Beranda / Romansa / Sang Mantan Pelacur / 4. Kisah Cinta Masa Lalu

Share

4. Kisah Cinta Masa Lalu

Happy Reading

*****

"Kenapa teriak? Aku kangen, lho, cantik." Tangan kanannya berusaha menyentuh pipi Adilla, tetapi bisa ditepis oleh Anwar.

"Ndak usah sentuh-sentuh mbakku!" Emosi Anwar mulai naik. Dia ingat betul siapa lelaki di depannya ini. Seseorang yang telah menyakiti Adilla cukup dalam.

"Tenang, Dik! Ini tempat umum." Adilla berbisik dan mengusap lengan Anwar, lagian ada dua adiknya yang masih kecil. Tidak mungkin perempuan itu mempertontonkan pertengkaran dengan sang lelaki.

"Makin cantik aja kamu. Kulit dan wajahmu juga makin terawat." Lelaki itu meraba lengan Adilla.

"Lancang sekali njenengan." Anwar kembali menepis sentuhan lelaki bernama Rustam itu.

"He. Jaga mulutmu, bocah!" Rustam sudah hampir melayangkan tamparan pada Anwar, tetapi Adilla menghalanginya.

"Pergi ... pergi!" usir Adilla disertai teriakan. Banyak pengunjung yang akhirnya melihat ke arah mereka. Salah satu pegawai warung menghampiri Rustam.

Entah apa yang dikatakan pada lelaki itu hingga membuatnya meninggalkan warung bakso. Adilla terduduk lemas di antara adik-adiknya. Mau sampai kapan dia dihantui ketakutan tiap kali bertemu dengan Rustam. Bukan ketakutan akan dianiaya atau sebagainya, tetapi ketakutan jika si lelaki sampai membuka apa pekerjaan Adilla sebenarnya.

"Minum dulu, Mbak." Anwar memberikan jus jeruk yang dipesan Adilla tadi.

Rian dan Nitami, hanya menatap kedua saudaranya tanpa berniat menanyakan apa pun. Biarlah nanti, mereka yang akan menceritakan kejadian tadi dengan sendirinya. Sebagai dua orang yang belum dewasa, Nitami dan Rian belum memahami apa permasalahannya.

Mereka, hanya mengetahui bahwa lelaki yang tadi mendatangi saudara tertuanya adalah suami Adilla. Namun, mengapa sekarang tidak tinggal serumah lagi, mereka tak tahu alasannya. Nitami menangkupkan tangan mungilnya di atas pergelangan kanan Adilla.

"Mbak, jangan sedih, ya. Ini baksonya bisa dimaem, ndak?" tanya Nitami polos. Seketika Adilla dan Anwar saling menatap dan tersenyum.

"Yo dimaem lah, Dik. Maem aja duluan," suruh Adilla.

Selera makan Adilla anjlok setelah kejadian tadi. Ketika tiga saudaranya sibuk menghabiskan bakso yang mereka pesan, dia malah sibuk melamun.

Sekitar lima tahun silam, Adilla masihlah seorang istri dengan segala keluguan yang melekat padanya. Menikah di usia 16 tahun bukanlah hal mudah. Saat gadis seusianya masih sibuk menuntut ilmu, Adilla harus sibuk mengurus suami dan juga seluruh keluarga.

Posisinya sebagai istri Rustam tak ubah seperti pembantu. Semua pekerjaan rumah tangga dilakukan. Tak ada satu pun janji yang lelaki itu penuhi seperti ketika pertama kali melamar Adilla pada bapaknya. Jangankan meneruskan sekolah, perempuan itu malah dilarang untuk menemui keluarga setelah menikah.

Makian, cacian bahkan tamparan sering didapat dari lelaki bernama Rustam. Adilla menghela napas panjang. Terbayang semua kesakitannya kala itu. Usia yang masih sangat muda memberi banyak peluang baginya untuk dipermainkan.

Puncak kesakitan Adilla adalah ketika suatu malam, sang suami pulang dengan keadaan mabuk.

"Kenapa malam-malam di luar dengan pakaian seperti ini?" tanya Rustam sambil menarik baju tidur Adilla yang tanpa lengan.

Perempuan itu mencium bau asam bercampur busuk dari mulut suaminya. Mata merah juga tergambar jelas di sana. "Aku nunggu, Mas, pulang," jawabnya gagap dan takut.

"Alasan!" teriak Rustam, "mau jadi lo**e keluar malam-malam dengan pakaian seperti ini?"

"Bi-asanya ju-ga pa-ke i-ni, Mas." Adilla merutuki dirinya sendiri karena memilih pakaian itu. Semula, dia ingin menyambut kehadiran sang suami dengan dandanan yang sedikit menggoda. Adilla sudah jenuh seringkali dikata-katain mandul oleh mertua karena tak kunjung hamil.

