Violetta sudah ada di lobbi, duduk sambil menatap layar ponselnya. Bibir mungil dan seksinya tersenyum tipis. Pasti sesuatu yang lucu yang sedang dia lihat di layar pipih yang dia pegang. Helios berdiri di depan Violetta kira-kita dua meter. Tetapi Violetta tidak menyadarinya. "Kita pulang?" ujar Helios. Seketika Violetta mengangkat mukanya. "Hai! Ya, ayo!" Secepat kilat Violetta berdiri. Dia meraih tas lalu memasukkan ponsel ke dalamnya. Tidak lama mereka sudah berjejalan dengan padatnya lalu lintas. Perjalanan tentu saja lambat dan melelahkan. "Hel, lapar ..." Violetta melirik Helios. Hari memang sudah mulai gelap. Perut sudah tidak mau kompromi minta diisi. Kalau mereka tahan untuk makan di rumah, masih satu jam lagi paling cepat. "Haus juga, Hel. Ga bisa kita makan di jalan saja? Mumpun belum sampai tol," bujuk Violetta. "Oke, kita cari tempat makan. Apa saja ya, ga usah milih-milih," kata Helios setuju. "Oke," sahut Violetta tidak menolak.Akhirnya, resto paling dekat y
"Kamu, kamu yang di taman hari itu, kan?" Pria itu juga ingat dengan Helios. Dia terlihat sangat terkejut bertemu lagi dengan Helios di parkiran mal."Ya, Bapak minta korek sama aku." Helios menimpali."Siapa namamu?" tanya pria itu lagi."Pak Win, jangan sembarangan bicara sama Helios. Dia ini anak pengusaha sukses, salah satu yang paling sukses. Ini Tuan Muda Helios Hartawan." Wanita di samping pria itu mengenalkan Helios."Apa?" Kembali pria itu melebarkan mata karena terkejut.Tara dan Violetta cukup heran juga dengan pria itu. Terlibat kaget luar biasa tahu siapa Helios. Helios sendiri tidak begitu nyaman dikenakan seperti itu. "Tante, saya permisi. Kami harus segera pulang," kata Helios, berpamitan pada Tara dan temannya."Oke. Sampai ketemu lagi. Hati-hati di jalan." Tara menyunggingkan senyumnya."Masukkan barang ke bagasi. Kita juga harus pulang," ujar teman Tara pada pria itu.Ternyata pria itu adalah sopir teman Tara. Mereka berpisah, menuju ke mobil masing-masing.Di dala
Debaran jantung kedua sejoli itu beradu. Saling melepas rasa, makin dalam saling menatap, perlahan makin merapat. Deru napas keduanya bertemu. Gejolak terus meninggi ...Tuttt!! Keduanya terlonjak dan melepas pelukan. Dering ponsel membuyarkan suasana panas yang mulai merebak di dalam mobil.Dengan cepat Helios mengambil ponsel dan menerima panggilan. Dari Herman!"Halo, Pa," sapa Helios."Kamu belum pulang?" Suara berat Herman datar terdengar.Pertanyaan itu terasa tidak enak di telinga Helios."Ya, Pa. Aku baru sampai. Ada perlu dengan aku?" Helios menjawab sekaligus bertanya."Datanglah ke kamar. Ada sesuatu yang aku mau tunjukkan padamu," kata Herman."Baik. Segera aku ke kamar Papa," jawab Helios dengan hati mulai tak nyaman.Panggilan Helios selesai. Lalu dia menoleh pada Violetta. Gairah masih tersisa, tapi tidak mungkin dilanjutkan. "Aku harus cepat ke rumah." Helios mengajak Violetta turun."Oke. Besok, aku bareng lagi." Violetta mendekat dengan cepat, memberikan kecupan di
Dengan kepala yang masih panas, debar-debar kuat penuh emosi di dada, Siska duduk di sofa di kamarnya dan berpikir keras bagaimana bisa membuat hubungan Helios dan Violetta bisa segera diresmikan. Karena melihat sikap Herman, pasti perlu menunggu pria itu masuk liang kubur baru bisa terjadi."Oke, oke. Aku tahu. Aku tahu. Aku tidak akan menundanya lagi." Dengan cepat Siska menghubungi seorang dan berbicara di telpon.Setelah itu Siska mengirim pesan pada Violetta, memastikan bagaimana kabar putrinya di kantor. Apakah Herman akhirnya memberi dia pekerjaan atau tidak.Violetta sedang berada di ruang divisi promosi. Basuki membawa Violetta di sana. Bagian itu yang tampaknya menarik untuk Violetta. Dia bersemangat mempelajari apa-apa yang dikerjakan di ruangan besar itu."Kurasa kamu bisa bekerja di divisi promosi ini. Aku akan merekomendasikan pada Tuan Herman. Masa percobaan satu bulan kamu akan berada di sini." Basuki memberitahu rencananya pada Violetta."Baik, Pak. Terima kasih banya
