Violetta berdiri di teras menunggu Helios keluar dari rumah Herman. Sudah lima hari sejak makan malam itu, Helios sulit berkomunikasi. Lama menjawab chat, berulang kali ditelpon baru mau menerima. Bahkan sudah sepakat bertemu, ada saja alasan sehingga akhirnya batal.Tapi hari itu Violetta tidak bisa menunggu lagi. Dia harus bertemu dengan Helios. Meskipun mungkin hanya sepuluh menit, itu lebih baik daripada menunggu dan menunggu tanpa kejelasan.Jam setengah tujuh pagi, Helios tampak keluar rumah dengan pakaian rapi. Tampan, gagah, dan berkharisma. Pembawaan Helios makin hari makin seperti Herman. Dan Violetta suka melihatnya."Hel!" Violetta memanggil.Gadis itu turun dari teras dan berlari kecil mendekati Helios yang berjalan menuju kendaraannya.Helios menoleh. "Hai, Vio." Langkah kaki Helios tidak berhenti, bahkan tidak juga melambat."Kita harus bicara." Violetta mempercepat langkahnya dan menjajari Helios."Aku harus cepat berangkat. Pagi ini akan ada meeting penting. Aku tida
Letupan di dada Helios makin kuat mendengar pertanyaan Violetta. Setelah kejadian di dapur malam itu, Helios meninggalkan Violetta dan menjaga jarak begitu rupa. Apa sebenarnya pikiran Helios tentang Violetta? "Vio, kamu jangan salah paham. Aku sama sekali tidak melihat kamu berbeda." Helios makin merasa jahat. Seharusnya dia memang mau bicara dan menjelaskan semua lebih awal. "Oya? Kamu mau membodohi aku?" Sinis Violetta berkata. "Nggak, Vio. Bukan seperti itu," sahut Helios cepat. "Lalu apa?" Violetta menatap makin tajam pada dua bola mata tegas Helios. "Kita bersaudara, Vio. Kamu adik sepupuku. Apa yang terjadi pada kita itu sebuah kesalahan." Helios harus membuat alasan yang paling masuk akal. Violetta harus bisa menerima penjelasan itu.Violetta maju dua langkah. Kepalanya mendongak dengan mata menatap Helios."Aku tidak tahu, apakah Om Her tidak menceritakan padamu, hubungan sepupu antara kita itu sebenarnya bagaimana?" Helios menghirup napas dalam. Tentu saja dia tahu. Ti
"Vio! Sayangku!" Violetta yang asyik menonton drakor di kamarnya, tengkurap di atas kasur, langsung bangun dan duduk bersila. Siska masuk kamar Violetta dengan kertas berwarna merah marun berlilitkan pita emas di tangan.Siska duduk di tepi kasur, lalu tangannya membuka lembar tebal yang dia pegang. Violetta memperhatikan saja. Violetta tahu yang Siska bawa adalah undangan pernikahan."Lihat ini," kata Siska. Dia menunjukkan undangan itu pada Violetta.Violetta membaca undangan yang terbuka lebar di depannya."Bang Victor married?" Violetta melebarkan matanya.Nama yang tertera di undangan adalah nama Victor Handiako dan Donita Arabella. Donita? Ya, Violetta ingat wanita itu. Dia mentor Helios. Wanita cantik yang identik dengan warna hitam itu ternyata kekasih Victor? Violetta sempat terganggu, sebutlah cemburu pada Donita."Kita diundang, Ma?" tanya Violetta."Sudah pasti. Kita ini keluarga Hartawan. Victor itu pegawai Herman," jawab Siska. "Kamu harus tampil memukau hari itu.""Gima
"Sejauh ini aman, Tuan. Tuan Muda benar-benar fokus dengan pekerjaannya. Dia memang anak yang baik, tahu bagaimana bersikap, tahu berterima kasih pada orang-orang yang menolong hidupnya," kata Halim pada Herman.Hari itu mereka bersiap akan menghadiri pernikahan Victor, tetapi masih sempat membicarakan tentang Helios."Baguslah. Aku sedikit kuatir awalnya, Ir. Anak muda biasanya tidak mudah mengendalikan diri. Untungnya, Helios sangat mudah diarahkan. Kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi itu normal. Helios akan belajar banyak melalui semua itu," lanjut Herman."Untuk Victor, apa rencana Tuan setelah ini?" Halim bertanya. "Tidak harus ada yang berubah. Justru andai istrinya mau bergabung di perusahaan atau menjadi asisten khusus seperti kamu dan Victor, menurut aku akan bagus sekali," jawab Halim."Soal itu, terserah mereka saja. Secara karir, Donita juga sudah mapan. Aku hanya berharap dengan berumah tangga, Victor akan makin bersemangat dengan semua tanggung jawabnya," tandas Hali
