Letupan di dada Helios makin kuat mendengar pertanyaan Violetta. Setelah kejadian di dapur malam itu, Helios meninggalkan Violetta dan menjaga jarak begitu rupa. Apa sebenarnya pikiran Helios tentang Violetta? "Vio, kamu jangan salah paham. Aku sama sekali tidak melihat kamu berbeda." Helios makin merasa jahat. Seharusnya dia memang mau bicara dan menjelaskan semua lebih awal. "Oya? Kamu mau membodohi aku?" Sinis Violetta berkata. "Nggak, Vio. Bukan seperti itu," sahut Helios cepat. "Lalu apa?" Violetta menatap makin tajam pada dua bola mata tegas Helios. "Kita bersaudara, Vio. Kamu adik sepupuku. Apa yang terjadi pada kita itu sebuah kesalahan." Helios harus membuat alasan yang paling masuk akal. Violetta harus bisa menerima penjelasan itu.Violetta maju dua langkah. Kepalanya mendongak dengan mata menatap Helios."Aku tidak tahu, apakah Om Her tidak menceritakan padamu, hubungan sepupu antara kita itu sebenarnya bagaimana?" Helios menghirup napas dalam. Tentu saja dia tahu. Ti
"Vio! Sayangku!" Violetta yang asyik menonton drakor di kamarnya, tengkurap di atas kasur, langsung bangun dan duduk bersila. Siska masuk kamar Violetta dengan kertas berwarna merah marun berlilitkan pita emas di tangan.Siska duduk di tepi kasur, lalu tangannya membuka lembar tebal yang dia pegang. Violetta memperhatikan saja. Violetta tahu yang Siska bawa adalah undangan pernikahan."Lihat ini," kata Siska. Dia menunjukkan undangan itu pada Violetta.Violetta membaca undangan yang terbuka lebar di depannya."Bang Victor married?" Violetta melebarkan matanya.Nama yang tertera di undangan adalah nama Victor Handiako dan Donita Arabella. Donita? Ya, Violetta ingat wanita itu. Dia mentor Helios. Wanita cantik yang identik dengan warna hitam itu ternyata kekasih Victor? Violetta sempat terganggu, sebutlah cemburu pada Donita."Kita diundang, Ma?" tanya Violetta."Sudah pasti. Kita ini keluarga Hartawan. Victor itu pegawai Herman," jawab Siska. "Kamu harus tampil memukau hari itu.""Gima
"Sejauh ini aman, Tuan. Tuan Muda benar-benar fokus dengan pekerjaannya. Dia memang anak yang baik, tahu bagaimana bersikap, tahu berterima kasih pada orang-orang yang menolong hidupnya," kata Halim pada Herman.Hari itu mereka bersiap akan menghadiri pernikahan Victor, tetapi masih sempat membicarakan tentang Helios."Baguslah. Aku sedikit kuatir awalnya, Ir. Anak muda biasanya tidak mudah mengendalikan diri. Untungnya, Helios sangat mudah diarahkan. Kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi itu normal. Helios akan belajar banyak melalui semua itu," lanjut Herman."Untuk Victor, apa rencana Tuan setelah ini?" Halim bertanya. "Tidak harus ada yang berubah. Justru andai istrinya mau bergabung di perusahaan atau menjadi asisten khusus seperti kamu dan Victor, menurut aku akan bagus sekali," jawab Halim."Soal itu, terserah mereka saja. Secara karir, Donita juga sudah mapan. Aku hanya berharap dengan berumah tangga, Victor akan makin bersemangat dengan semua tanggung jawabnya," tandas Hali
Helios masih memperhatikan Violetta yang tidak menjauh dari sisi bule itu. Mereka beringsut maju mendekat pada mempelai untuk memberi selamat. Dada Helios makin bergejolak dan pertanyaan tentang si bule pun makin merebak di pikirannya."Ayo, kita ke ruang sebelah. Kita tunggu Victor dan istrinya di sana saja." Tiba-tiba Herman bicara.Dia mengajak Helios dan Halim berpindah ke hall tempat resepsi akan dilangsungkan. Helios tidak bisa menolak. Dengan perasaan kesal, Helios mengikuti langkah Herman dan Halim.Melihat itu, Siska mengambil jalan lain, menunggu Violetta. Dia akan mulai permainan tetapi harus dari Violetta lebih dulu."Si bule itu keren banget. Siapa? Mama ga pernah lihat dia," ucap Siska.Dia menarik Violetta ke tempat yang agak longgar. Dia harus tahu siapa pria itu yang tampak akrab dengan putrinya.*Austin Wagner. Dia bilang saudara Donita pacaran sama kakaknya." Violetta menjawab yang dia tahu."Oh? Kamu kenal di mana? Udah akrab gitu," sahut Siska."Ketemu di toilet,"
