Mata Donita menghujam pada Victor. Dia menelisik lebih dalam, mencari jika hatinya bosa bergetar karena Victor."Aku terima kalung ini, tetapi tidak aku kenakan. Jika nanti aku tahu akan menerimamu atau tidak, baru aku akan memakainya atau akan mengembalikannya padamu," kata Donita.Dia menyimpan kalung itu dibungkus tisu, lalu dia masukkan ke dalam tas hitam miliknya.Victor tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak tahu akan senang atau sedih dengan yang barusan Donita ucapkan. Bukan artinya Donita menggantung status mereka? Pacaran tidak, tapi leboh dari hubungan teman baik semata."Sekali lagi terima kasih banyak." Donita berdiri."Kapan aku bisa mendapat kepastian, Doni?" tanya Victor. Matanya sedikit meredup."Aku tidak bisa menjawab itu. Bisa cepat, bisa lama," jawab Donita."Doni, kamu-""Sembilan tahun kita bersama, jika menunggu sedikit lagi, apakah terlalu berat?" Donita meraih tasnya dan berjalan ke arah Victor."Selamat malam. Malam ini, tidak akan aku lupakan, Vic." Donita
Tony berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang, satu tangan lainnya memegang ponsel yang menempel di telinganya. Wajah Tony merah karena marah.Semua mata melihat padanya,. tidak membuat Tony sadar dia berada di ruang publik dan mengganggu orang lain."Aku tidak bisa mentolerir perbuatan kamu. Kesabaranku sudah habis! Kita putus! Dalam waktu dua hari kamu harus meninggalkan apartemenku!" Dengan kekesalan yang makin menggulung Tony dengan keras bicara lalu mematikan panggilan telponnya.Helios bisa menduga apa yang terjadi dengah Tony dan Melisa. Yang lain juga sama. Tony sudah dikenal sebagai pria mengumpul wanita cantik. Dia suka berganti-ganti pacar atau bahkan memacari tiga atau empat gadis sekaligus."Tony, kalau kamu tidak siap untuk hari ini, silakan mundur. Lima belas menit lagi kita akan memulai acara," kata Donita tegas. Dia sangat tidak suka ada gangguan pada setiap kegiatan, apalagi ini adalah acara puncak dari pendidikan yang ditempuh murid-murid selama ini."Aku minta
Bersama Victor, Donita menuju ke ruang perjamuan. Suasana meriah, tampak semua yang hadir bergembira hari itu. Victor tidak memperhatikan di mana Herman, Helios, Halim, dan Violetta. Dia hanya mau fokus bersama dengan Donita. Jarang sekali Donita mau berdua bersama pria jika di ruang publik.Jadi, jika hari itu Donita mengiyakan bersama Victor, tentu saja tidak akan dia sia-siakan. Donita membalas sapaan beberapa tamu. Mereka berbicara tidak berapa lama."Aku mau ambil es buah saja. Kamu boleh ambil menu utama, kalau mau." Donita menoleh pada Victor."Ah, menikmati buah lebih dulu oke. Ayo," sahut Victor dengan senyum lebar.Keduanya menuju meja tempat es buah dihidangkan. Tidak banyak kesempatan mereka bicara, lebih banyak justru bersosialisasi dengan tamu lainnya. Namun, sebelum acara ramah tamah berakhir, Victor sempat meminta kesempatan lagi agar bisa bertemu dengan Donita."Nanti aku kabari. Besok di kantor ada evaluasi acara kelulusan dan lanjut persiapan kelas berikutnya. Mungk
Mobil-mobil polisi dan beberapa ambulan datang. Polisi-polisi dan paramedis segera mengatasi situasi agar jalanan segera terurai karema kemacetan semakin parah. Donita dibawa dengan ambulan menuju rumah sakit terdekat. Victor ikut serta, karena mau memastikan Donita akan segera mendapat perawatan yang terbaik. Saat di dalam ambulan, dengan bantuan tenaga medis, Donita mulai sadar. "Doni, Doni, ini aku, Victor," kata Victor dengan cemas. Dia memegang tangan kiri Donita. Dingin sekali. Donita memandang Victor antara sadar dan tidak. "Kita ke rumah sakit. Kamu akan segera diobati dokter. Kamu pasti baik-baik saja," kata Victor lagi. Donita mengedipkan matanya memberi reaksi. Setiap mata Donita hampir terpejam, Victor akan bicara, memaksa Donita tetap terjaga. Melihat kondisi Donita hati Victor campur aduk.Mata pria itu pun basah. Dia tidak bisa menjelaskan rasa panik yang menderanya. Dia sangat takut Donita tidak akan membuka matanya lagi. Sepanjang jalan Donita terus saja memandang
Kabar kecelakaan beruntun yang mengerikan masih terus terdengar di sana sini. Donita menjadi salah satu korban dari kecelakaan itu juga sampai pada Helios dan Herman yang ada di Singapura."Aku tidak percaya rasanya Miss Doni juga ada dalam kecelakaan itu. Aku sangat lega mengetahui Miss Doni selamat." Helios bicara di ponsel dengan Donita.Sebenarnya Helios menghubungi Victor. Karena Victor ada di rumah sakit, dia memberikan kesempatan Helios langsung bicara pada Donita."Tuhan baik. Aku tidak mengalami luka yang sangat serius. Jika mengingat kejadian itu, juga ada tiga orang yang tidak selamat, sangat mungkin harusnya aku pun tidak tertolong." Donita mengatakan apa yang dia pikirkan.Victor memperhatikan Donita yang masih bicara dengan Helios lewat layar kaca. Wajahnya berangsur lebih cerah. Dia tampak lebih segar setelah dua hari dirawat. Apalagi ibu dan adiknya datang dari Bali menemani dia. Sudah pasti kehadiran orang terdekat dan keluarga menambah semangat Donita segera pulih."
