Happy Reading
*****
Menjelang sore keluarga Adilla berkumpul semua di teras rumah. Kebiasaan jika pulang, perempuan itu lebih banyak menghabiskan waktu bercengkerama dengan mereka. Dulu, dia hampir kehilangan kebersamaan karena ulah sang mantan suami.
Ketika kebebasan terpasung oleh kewajiban sebagai seorang istri. Adilla tak lagi bisa seenaknya menjenguk kedua orang tua dan juga adik-adiknya. Dulu, sang Bapak berharap setelah menyerahkan Adilla pada lelaki yang dipercaya, putrinya itu akan hidup jauh lebih baik lagi. Namun, semua angan mereka hanyalah impian semu yang tak pernah terwujud.
Perempuan yang memiliki segudang tanggung jawab itu membuang muka saat mengenang masa-masa kelam hidupnya. Tak boleh ada keluarga yang tahu betapa tersiksa hidupnya bersama sang mantan. Biarlah semua Adilla kubur dalam-dalam sebagai pelajaran berharga.
"Mbak'e kenapa ngelamun?" tanya si bungsu, Nitami.
"Nggak ngelamun, cuma lagi mikir. Gimana kalau kita jalan-jalan di taman desa. Sekarang 'kan mau malam minggu. Pasti di sana rame. Mbak pengen beli bakso." Adilla mencoba mengalihkan pertanyaan.
Nitami melirik pada Sumaiyah, perempuan yang telah melahirkannya itu tersenyum dan menggerakkan kepala. Dia juga menatap kedua masnya, meminta persetujuan mereka. Baik Rian maupun Anwar setuju dengan ajakan Adilla.
Sudah lama sekali mereka tidak makan di luar. Terakhir kali, enam bulan lalu ketika Adilla pulang. Sumaiyah selalu mengatakan untuk berhemat kepada anak-anaknya setiap kali si sulung mengirimkan uang bulanan. Memang jumlah yang diberikan Adilla lebih dari cukup, tetapi Sumaiyah selalu menyisihkan sebagian dari kiriman itu untuk ditabung.
"Ya, udah ganti baju semua. Pake baju baru yang Mbak bawain tadi," perintah Adilla pada mereka. Dia juga mengajak ibunya untuk ikut, tetapi ditolak.
Sumaiyah selalu beralasan tiap kali diajak keluar oleh putrinya. Seperti ada beban yang ditanggung saat dirinya keluar rumah. Adilla menyadari perubahan raut muka ibunya. Namun, apa yang menjadi beban Sumaiyah tidak pernah dia ketahui.
"Ibu kenapa tiap kali Rum ajak keluar nggak mau? Apa ada sesuatu?" tanyanya hati-hati.
"Ndak ada, Nduk. Kalau semua keluar, siapa yang jaga rumah. Saiki akeh (banyak) maling, ojo sampai rumah kita juga jadi sasaran mereka. Wis tho (sudahlah), nyawang (melihat) kalian tersenyum aja Ibu wis bahagia. Ndang salin klambine (cepat ganti bajunya). Nanti adik-adikmu ngomel yen tahu kamu belum siap." Sumaiyah berdiri dan menarik tangan putri sulungnya untuk masuk.
"Ih, Ibu." Adilla memeluk orang tua yang dimilikinya sebentar.
"Mbak'e kok belum siap, sih?" Nitami cemberut melihat dua perempuan yang disayanginya berpelukan. Sumaiyah melirik Adilla dan berbisik, mengatakan apa yang disampaikan tadi terbukti sekarang.
"Iya ... iya, cantik. Mbak nggak lama kok ganti bajunya." Gegas Adilla masuk ke kamar.
Adilla mulai mencari baju-baju lama yang sangat sederhana. Ya, dia memang tak ingin terlihat mencolok di tengah masyarakat tempat kelahirannya. Make up pun dibuat senatural mungkin. Lenyap semua kesan seksi dan penggoda yang melekat pada dirinya saat melakonkan pekerjaan.
