Happy Reading
*****Terik mentari terasa menyengat saat Adilla dan Anwar kembali ke rumah. Selesai dengan pembayaran dan segala macam administrasi, mereka meninggalkan dealer. Niat hati ingin membawakan buah tangan untuk keluarga di rumah, urung. Pasalnya, Eric sudah mengirimkan chat bahwa dia sudah ada di depan rumah mereka.
"Itu bosnya Mbak Rum, ya?" tanya Anwar, "ganteng banget, Mbak. Kelihatan kalau orang kaya."
Adilla turun dari motor si Adik. "Ntar kamu juga bisa gitu, Dik. Sekolah yang rajin, ya. Buat Mbak dan keluarga bangga." Perempuan itu menepuk lengan adiknya.
"Aamiin. Insya Allah, Adik bakal banggain Mbak dan semuanya." Anwar mengikuti langkah si sulung menyapa bosnya.
Eric menoleh ke arah Adilla yang baru saja memanggil. Meneliti tampilan salah satu anak kesayangannya. Cantik alami tanpa polesan make up seperti biasa dilihatnya. Pantas jika banyak pelanggan tergila-gila pada perempuan satu ini. Gayanya sangat natural tanpa dibuat-buat, kentara sekali kebahagiaan terpancar.
"Dad!" panggil Adilla. Namun, dia segera meralat ucapannya tadi ketika gelengan kepala Eric terlihat. Agar tak menimbulkan kecurigaan bagi keluarga. "Bapak kapan datang?"
"Sekitar sepuluh menit lalu. Mana lelaki yang kamu rekomen buat satpam rumah baruku?" tanya Eric sedikit kaku. Pasalnya, Anwar memicingkan mata, menelisik setiap gerak-gerik keduanya.
"Masuk dulu, Pak," pinta Adilla.
Sesampainya di ruang tamu, perempuan itu memanggil Ibu serta memperkenalkan Anwar pada Eric. Dari pengamatan si bos, keluarga Adilla cukup sederhana, meskipun kemewahan sudah tercukupi.
"Njenengan ngunjuk nopo (Mau minum apa), Pak?" tanya Sumaiyah pada Eric dan sopirnya.
Dua lelaki yang ditanya malah saling menatap, bingung mesti menjawab. Pasalnya perempuan yang mereka kenal tadi masuk ke kamar, mengganti pakaian dan Anwar juga tidak berada di ruang tamu itu. Eric menaikkan dagu yang dibalas dengan bahu yang terangkat oleh pegawainya.
"Maaf, Bu. Bisa ulangi pertanyaannya. Terus terang saya nggak ngerti artinya. Kalau bisa sih pake bahasa Indonesia saja," kata Eric pelan takut menyinggung perasaan sang pemilik rumah.
Sumaiyah tersenyum lebar. "Jadi, njenengan bukan orang Jawa, tho. Pantas ndak ngerti artinya. Bapak mau minum apa?"
"Oh, artinya gitu." Senyum Eric tak kalah lebar dibanding Sumaiyah. "Nggak perlu repot-repot, Bu. Kami berdua sudah minum tadi." Lelaki itu melirik sopirnya.
"Iya, Bu. Bener katanya Pak Bos. Saya juga baru minum." Si sopir menimpali.
"Bikinin aja kopi, Bu. Mereka paling suka minuman satu itu." Adilla menyahuti perkataan dari belakang.
"Yo wis tak bikinkan dulu." Perempuan sepuh itu pamit.
Sepeninggal ibunya Adilla, Eric menatap sekeliling, memastikan tak ada orang selain mereka bertiga. Satu lirikan pada si sopir agar dia meninggalkan ruangan itu. Setelahnya, Eric mendekat pada Adilla. Menyentuh pipi dengan bibir serta memeluk anak kesayangan.
"You look so beauty, Beib. Nggak nyangka kecantikanmu sealami ini kalau di kampung."
"Jangan di sini, Dad," bisik Adilla.