"Maaf, Pak. Saya tidak merokok. Saya tidak punya korek." Helios menjawab pria itu dengan sopan.Pria itu bengong. Dia mencermati Helios dengan nata masih melotot tak berkedip. Dari tatapannya dia seperti terpana, heran, dan tidak menduga bertemu pemuda di depannya itu."Pak, maaf, saya tidak punya korek karena saya tidak merokok," kata Helios mengulang jawabannya."Ah, ya. Tidak apa-apa." Bapak itu seperti terkesiap lalu menggeleng.Dia berbalik dan berjalan menjauh. Baru beberapa langkah, Bapak itu berbalik lagi. Dia seperti merasa takjub bisa menjumpai Helios di situ."Bapak ke sekuriti saja. Saya kira mereka pinya korek." Helios menambahkan jawabannya."Ya, terima kasih." Bapak itu menjawab dengan tatapan kembali menghujam pada Helios. Bapak itu tidak bergerak. Helios memperhatikannya dan merasa aneh dengan sikapnya."Eh, nama kamu siapa?" tanya bapak itu."Saya? Saya ... Helios." Helios seperti ragu menjawab. Keraguan yang muncul karena sikap aneh dari si bapak."Helios?" Bapak it
Betapa terkejut Helios dengan luapan marah Violetta. Gadis itu tidak mau mendengar apa yang Helios katakan padanya."Apa masalah kamu kalau aku berteman dengan Austin? Kenapa kamu marah? Apa kamu calon suamiku?" Violetta makin meluap. "Kamu lupa, kamu itu kakak sepupuku!" Helios makin terpojok. Benar, Violetta yang benar. Apa alasan Helios melarang Violetta berteman dengan Austin?"Vio, dengarkan aku," ujar Helios. Sementara pikiran Helios bergerilya, dia harus mendapat alasan yang tepat sehingga Violetta tidak akan lagi marah padanya."Kamu adik sepupuku. Aku memang harus menjaga kamu. Kamu betul untuk itu. Setelah apa yang kamu lalui, aku tidak ingin ada yang buruk terjadi kembali padamu. Kamu mengerti yang aku maksudkan, bukan?" Helios menekan suaranya. Dia tidak boleh terlihat marah karena cemburu.Helios terkejut dengan kalimat yang dia katakan. Entah bagaimana kata-kata Helios terlihat manis dan bijak sekali. Mendengar itu, Violetta mestinya langsung mereda dan tidak lagi mara
Violetta berdiri di depan Helios dan Herman. Wajahnya bersemangat, kembali ceria. Dia berpakaian rapi siap keluar rumah."Pagi, Om" Senyum Violetta mereka saat menyapa Herman."Pagi. Kamu cerah sekali pagi ini. Mau keluar?" balas Herman."Om, aku ikut ke kantor, ya?" pinta Violetta. Dia memandang Herman penuh harap."Ke kantor? Mau apa?" tanya Herman kaget.Rasa kaget juga melanda Helios mendengar permintaan Violetta."Aku mau kerja. Boleh, kan?" ujar Violetta.Kalimat itu kembali mengagetkan dua pria itu."Kerja? Kamu mau kerja?" Helios yang menimpali kali itu."Eh, selama ini aku belum siap rasanya, jadi belum ada niat. Sekarang, aku mau mandiri. Boleh, Om?" Violetta mengatakan itu untuk membujuk Herman. "Kamu serius?" Herman tidak percaya mendengar perkataan Violetta. Ada angin apa tiba-tiba dia ingin bekerja. Herman mencermati wajah Violetta lalu menoleh dan memandang tajam pada Helios. Apakah ini ada hubungan dengan pernyataan Siska tempo hari? "Seharusnya aku sudah lakukan it
Sedikit bingung, Violetta mengangguk."Ya, Om." Violetta lagi-lagi tidak bisa menolak.Dia berjalan keluar ruangan, menunggu di dekat pintu. Dia mengintip ke dalam dari jendela kaca. Tampak Herman bicara serius dengan Basuki."Iih, ngomongin aku bukan, ya? Gimana kalau aku ga dapat pekerjaan yang cocok? Ah, tapi perusahaan sebesar ini ga mungkin ga ada pekerjaanlah." Violetta membantah sendiri pernyataannya.Basuki bergerak, berjalan ke arah pintu. Violetta berbalik dan memposisikan diri seolah-olah memang siap dengan perjalanan pengenalan kantor hari itu."Ayo, Vio. Aku tunjukkan apa yang perlu kamu tahu." Basuki berkata dengan suara sedikit berat dan keras.Panggung pria itu berjalan mendahului langkah Violetta.Violetta melebarkan mata. Pegawai ini tidak menyebut 'Nona' saat bicara dengannya!?Sementara, di kantor Helios.Helios tersenyum. Ada pesan masuk dari Violetta. Tapi senyum di bibirnya berubah menjadi kecut saat membaca pesan itu.- Aku pingin dekat kamu terus, Hel. Sambil k