Victor memegang kalung yang Donita kembalikan. Tidak karuan rasa hatinya. Dia menyiapkan kalung itu, dengan liontin khusus yang dia pesan, karena dia ingin Donita tahu cinta Victor makin dalam. Semua tidak ada artinya bagi Donita.Dengan hati terasa pedih, Victor memegang kalung itu untuk dia simpan. Semua sudah berakhir. Dia dan Donita sampai kapanpun, akan tetap pada batas sebagai teman."Maafkan aku, Doni. Aku terus saja memaksa kamu un-""Vic!" panggil Donita dengan tegas.Victor menghentikan gerakannya dan melihat pada Donita."Bisa kamu pasangkan kalung itu untukku?" Donita memandang Victor dalam-dalam."Ya?" Victor seperti tidak yakin dengan yang dia dengar. Dia menatap Donita.Donita memegang rambut di bagian belakang, di leher, lalu menyibakkannya. "Doni?" ucap Victor belum yakin."Bisakah?" ulang Donita meminta Victor memasang kalung di lehernya."Ya, tentu." Victor berdiri, mendekat ke sisi samping sofa. Victor melingkarkan kalung di leher Donita, lalu dia kaitlan kancing
Pagi tiba. Helios dan Herman bersiap memulai perjalanan mereka. Herman terlihat ceria dan segar. Dia sampai beberapa kali mengatakan akan membawa ke mana saja Helios hari itu. Helios terpaksa harus menanyakan lebih detil lokasi yang Herman akan tuju seperti apa. Dia akan memastikan jika ke lokasi tersebut tidak akan menyulitkan Herman. Dari satu lokasi ke lokasi lain berapa jauh jaraknya."Baiklah. Kalau begitu, kita ke sini ..." Helios mulai memilah mana yang paling baik untuk mereka jelajahi hari itu. Tentu saja dengan alasan yang dia harus mampu meyakinkan Herman."Baiklah, kita sepakat. Ayo, aku tidak mau terlambat berangkat," kata Herman.Perjalanan dimulai. Kesempatan yang langka, yang bahkan tak pernah muncul dalam pikiran Helios jika satu kali dia akan ke luar negeri dengan seorang pria kaya raya yang menjadikannya anak. Tidak akan Helios sia-siakan perjalanan itu dan dia jadikan momen paling berkesan di dalam hidupnya.Di setiap tempat yang mereka kunjungi, Helios mengambil f
Melisa berpikir cepat. Dia harus mengambil kesempatan untuk mendekat pada keluarga Hartawan. Kalau dia mengenal Raditya lebih dekat, dia bisa mencari cara juga mendekat pada keluarga Hartawan yang lain. Siska juga selama ini baik padanya, walaupun mungkin tidak suka menampung orang di rumahnya. Sedang Raditya? "Kalau kamu bersedia, ayo. Aku tidak pernah main-main kalau mau menolong orang," kata Raditya. "Baiklah, Om. Aku ikut. Aku sangat berterima kasih Om mau baik sama aku." Melisa menjawab dengan cepat. "Oke, bersiaplah segera kita pergi," ucap Raditya memutuskan. "Ya, Om. Sekali lagi terima kasih," ujar Melisa. Dadang dan Danik sudah naik ke kamar Siska mengantar belanjaan si Nyonya. Tidak lama muncul Siska dengan seorang pria. Wanita itu tampak lelah tapi terlihat senang. Dia hanya menyapa asal pada orang-orang yang ada di ruang tengah rumahnya lalu dia naik bersama pria yang bersamanya. Hati Violetta mendidih. Pria yang bersama Siska, jelas lebih muda. Cukup tampan dan gaga
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s