Dress pendek di bawah lutut dengan motif bunga berwarna baby pink, rasanya pas untuk suasana sore yang cerah. Rambut sebahu diikat ke belakang semua dan hanya menyisakan poni yang disisir miring ke kanan hampir menutupi alis. Sekali lagi Adilla mematut diri di cermin.
Topeng kehidupan selalu dimainkan. Entah sampai kapan semua akan diperankan seperti ini. Ketika suara panggilan adik-adiknya terdengar, cepat Adilla meraih gagang pintu. Saat itu juga, dia melihat peralatan salat, mukenah dan sajadah ada di kursi kamar. Berdesir hatinya melihat barang-barang tersebut.
*****
"Mbak, tanganmu kena apa itu?" tanya Anwar ketika mereka berdua duduk di bawah pohon ketapang, hanya beralaskan rumput taman.
Adilla gelagapan, dia lupa mengenakan jaket untuk menutupi luka. "Mana, Dik?" tanyanya berpura-pura.
"Ini," tunjuk Anwar pada pergelangan tangan kanan Adilla. Dua adiknya yang lain masih sibuk bermain bulu tangkis.
"Oh, ini," jawab Adilla gugup, "Mbak nggak hati-hati saat bersihin kaca, jadinya kepleset terus tangan ini terantuk tembok." Adilla makin gugup ketika Anwar mengamati pergelangan sebelah kiri.
"Kenapa yang ini bekas lukanya juga sama?" Anwar menautkan alis, tak percaya dengan alasan yang diberikan.
"Iya, Dik. Dua-duanya terantuk tembok." Adilla menggigit bibir, berharap Anwar mempercayai perkataannya.
"Kayak luka bekas ikatan yang kenceng banget, ya. Mbak ndak sedang dianiaya bosnya, 'kan?" Anwar makin mengintimidasi Adilla.
"Astagfirullah. Nggak, Dik," jawab si sulung. Ingin rasanya Adilla pergi jauh agar si adik tak lagi curiga.
Anwar kembali mengamati tangan Adilla. Saat sebuah perkataan akan keluar darinya, Rian memanggil. "Mas, tolongin!" teriaknya.
Anwar menyipitkan mata. "Opo?" tanyanya menatap Rian.
"Koknya nyangkut. Aku nggak bisa ambil." Rian menunjuk benda yang tersangkut. Terpaksa Anwar meninggalkan Adilla dan menghampiri dua adiknya.
Adilla bernapas lega, setidaknya dia terbebas dari segala macam pertanyaan Anwar. Namun, perkiraannya salah. Di salah satu sudut taman, ada seseorang yang melangkah mendekat ke arahnya. Dia paling benci pada manusia satu itu.
Sebelum jarak mereka semakin dekat, Adilla berlari menghampiri adik-adiknya. Mengajak mereka untuk segera makan bakso. Perempuan itu tak ingin melihat, apalagi sampai berbicara dengan manusia satu itu.
"Mbak, kenapa lari-lari gitu?" Rian menatap cemas Adilla.
"Nggak ada. Ayo kita makan bakso sekarang. Mbak, dah laper banget ini." Adilla memegang pergelangan tangan Nitami agar gadis kecil itu segera mengikuti.
"Mbak, ada apa sebenarnya? Kok kayak ngelihat hantu aja." Anwar selalu peka dengan keadaan Adilla.
"Nanti, Mbak ceritakan. Ayo cepet kita pergi dari taman ini sebelum dia menyapa." Sekilas Adilla melirik seseorang. Anwar mengikuti arah pandang si sulung, saat itulah matanya bersirobok dengan orang yang dimaksud.
"Ayo, Dik. Cepet bawa raketnya," perintah Anwar pada Rian.
"Ada apa, sih, Mas? Mendadak semua keburu-buru." Sekalipun banyak pertanyaan bersarang dalam benak bocah lelaki itu yang tak terjawab. Namun, Rian tetap mengikuti arahan semua saudara tertuanya.
