Tuan. Saya sangat yakin." Victor masih berkata dengan nada tegas yang sama."Kamu tahu, Victor, kenapa aku membuat aturan itu dalam perjanjian yang aku mau Helios sepakatii?" Herman tiba-tiba bertanya sesuatu yang tida
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s