Zayden memutar bola matanya. "Pikirkan sesuatu yang bisa dimakan orang normal.""Hot pot itu makanan yang dimakan oleh orang normal seperti kita." Madeline tersenyum. "Tapi, aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan. Lagi pula, kamu nggak akan menemaniku makan. Kamu saja yang putuskan makan apa."Zayden berdiri, kemudian menatap Madeline dengan alis terangkat. "Bangun, ganti bajumu, ayo kita makan."Madeline tertegun sejenak. "Serius?""Bagaimana menurutmu?"Madeline memandang Zayden dengan curiga sejenak, lalu menyeringai. "Pria sejati itu memegang kata-katanya. Kalau aku begitu anggap serius."Usai berbicara, Madeline hendak turun dari tempat tidur.Zayden menahannya. Dia membantu mengambil pakaian untuk Madeline.Setelah Madeline berganti pakaian, Zayden menggendongnya ke kursi roda, kemudian mendorongnya keluar.Madeline sedikit tersanjung.Setelah digendong ke dalam mobil, Madeline bertanya dengan bingung. "Apakah kamu mengalami hal yang menyenangkan hari ini?"Zayden melirik Mad
Ini adalah pertama kalinya Zayden makan di restoran kaki lima semacam ini.Hot pot seharga seratus enam puluh ribu membuat Madeline lebih senang ketimbang makanan Barat yang berharga puluhan juta.Meskipun Zayden tidak merasa makanannya enak, dia tetap makan beberapa suap karena Madeline.Setelah keluar dari restoran hot pot, Madeline menunjuk kedai teh susu di seberang. DIa mengangkat kepalanya untuk melihat Zayden yang mendorong kursi rodanya. "Teh susunya kedai itu sangat enak. Aku dan sahabatku menamainya 'belahan jiwa'. Setiap kali salah satu dari kami keluar, cukup bilang titip satu gelas 'belahan jiwa', maka kami akan mengerti maksud satu sama lain."Zayden melihat sekilas kedai teh susu yang tidak terlalu besar itu. Berlebihan.Madeline menunjuk toko sebelah lalu memperkenalkan lagi. "Lalu kue tar telur di toko kue itu. Makan sebanyak apa pun, dijamin nggak akan bosan."Sepanjang jalan, Madeline seperti seorang narator. Dia menceritakan jalan yang dia kenal kepada Zayden. Untuk
Zayden memandang jauh ke depan. Kembali lajang?Dia tidak punya rencana untuk hal itu.Mereka terdiam. Madeline sedang memikirkan sesuatu. Dia melamun.Sedangkan Zayden merasa sangat nyaman. Mereka berdua bersama tanpa berbicara pun, Zayden tetap merasa nyaman.Setelah duduk selama hampir setengah jam, Madeline tersadar. Dia menyadari bahwa ada banyak murid yang diam-diam memotret mereka.Madeline berkata dengan sedikit cemas. "Kita sudah harus pergi. Kalau nggak, kita akan menjadi berita utama lagi besok.""Semua orang sudah terbiasa dengan berita sebelumnya. Sekarang kelakuan kita nggak bisa disebut memamerkan kemesraan lagi. Kalau mau jadi berita utama, kita harus begini." Zayden berdiri, kemudian mencium Madeline sejenak.Madeline memandang Zayden. "Hei, aku nggak berniat menjadi berita utama!"Hei? Tidak ada yang pernah memanggil Zayden seperti itu.Zayden dalam suasana hati yang baik. Dia tersenyum, kemudian mengganti topik pembicaraan. "Kamu sepertinya nggak pernah membahas mant
Madeline menatap langit. "Ayahku meninggal pada hari ulang tahunku."Zayden terdiam.Hingga hari ini dia baru menyadari bahwa dia tahu terlalu sedikit tentang wanita ini.Madeline menghela napas. Dia tidak pernah berpikir bahwa mereka bisa berbicara dengan begitu tenang.Setelah sekian lama berinteraksi dengan Zayden, permusuhan Madeline terhadap Zayden sepertinya ... makin berkurang.Bahkan terkadang Madeline berharap masalah jembatan lintas sungai tidak ada hubungannya dengan Zayden atau Grup Sinclair.Namun Madeline juga paham bahwa makin besar ekspektasinya, makin besar pula kekecewaannya nanti.Jika suatu hari, Madeline mengetahui bahwa Zayden benar-benar dalangnya ...."Zayden," panggil Madeline dengan pelan."Hm?""Apakah kamu pernah melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani dalam hidupmu?"Zayden memandang Madeline, lalu bertanya setelah beberapa saat. "Bagaimana denganmu?"Madeline menggelengkan kepalanya tanpa berpikir. "Nggak, sejauh ini nggak sama sekali."Zayden m