Sampai di warung bakso langganan, mereka duduk di bangku paling belakang. Tempat yang tidak akan terlihat oleh orang yang baru masuk ke warung itu. Adilla dengan cepat menyambar botol air mineral yang tersedia di meja tempatnya duduk.
Setelah meneguk hampir separuh, Adilla baru berkata, "Dik, pesen bakso yang biasanya aja, ya. Empat porsi makan di sini, satu porsi di bungkus. Minumnya terserah kalian. Mbak pesenkan jus jeruk aja," perintah Adilla pada Anwar.
"Nggeh, Mbak," jawabnya pada Adilla, "kalian mau pesen apa?" Anwar melihat kedua saudaranya yang lain.
Tanpa mereka sadari, orang yang berusaha dihindari Adilla mengikuti. Ketika masuk warung bakso, dia mulai mencari-cari keberadaan mereka. Senyum licik diberikan saat menemukan keberadaan keluarga Adilla.
"Assalamualaikum. Apa kabar, Rum?" tanyanya santai tanpa rasa bersalah.
Bola mata Adilla hampir keluar saat menatapnya. "Pergi! Kalau nggak mau aku teriak!" ucap Adilla keras.
Happy Reading*****"Kenapa teriak? Aku kangen, lho, cantik." Tangan kanannya berusaha menyentuh pipi Adilla, tetapi bisa ditepis oleh Anwar."Ndak usah sentuh-sentuh mbakku!" Emosi Anwar mulai naik. Dia ingat betul siapa lelaki di depannya ini. Seseorang yang telah menyakiti Adilla cukup dalam."Tenang, Dik! Ini tempat umum." Adilla berbisik dan mengusap lengan Anwar, lagian ada dua adiknya yang masih kecil. Tidak mungkin perempuan itu mempertontonkan pertengkaran dengan sang lelaki."Makin cantik aja kamu. Kulit dan wajahmu juga makin terawat." Lelaki itu meraba lengan Adilla.
Happy Reading*****Rustam memundurkan langkah, nyalinya menciut saat melihat benda tajam yang diacungkan sang mantan. Benda putih berkilau itu sudah mencapai leher, sedikit saja bergerak nyawa taruhannya. Sekian lama tak bertemu dengan Adilla, begitu banyak perubahan yang terjadi."Awas, aja kamu dekat-dekat keluargaku lagi. Aku nggak akan segan melukaimu. Ingat itu!" Mata yang memerah dengan penekanan di setiap kata yang diucap membuat Rustam ngeri. Dia bukan lagi perempuan lugu seperti yang lelaki itu kenal.Rustam tersenyum licik, lalu berbisik pada Adilla, "Jika Ibu dan mereka tahu kerjaanmu, gimana?"