Kejutan yang tak terduga. Di depan Helios berdiri pria gagah dengan senyum lebar. Wajahnya cerah dan tampak penuh semangat."Bang Victor?!" Helios memeluk Victor girang. Tidak ada kabar lebih dua minggu, tiba-tiba Victor muncul di depan kantor Helios."Kapan pulang? Ga bilang-bilang. Gimana jadi suami?" ujar Helios."Amazing!" Victor makin lebar tersenyum.Mata Victor tertuju ke dalam ruangan Helios, pada Violetta yang berdiri memandang padanya dan Helios."Nona Vio? Nona di sini?" Victor cukup kaget melihat Violetta ada di sana."Hai," sapa Violetta dengan senyum kecil di bibir. Senyum kecut yang mengandung banyak makna."Violetta mulai bekerja di sini, Bang. Papa tugaskan dia di divisi promosi." Helios menjelaskan."Oya? Sejak kapan? Dua minggu aku pergi, banyak hal aku ketinggalan," ujar Victor."Abang nikmati saja jadi pengantin baru. Yang lain lewattt," gurau Helios."Hehehe ..." Victor terkekeh."Gimana Donita?" Helios bertanya."Baik. Dia luar biasa. Tidak salah aku menunggu s
Mata indah milik Violetta tampak sayu, memandang Helios. Tetap saja cantik meskipun belum sadar sepenuhnya."Ah, aku ketiduran." Dengan cepat Violetta duduk. Dia usap wajahnya dengan kedua tangan. "Astaga, ini jam berapa?" "Jam enam. Udah mau gelap. Kita pulang?" Helios menegakkan badan, lalu duduk di tepi kasur."Hmm, ya, oke." Violetta mengumpulkan kesadarannya."Langsung pulang saja atau-""Makan dulu. Aku paling ga bisa nahan lapar. Ga apa-apa, kan?" pinta Violetta.Helios tersenyum. Rasanya makin senang melihat Violetta bersikap manja seperti itu. Tidak perlu menunggu lama, mereka meninggalkan kantor dan mencari tempat makan sembari menuju pulang.Seperti malam sebelumnya, sampai di rumah, mereka berpisah di tempat parkir. Helios kemudian mandi dan menemui Herman yang sudah di ranjang di kamarnya, bersiap istirahat."Kamu pulang malam lagi. Violetta bersama kamu?" tanya Herman."Iya, Pa. Dia menunggu sampai aku selesai kerja." Helios memang tidak bisa berbohong. Dia ucapkan apa
"Tuan Besar baik-baik, Tuam Muda. Dia banyak membaca hari ini, jadi selesai makan malam langsung memilih tidur." Jawaban itu melegakan Helios. Bu Rindi memberi kabar tentang kondisi Herman. Rencananya sepulang kerja hari itu, Helios akan menemui Herman lebih dulu baru datang ke rumah Siska. Kabar yang baru dia dengar sangat melegakan. Helios bisa meneruskan urusannya, sedikit lebih lama, lalu langsung menuju kediaman Siska dan Violetta. "Terima kasih, Bu. Aku akan pulang malam. Tapi jangan ragu menghubungi kalau terjadi apa-apa sama papa," pesan Helios. "Baik, Tuan Muda." Rindi menjawab singkat. Selesai komunikasi, Helios meneruskan menyiapkan beberapa hal, karena sebelum jam bekerja berakhir, Helios akan melakukan meeting penting dengan beberapa kepala divisi, terkait event yang akan perusahaan ikuti di waktu yang sangat dekat. Hampir selesai, ponsel kembali berdering. Violetta yang menghubungi. "Hel, aku udah kelar hari ini. Aku tunggu, ya? Apa aku ke kantor kamu?" tanya Violet
Siska tersenyum lebih lebar. Senyum penuh kemenangan. Tinggal menghitung jam dia akan mendapat peristiwa besar dan bisa menuntut Herman untuk menikahkan anaknya dengan Tuan Muda. “Baiklah, aku rasa aku harus istirahat segera. Besok aku ada janji dengan teman. Jadi, kalian lanjut saja merayakan hari Istimewa ini. Be happy, bye …” Siska menepuk pundak Violetta lalu berjalan meninggalkan keduanya. Violetta dan Helios saling memandang dengan senyum penuh kelegaan dan penuh cinta. Hanya mereka berdua di ruangan itu. Mereka bisa leluasa bicara apa saja, bercerita tentang apapun yang muncul di benak mereka. “Aku sama sekali ga nyangka, mama menerima kamu seperti ini. Kalau ingat saat awal kamu datang, menyebut nama kamu saja mama ogah,” kata Violetta. Tentu saja Helios ingat sekali. Di malam penyambutan Tuan Muda, bahkan terjadi pertengkaran antara Herman, Siska, dan Raditya. Tapi memang sangat bisa dipahami, Siska terkejut luar biasa saat Herman mengumumkan pada dunia, putranya kembali p
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s