"Oke." Eric kembali duduk di tempat semula bersamaan dengan salam yang diucap oleh seorang pria.
Adilla salah tingkah, sementara Eric mengamati tampilan lelaki yang berada di ambang pintu. Tubuh tinggi tegap dengan wajah yang lumayan ganteng, tetapi cara berpakaiannya sangatlah tidak sedap dipandang. Rambut sedikit gondrong, kumis serta jambang yang belum dirapikan.
"Masuk, Nang," pinta Adilla, "silakan duduk! Ini bos yang aku ceritain tadi pagi." Perempuan itu menunjuk Eric dengan tangan kanan.
"Selamat siang, Pak," sapa Danang yang langsung mengulurkan tangan hendak berjabat. "Saya Eric temen Erum dari kecil."
"Oke. Saya terima kamu sebagai satpam di rumah baru, tapi rapikan tampilanmu. Kita berangkat nanti malam. Gimana kamu setuju?" tanya Eric serius.
"Beneran, Pak. Nggak perlu di tes apa gitu?" tanya Danang antusias dan penuh kebahagiaan.
"Saya yakin rekomendasi dari Erum adalah yang terbaik," ucap Eric. Lirikan mata penuh hasrat dia berikan pada Adilla.
"Saya boleh permisi sekarang, Pak. Mau nyiapin diri dan ngasih tahu istri."
"Boleh. Lebih cepat lebih baik."
*****
Selepas salat Isya, rombongan Eric beserta Danang dan Adilla berangkat ke pulau seberang. Tangisan serta doa dari anak istri sahabatnya itu mengiringi kepergian mereka. Demikian juga keluarga Adilla yang masih belum puas melepas kangen, tetapi harus berpisah kembali karena keadaan.
"Jangan lupa ngabari kalau udah sampai, Nduk," suruh Sumaiyah.
Istri Danang pun mengatakan hal sama seperti perempuan sepuh itu. Satu per satu adik-adik Adilla memeluk dan mencium saudara tertua mereka. Sebagai lelaki yang tak memliki keluarga, Eric cukup terharu melihat adegan perpisahan itu.
Sedari kecil tak pernah mengetahui siapa orang tua kandungnya, hidup di panti asuhan dan diadopsi oleh seorang mucikari. Eric tak pernah benar-benar merasakan rasa kasih sayang keluarga. Pada anak buah yang lain, si bos tak pernah memiliki simpati sebesar pada Adilla.
Ya, semenjak kedatangannya di rumah sang anak kesayangan, Eric bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga walau dalam keadaan kekurangan. Rasa simpatinya pada Adilla makin besar saat dia tahu pekerjaan yang dilakonkan perempuan itu bukan semata untuk mencari kebahagiaan sendiri. Ada banyak nyawa bergantung pada perempuan itu.
Setelah suasana mengharu biru yang diwarnai tangisan, mereka berangkat. Danang duduk di depan sebelah sopir, sedangkan Adilla dan Eric berduaan di belakang.
Enam jam ke depan, mereka semua akan sampai pada kota tujuan. Bisa saja si bos naik pesawat mencapai pulau dewata karena di kota Gandrung sekarang ini, penerbangan domestik sudah dilakukan tiap hari. Namun, sensasinya akan sangat berbeda. Itulah kenapa lelaki itu masih betah dan menyukai perjalanan darat.
Dini hari, mereka semua baru sampai di rumah Eric. Rumah yang sengaja didesain seperti vila dan disewakan kepada para pelanggan yang memakai jasa anak buahnya. Danang menatap takjub pertama kali masuk ke sana.
"Kamarmu ada di pojok depan itu," tunjuk Eric pada sebuah rumah kecil yang ada di halaman vila. "ini kuncinya."
Danang menggerakkan bola mata tak percaya. Rumahnya saja tak sebagus bangunan yang dikatakan sebagai kamar oleh si bos. "Pak, itu saya sendirian yang tinggal di sana?" tanyanya masih tak percaya.
