Helios sampai di depan kantornya. Victor menunggu di lobby depan kantor Helios."Hai, Bang. Apa ada masalah? Pesanmu membuat aku cemas." Helios berdiri tak jauh dari Victor duduk."Kita bicara di dalam saja." Victor menengok ke arah ruangan Helios.Helios membuka pintu dan keduanya masuk. Mereka duduk berhadapan dengan situasi yang tegang. Sangat tidak menyenangkan memulai pagi dengan pertemuan panas."Kenapa, Bang?" tanya Helios."Sebenarnya aku tidak suka membicarakan ini. Tapi aku harus bicara, Tuan Muda. Ini menyangkut misi yang harus kamu tuntaskan." Victor memulai tapi tidak memberi clue masalah yang dia mau ungkapkan."Semua hal tentang aku, selama aku jadi Helios, memang tentang misi Tuan Besar. Katakanlah, Bang. Jangan buat aku makin ga tenang." Helios memandang Victor."Kamu ada sesuatu dengan Violetta?" Tak perlu basa-basi. Victor ingin semua segera jelas.Ah, kenapa Helios tidak bisa menduga apa yang Victor mau bicarakan dengannya? "Helios, bilang sama aku." Victor langsu
Cukup lama Violetta berpikir, akhirnya dia mengangguk. Siska tersenyum lagi. Senyum manis. Senyum seorang ibu kepada putrinya. Senyum seperti ini sudah lama sekali tidak Violetta lihat dari sang ibu. "Oke, kita akan pulang. Kamu mau makan apa buat makan siang? Aku akan minta Etti menyiapkannya," kata Siska. "Aku mau omelet," jawab Violetta. "Omelet?" Siska heran dengan jawaban itu. "Omelet seperti yang Helios buatin. Enak sekali," ujar Violetta. "Seperti apa itu? Kenapa omelet? Kamu bisa minta menu yang mewah, yang ... kok omelet?" Siska menggeleng-geleng heran. "Helios masak malam itu, dia temani aku makan. Waktu itu, Ferry datang dan aku benar-benar kacau. Helios membuat aku tenang lagi." Violetta tidak akan lupa malam itu. Siska memandang putrinya. Wajah sendu di sana masih ada, tetapi ada senyum girang yang tersirat. Dan itu karena Helios. Sepertinya Violetta memang mulai membuka diri untuk anak dadakan Herman."Baiklah. Hubungi Helios, minta dia makan malam sama-sama, kala
Mata Violette menghujam, lekat memandang Helios. Perlahan dia maju dan mendekat hingga berhadapan dengan jarak hanya sekian senti saja. Helios merasa detak jantungnya seketika berpacu. Apa yang terjadi dengan Violetta? Kenapa dia menatap begitu pada Helios? "Hel ..." ucap Violetta lembut. Violetta meraih piring di tangan Helios lalu meletakannya di meja di sebelah mereka berdiri. Lalu dia memegang kedua tangan Helios dan menggenggamnya erat. "Kamu ..." Helios tidak tahu harus bersikap apa. Dia bingung mau bicara apa. Violetta maju dua langkah, lalu memeluk Helios. Dia menyandarkan kepala di dada pria tampan itu. Helios makin bingung. Kenapa Violetta tiba-tiba bersikap seperti itu? "Keep being my hero," kata Violetta lembut. Kalimat itu adalah pesan Violetta di chat. Ketika berhadapan, kalimat itu dia ucapkan langsung pada Helios. "Apa aku salah ingin kamu terus sama aku, Hel? Apa aku salah?" Violetta mengangkat mukanya menatap lagi Helios yang memerah. Tentu saja Helios senang.