Hati Madeline mencelos. "Keluarga Linwood?""Ya, tapi pihak bank nggak bisa beri tahu siapa detailnya. Mereka mungkin takut menyinggung Keluarga Linwood. Aku nggak bisa meminta mereka berbuat lebih banyak. Takutnya akan membuat musuh waspada."Hati Madeline sedikit bergetar. "Aku tahu, Kak Kairo. Terima kasih sudah banyak membantuku. Begini sudah cukup. Bisakah kamu beri tahu aku rekening itu?"Kairo sedikit khawatir. "Kamu ingin menyelidikinya sendiri?""Ya."Kairo mengangguk. "Oke, aku akan mengirimkannya kepadamu. Kalau ada yang bisa aku lakukan untuk membantu, cari aku. Aku akan berusaha.""Terima kasih." Madeline menjawab dengan lembut. Kairo sudah cukup membantunya, dia tidak ingin melibatkannya lebih jauh."Sebenarnya aku ingin bertanya padamu, apakah ini alasanmu menikah dengan Zayden?"Setelah Madeline terdiam beberapa saat, dia menjawab, "Ya.""Madeline, aku bisa memahami perasaanmu, tapi aku merasa kamu sudah berkorban terlalu banyak untuk hal ini. Pernikahan bukanlah permai
Madeline menatap tubuh Zayden, lalu menepuk perut pria itu.Pria ini tidak lupa bertingkah mesum walau sedang diare.Begitu Madeline menepuk perut Zayden, Zayden bangkit lagi untuk pergi ke kamar mandi.Melihat hal ini, Madeline mengambil ponselnya, lalu langsung menghubungi ambulans.Tidak lama setelah Zayden keluar, seorang pelayan mengetuk pintu. "Tuan, ambulans tiba di depan Kediaman Linwood. Katanya Tuan nggak enak badan."Zayden memandang Madeline. "Kamu yang memanggil ambulans?"Madeline mengangguk. "Kalau nggak enak badan harus ke rumah sakit. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang parah?"Zayden tersenyum. Wanita ini masih peduli padanya. Bagus.Ketika mereka tiba di rumah sakit, Zayden melakukan pemeriksaan. Ternyata radang usus akut.Dokter bilang disebabkan oleh makanan yang tidak higienis.Zayden langsung teringat hot pot. Dia memandang Madeline sambil berkata, "Pasti karena hot pot. Apakah kamu baik-baik saja?""Bagaimana mungkin? Aku juga makan hot pot dan aku baik-baik sa
"Paman Edsel, terima kasih sudah mengantarkan makanan untuk kami.""Sama-sama, Nyonya Muda."Edsel mengangguk pada Zayden, lalu pergi.Madeline mengambil mangkuk dan sendok, kemudian hendak mulai makan. Melihat ekspresi Zayden yang kurang baik, dia meletakkan mangkuk. "Kamu merasa nggak nyaman lagi?""Nggak, ayo makan." Zayden melihat ke arah pintu sebelum mengambil mangkuk dan sendok untuk makan.Setelah makan, Cassius datang untuk melaporkan pekerjaan kepada Zayden.Madeline kesulitan bergerak dan tidak bisa keluar, jadi dia hanya duduk dengan canggung sambil membaca berita di ponselnya.Begitu melihat, dia tampak tercengang. "Astaga."Di sampingnya, Zayden meliriknya. "Kenapa?""Hah? Bukan apa-apa, bukan apa-apa." Madeline menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kamu kerja saja."Zayden berkata kepada Cassius. "Itu saja. Kalau terjadi sesuatu, laporkan saja kepadaku melalui telepon.""Baik, Pak Zayden."Cassius mengemasi dokumen lalu pergi. Zayden memandang Madeline. "Kenapa tadi
Manajer pergi selama beberapa menit, kemudian keluar dari kantor. Dia berjalan ke arah Madeline dengan selembar formulir."Nyonya, kami menemukan kalau rekening ini adalah rekening deposito sementara yang dibuka oleh Grup Sinclair, cabang pembangunan rel, jembatan dan jalan enam tahun lalu. Masa berlaku rekening ini paling lama dua tahun.""Rekening deposito sementara?" Madeline menyentuh dahinya. "Kalau begitu apakah bisa mengetahui riwayat transaksi rekening ini?""Ini." Manajer menyerahkan formulir itu kepada Madeline.Madeline melihat sekilas dan menemukan bahwa hanya ada beberapa transaksi di rekening ini. Di antaranya masuk sejumlah besar uang. Madeline langsung mengenalinya. Itu adalah jumlah uang yang bertambah di rekening ayahnya.Madeline tersenyum pada manajer bank lalu berdiri. "Bolehkah aku membawa kertas ini?""Tentu.""Terima kasih." Madeline meninggalkan bank.Artinya ... orang yang mentransfer uang untuk ayahnya dan memfitnah ayahnya memang Grup Sinclair.Saat makan ma