Helios masih memperhatikan Violetta yang tidak menjauh dari sisi bule itu. Mereka beringsut maju mendekat pada mempelai untuk memberi selamat. Dada Helios makin bergejolak dan pertanyaan tentang si bule pun makin merebak di pikirannya."Ayo, kita ke ruang sebelah. Kita tunggu Victor dan istrinya di sana saja." Tiba-tiba Herman bicara.Dia mengajak Helios dan Halim berpindah ke hall tempat resepsi akan dilangsungkan. Helios tidak bisa menolak. Dengan perasaan kesal, Helios mengikuti langkah Herman dan Halim.Melihat itu, Siska mengambil jalan lain, menunggu Violetta. Dia akan mulai permainan tetapi harus dari Violetta lebih dulu."Si bule itu keren banget. Siapa? Mama ga pernah lihat dia," ucap Siska.Dia menarik Violetta ke tempat yang agak longgar. Dia harus tahu siapa pria itu yang tampak akrab dengan putrinya.*Austin Wagner. Dia bilang saudara Donita pacaran sama kakaknya." Violetta menjawab yang dia tahu."Oh? Kamu kenal di mana? Udah akrab gitu," sahut Siska."Ketemu di toilet,"
"Maaf, Pak. Saya tidak merokok. Saya tidak punya korek." Helios menjawab pria itu dengan sopan.Pria itu bengong. Dia mencermati Helios dengan nata masih melotot tak berkedip. Dari tatapannya dia seperti terpana, heran, dan tidak menduga bertemu pemuda di depannya itu."Pak, maaf, saya tidak punya korek karena saya tidak merokok," kata Helios mengulang jawabannya."Ah, ya. Tidak apa-apa." Bapak itu seperti terkesiap lalu menggeleng.Dia berbalik dan berjalan menjauh. Baru beberapa langkah, Bapak itu berbalik lagi. Dia seperti merasa takjub bisa menjumpai Helios di situ."Bapak ke sekuriti saja. Saya kira mereka pinya korek." Helios menambahkan jawabannya."Ya, terima kasih." Bapak itu menjawab dengan tatapan kembali menghujam pada Helios. Bapak itu tidak bergerak. Helios memperhatikannya dan merasa aneh dengan sikapnya."Eh, nama kamu siapa?" tanya bapak itu."Saya? Saya ... Helios." Helios seperti ragu menjawab. Keraguan yang muncul karena sikap aneh dari si bapak."Helios?" Bapak it
Betapa terkejut Helios dengan luapan marah Violetta. Gadis itu tidak mau mendengar apa yang Helios katakan padanya."Apa masalah kamu kalau aku berteman dengan Austin? Kenapa kamu marah? Apa kamu calon suamiku?" Violetta makin meluap. "Kamu lupa, kamu itu kakak sepupuku!" Helios makin terpojok. Benar, Violetta yang benar. Apa alasan Helios melarang Violetta berteman dengan Austin?"Vio, dengarkan aku," ujar Helios. Sementara pikiran Helios bergerilya, dia harus mendapat alasan yang tepat sehingga Violetta tidak akan lagi marah padanya."Kamu adik sepupuku. Aku memang harus menjaga kamu. Kamu betul untuk itu. Setelah apa yang kamu lalui, aku tidak ingin ada yang buruk terjadi kembali padamu. Kamu mengerti yang aku maksudkan, bukan?" Helios menekan suaranya. Dia tidak boleh terlihat marah karena cemburu.Helios terkejut dengan kalimat yang dia katakan. Entah bagaimana kata-kata Helios terlihat manis dan bijak sekali. Mendengar itu, Violetta mestinya langsung mereda dan tidak lagi mara
Violetta berdiri di depan Helios dan Herman. Wajahnya bersemangat, kembali ceria. Dia berpakaian rapi siap keluar rumah."Pagi, Om" Senyum Violetta mereka saat menyapa Herman."Pagi. Kamu cerah sekali pagi ini. Mau keluar?" balas Herman."Om, aku ikut ke kantor, ya?" pinta Violetta. Dia memandang Herman penuh harap."Ke kantor? Mau apa?" tanya Herman kaget.Rasa kaget juga melanda Helios mendengar permintaan Violetta."Aku mau kerja. Boleh, kan?" ujar Violetta.Kalimat itu kembali mengagetkan dua pria itu."Kerja? Kamu mau kerja?" Helios yang menimpali kali itu."Eh, selama ini aku belum siap rasanya, jadi belum ada niat. Sekarang, aku mau mandiri. Boleh, Om?" Violetta mengatakan itu untuk membujuk Herman. "Kamu serius?" Herman tidak percaya mendengar perkataan Violetta. Ada angin apa tiba-tiba dia ingin bekerja. Herman mencermati wajah Violetta lalu menoleh dan memandang tajam pada Helios. Apakah ini ada hubungan dengan pernyataan Siska tempo hari? "Seharusnya aku sudah lakukan it
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s