"Masuk, Sayang!" perintahnya pada seorang perempuan yang pakaiannya lebih mirip dengan sebutan kata dari Rustam tadi.

"Mas, siapa dia?" teriak Adilla.

Wanita itu melirik Adilla dengan tatapan hina.

"Tak perlu hiraukan keberadaannya," kata Rustam.

"Inikah perempuan yang kamu ceritakan, Mas?" ucapnya manja dengan suara yang dibuat semerdu mungkin.

"Iya," jawab Rustam. Dia mengeratkan pelukan pada wanita itu. Sesekali mencium pipi dan rambut yang tergerai. Adilla mematung melihat tingkah suaminya.

Dia, lelaki yang telah Adilla pilih menjadi imamnya, mengapa tega memberikan contoh buruk. Di mana Rustam yang dulu pertama kali kenal begitu lembut dan baik? Suaminya dan wanita tak dikenal itu masuk dengan tenang ke kamar yang ditempati mereka selama ini. Keras, Rustam menutup pintu dan menguncinya.

Malam itu adalah malam permualaan dari segala siksa batin bagi Adilla. Sebagai seorang istri yang masih muda dan lugu, dia menunggu suaminya tepat di depan pintu. Selang beberapa menit, Adilla mendengar suara-suara yang sulit dibayangkan.

Usia belasan tahun, dia sudah merasakan pahitnya hidup. Tubuh Adilla meluruh, tangannya keras mengetuk-ngetuk pintu kamar. Namun, Rustam tak menggubris sama sekali. Suara-suara khas hingga desahan kenikmatan semakin menggema pada indera perempuan itu.

"Mbak'e gak suka sama baksonya, ya?" tanya Rian. Mengguncang pelan lengan saudara perempuannya yang sedang melamun.

"Mbak Dilla sakit?" tanya si bungsu.

Mata Adilla menerawang jauh. Embun itu tak dapat disembunyikan lagi, sakit ... teramat sakit apa yang lelaki itu goreskan pada hatinya. Anwar yang menyadari perubahan Adilla, segera merengkuh saudara tertuanya itu ke dalam pelukan.

"Mbak, jangan nangis di sini. Malu dilihat orang. Kita pulang aja, ya?" Anwar berbisik.

Adilla masih diam mematung, tak menjawab satu patah kata pun. Ketiga saudaranya menjadi bingung harus melakukan apa. Anwar masih mendekapnya dalam pelukan, Nitami mengelus lengan kanan Adilla dan Rian terus memanggil namanya. Mereka semua sedih dan khawatir.

"Mas, iki piye kok gini?" Nitami mulai terisak. "Adik enggak suka sama orang tadi. Adik benci dia, awas aja kalau ketemu tak mbalang watu (lempar batu) gede."

"Ojo nangis, Dik," seru Rian, Nitami makin mengeraskan tangisannya.

Suara tangisan Nitami mengusik indera Adilla, dia mulai tersadar. Cepat-cepat dia mengurai pelukan Anwar, lalu menyeka embun bening itu dari kedua mata. Adilla menatap ketiga adiknya.

"Maafkan, Mbak. Sudah buat kalian khawatir," akunya. Adilla merogoh tas selempang dan mengeluarkan uang berwarna merah. Diberikannya lembaran berharga itu pada Anwar untuk membayar makanan.

"Kita pulang aja, ya, Mbak. Adik enggak mau Mbak kayak gini lagi. Pokoknya Adik janji, kalau ketemu orang itu bakalan tak lempar batu sampai berdarah-darah." Nitami mengepalkan tangan.

"Nggak perlu gitu, Dik. Lupain aja orang gendeng (gila) kayak dia. Rugi kalau kita sampai masuk hotel prodeo gara-gara wong sing nggak jelas macam dia." Adilla mencium pipi Nitami.

Setelah membayar semua makanan, mereka berniat pulang. Namun, di depan pintu masuk warung bakso itu. Rustam berdiri tegak menunggu. Mereka berempat saling memandang. Rian dan Anwar maju terlebih dulu.

"Kenapa lagi, Mas?" tanya Anwar.

"Minggir!" seru Rustam, "aku mau ngomong sama lo**e satu itu."

"Jaga mulutmu!" Anwar langsung melayangkan bogeman pada Rustam. Darah mudanya terusik dengan kata sarkas dari bibir sang mantan kakak ipar.

"Beraninya kamu!" teriak Rustam.

"Berhenti!" Adilla tak kalah lantang berteriak. Di tangan kanannya sudah ada pisau lipat yang diacungkan pada lelaki itu. Menjadi pekerja malam harus memiliki benteng pertahanan untuk berjaga-jaga. Oleh karenanya, dia selalu siap dengan pisau lipat di dalam tas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status