Happy Reading*****Sesampainya di rumah, Adilla mulai terpengaruh dengan curhatan sang sahabat. Terbayang bagaimana susahnya hidup dengan penghasilan pas-pasan sementara kebutuhan hidup terus melambung tinggi. Perempuan itu sudah pernah berada pada fase yang dialami Danang.Reflek tangannya meraih ponsel dan menghubungi Eric. Beberapa kali memanggil, tetapi belum diangkat oleh si daddy. Adilla melirik jam di meja rias, masih pukul sembilan malam.Nggak mungkin Daddy tidur jam segini. Apa dia lagi seneng-seneng sama anak-anak, ya. Adilla menghempaskan diri ke ranjang. Pikirannya terpecah antara membantu Danang atau membiarkan sang sahabat seperti itu seteru
Happy Reading*****Terik mentari terasa menyengat saat Adilla dan Anwar kembali ke rumah. Selesai dengan pembayaran dan segala macam administrasi, mereka meninggalkan dealer. Niat hati ingin membawakan buah tangan untuk keluarga di rumah, urung. Pasalnya, Eric sudah mengirimkan chat bahwa dia sudah ada di depan rumah mereka."Itu bosnya Mbak Rum, ya?" tanya Anwar, "ganteng banget, Mbak. Kelihatan kalau orang kaya."Adilla turun dari motor si Adik. "Ntar kamu juga bisa gitu, Dik. Sekolah yang rajin, ya. Buat Mbak dan keluarga bangga." Perempuan itu menepuk lengan adiknya."Aamiin. Insya Allah, Adik bakal banggain Mbak dan semuanya." Anwar me
Happy Reading*****Kian hari, pertanyaan Danang kian menggunung. Vila yang dia jaga tak pernah sepi tiap malam, tetapi saat pagi hari keramaian itu lenyap tak berbekas. Bagaimana keadaan Adilla pun lelaki itu tak mengetahuinya karena hampir sebulan bekerja tak sekalipun bertemu dengan sahabatnya. Hari ini, sang sahabat ada pekerjaan ke vila, demikian info yang didapat tadi pagi.Awan bergerak mengikuti arus angin, cuaca yang semula panas kini berubah mendung. Danang menatap layar ponsel di mana ada foto istri dan anak-anak yang terpasang sebagai walpaper-nya. Ah, rindu ternyata tak tahu tempat. Hadir seenaknya tanpa tahu kondisi saat ini yang tengah bekerja berjuang mencari uang untuk menafkahi keluarga.Senyum-
Happy Reading*****Suasana riuh pasar traditional membuat Sumaiyah bingung. Perempuan sepuh itu celingak-celinguk mencari sayur dan bumbu masakan lainnya. Memasuki bulan Rabiul Awal kalender hijriah, di daerah Banyuwangi memanglah sangat ramai. Bulan itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di mana pada setiap harinya akan ada perayaan untuk hari kelahiran Nabi, puncaknya tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal.Banyak masyarakat berbelanja lebih untuk memeriahkan selamatan hari kelahiran Nabi. Demikian juga dengan Sumaiyah, setelah kemarin mendapat kiriman uang dari putrinya. Pagi ini, dia pergi ke pasar untuk berbelanja segala macam kebutuhan dapur termasuk bunga Maulud (penyebutan perayaan hari lahir Nabi Muhammad). Bunga yang terbuat dari kertas dan karton dengan tangkai dari
Happy Reading*****Dentuman musik keras semakin membuat Adilla lincah meliuk-liukkan tubuh. Remasan dan sentuhan pada bagian-bagian tubuh dari para lelaki penyewa jasanya tak lagi dipedulikan. Perempuan itu berusaha sebaik mungkin melakonkan pekerjaan. Semakin baik dia memberikan servis pada pelanggan, semakin banyak pundi-pundi rupiah dikumpulkan.Terhitung lima orang yang sudah memakai jasanya hari ini. Dari lelaki biasa saja yang ingin menikmati sensasi jajan di luar selain dengan istri hingga lelaki maniak haus kenikmatan. Letih, tentu saja perempuan itu merasakannya.Namun, mau bagaimana lagi. Dia terlanjur terjun ke dunia semacam ini. Saat selera bercintanya mengendur karena sang pelanggan tak sesuai harapan. Sigap dia membayangkan
Happy Reading*****Sepeninggal orang tua Bila, Rian menelepon Anwar. Mengabarkan jika ibunya pingsan. Pemuda yang masih menempuh mata kuliah di kelasnya itu, panik. Dia memutuskan minta ijin pada dosen untuk mengakhiri kelas.Mengendari motor dengan kecepatan di atas rata-rata, Anwar tak memedulikan keselamatannya. Kesehatan Sumaiyah jauh lebih penting dari nyawanya saat ini. Jarak tempuh sepuluh menit saja, dia sudah sampai di rumah. Tanpa mencopot helm yang dikenakan, dia berteriak memanggil Rian."Mas, gimana itu? Sampai sekarang Ibu belum sadar," kata Rian."Kenapa bisa gitu, Dik? Udah manggil dokter?" tanya Anwar beruntun.