"Apa yang kamu temukan, Victor?" Herman berbicara dengan Victor di telpon. Dia mau tahu hasil penyelidikan terhadap kecurigaan Herman pada hubungan Helios dan Violetta."Ya, Tuan. Saya minta maaf, tapi saya tidak bisa berdusta. Tuan Muda memang sangat dekat dengan Nona Vio. Saya sudah memperingatkan Tuan Muda," jawab Helios."Jadi benar. Mereka punya hubungan lebih dari sekadar dekat. Mereka pacaran?" tanya Herman lagi dengan suara lebih rendah. "Tidak, Tuan. Tuan Muda mengatakan tidak. Dia akan menjaga jarak dengan Nona Vio. Dia melihat Nona Vio sebagai adik. Dia juga mengatakan tidak akan melanggar perjanjian dan tidak akan mengecewakan Tuan," kata Victor dengan tegas. Dia ingin meyakinkan Herman jika Helios tahu bagaimana membawa diri."Kamu yakin?" ucap Herman."Ya, Tuan. Saya sangat yakin." Victor masih berkata dengan nada tegas yang sama."Kamu tahu, Victor, kenapa aku membuat aturan itu dalam perjanjian yang aku mau Helios sepakatii?" Herman tiba-tiba bertanya sesuatu yang tida
Violetta berdiri di teras menunggu Helios keluar dari rumah Herman. Sudah lima hari sejak makan malam itu, Helios sulit berkomunikasi. Lama menjawab chat, berulang kali ditelpon baru mau menerima. Bahkan sudah sepakat bertemu, ada saja alasan sehingga akhirnya batal.Tapi hari itu Violetta tidak bisa menunggu lagi. Dia harus bertemu dengan Helios. Meskipun mungkin hanya sepuluh menit, itu lebih baik daripada menunggu dan menunggu tanpa kejelasan.Jam setengah tujuh pagi, Helios tampak keluar rumah dengan pakaian rapi. Tampan, gagah, dan berkharisma. Pembawaan Helios makin hari makin seperti Herman. Dan Violetta suka melihatnya."Hel!" Violetta memanggil.Gadis itu turun dari teras dan berlari kecil mendekati Helios yang berjalan menuju kendaraannya.Helios menoleh. "Hai, Vio." Langkah kaki Helios tidak berhenti, bahkan tidak juga melambat."Kita harus bicara." Violetta mempercepat langkahnya dan menjajari Helios."Aku harus cepat berangkat. Pagi ini akan ada meeting penting. Aku tida
Letupan di dada Helios makin kuat mendengar pertanyaan Violetta. Setelah kejadian di dapur malam itu, Helios meninggalkan Violetta dan menjaga jarak begitu rupa. Apa sebenarnya pikiran Helios tentang Violetta? "Vio, kamu jangan salah paham. Aku sama sekali tidak melihat kamu berbeda." Helios makin merasa jahat. Seharusnya dia memang mau bicara dan menjelaskan semua lebih awal. "Oya? Kamu mau membodohi aku?" Sinis Violetta berkata. "Nggak, Vio. Bukan seperti itu," sahut Helios cepat. "Lalu apa?" Violetta menatap makin tajam pada dua bola mata tegas Helios. "Kita bersaudara, Vio. Kamu adik sepupuku. Apa yang terjadi pada kita itu sebuah kesalahan." Helios harus membuat alasan yang paling masuk akal. Violetta harus bisa menerima penjelasan itu.Violetta maju dua langkah. Kepalanya mendongak dengan mata menatap Helios."Aku tidak tahu, apakah Om Her tidak menceritakan padamu, hubungan sepupu antara kita itu sebenarnya bagaimana?" Helios menghirup napas dalam. Tentu saja dia tahu. Ti
"Vio! Sayangku!" Violetta yang asyik menonton drakor di kamarnya, tengkurap di atas kasur, langsung bangun dan duduk bersila. Siska masuk kamar Violetta dengan kertas berwarna merah marun berlilitkan pita emas di tangan.Siska duduk di tepi kasur, lalu tangannya membuka lembar tebal yang dia pegang. Violetta memperhatikan saja. Violetta tahu yang Siska bawa adalah undangan pernikahan."Lihat ini," kata Siska. Dia menunjukkan undangan itu pada Violetta.Violetta membaca undangan yang terbuka lebar di depannya."Bang Victor married?" Violetta melebarkan matanya.Nama yang tertera di undangan adalah nama Victor Handiako dan Donita Arabella. Donita? Ya, Violetta ingat wanita itu. Dia mentor Helios. Wanita cantik yang identik dengan warna hitam itu ternyata kekasih Victor? Violetta sempat terganggu, sebutlah cemburu pada Donita."Kita diundang, Ma?" tanya Violetta."Sudah pasti. Kita ini keluarga Hartawan. Victor itu pegawai Herman," jawab Siska. "Kamu harus tampil memukau hari itu.""Gima
"Sejauh ini aman, Tuan. Tuan Muda benar-benar fokus dengan pekerjaannya. Dia memang anak yang baik, tahu bagaimana bersikap, tahu berterima kasih pada orang-orang yang menolong hidupnya," kata Halim pada Herman.Hari itu mereka bersiap akan menghadiri pernikahan Victor, tetapi masih sempat membicarakan tentang Helios."Baguslah. Aku sedikit kuatir awalnya, Ir. Anak muda biasanya tidak mudah mengendalikan diri. Untungnya, Helios sangat mudah diarahkan. Kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi itu normal. Helios akan belajar banyak melalui semua itu," lanjut Herman."Untuk Victor, apa rencana Tuan setelah ini?" Halim bertanya. "Tidak harus ada yang berubah. Justru andai istrinya mau bergabung di perusahaan atau menjadi asisten khusus seperti kamu dan Victor, menurut aku akan bagus sekali," jawab Halim."Soal itu, terserah mereka saja. Secara karir, Donita juga sudah mapan. Aku hanya berharap dengan berumah tangga, Victor akan makin bersemangat dengan semua tanggung jawabnya," tandas Hali