"Iya. Istirahatlah sekarang, besok pekerjaanmu sudah dimulai. Saya jelaskan besok gimana cara kerjamu. Saya capek, mau istirahat juga." Eric menggandeng tangan Adilla tanpa sadar dan hal itu sukses membuat Danang memicingkan mata.
Cepat Adilla menepis tangan si Daddy, sadar jika sahabatnya mulai curiga. "Jangan gini, Dad. Danang bisa tahu rahasia kita nanti," pinta perempuan itu.
*****
Pukul delapan pagi, dering suara telepon di ruangan Danang berbunyi nyaring. Subuh tadi, sebenarnya lelaki itu sudah bangun, tetapi melihat keadaan yang masih sepi. Dia memutuskan untuk tidur kembali.
"Halo. Siapa ini?" tanya Danang saat gagang telepon sudah di telinga kiri.
"Nang, Pak Eric mau bicara. Bisa kamu ke rumah utama?" Suara di seberang ternyata adalah Adilla.
"Oke, Rum. Sepuluh menit lagi aku ke sana." Setelah mendengar perkataan Adilla, Danang gegas bangun dan bersiap.
Satu perintah dari Eric dan arahan yang diberikan pada Danang sudah cukup mewakili apa tugas lelaki itu. Setelahnya si bos dan Adilla pergi meninggalkannya sendirian di vila.
Danang mulai mengenakan seragam yang diberi oleh salah satu perempuan sepuh yang diduga sebagai asisten rumah tangga. Ayah dua anak itu mulai menjalankan perintah si bos. Duduk menunggu tamu yang datang ke vila.
Bakda Magrib, satu mobil mulai memasuki halaman vila. Ketika Danang membantu membukakan pintu kendaraan tamunya, dia melihat adegan mesra sang pengemudi dengan perempuan seksi. Asyik sekali mereka dengan adegan seperti saling bertukar permen.
Danang mengelus dada, jika memang masih ingin bermesraan mengapa pintu mobil tidak dikunci otomatis. Namun, lelaki itu kembali pada fokus utama tugasnya. Menjaga keamanan vila.
Semakin malam, vila itu makin ramai dikunjungi pasangan-pasangan dan rata-rata perempuannya berpakaian seksi yang sangat mengundang hasrat. Danang merenung, ada apa dengan tempat ini. Mengapa siang tadi sepi, tetapi makin malam bertambah ramai.
Happy Reading*****Kian hari, pertanyaan Danang kian menggunung. Vila yang dia jaga tak pernah sepi tiap malam, tetapi saat pagi hari keramaian itu lenyap tak berbekas. Bagaimana keadaan Adilla pun lelaki itu tak mengetahuinya karena hampir sebulan bekerja tak sekalipun bertemu dengan sahabatnya. Hari ini, sang sahabat ada pekerjaan ke vila, demikian info yang didapat tadi pagi.Awan bergerak mengikuti arus angin, cuaca yang semula panas kini berubah mendung. Danang menatap layar ponsel di mana ada foto istri dan anak-anak yang terpasang sebagai walpaper-nya. Ah, rindu ternyata tak tahu tempat. Hadir seenaknya tanpa tahu kondisi saat ini yang tengah bekerja berjuang mencari uang untuk menafkahi keluarga.Senyum-
Happy Reading*****Suasana riuh pasar traditional membuat Sumaiyah bingung. Perempuan sepuh itu celingak-celinguk mencari sayur dan bumbu masakan lainnya. Memasuki bulan Rabiul Awal kalender hijriah, di daerah Banyuwangi memanglah sangat ramai. Bulan itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di mana pada setiap harinya akan ada perayaan untuk hari kelahiran Nabi, puncaknya tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal.Banyak masyarakat berbelanja lebih untuk memeriahkan selamatan hari kelahiran Nabi. Demikian juga dengan Sumaiyah, setelah kemarin mendapat kiriman uang dari putrinya. Pagi ini, dia pergi ke pasar untuk berbelanja segala macam kebutuhan dapur termasuk bunga Maulud (penyebutan perayaan hari lahir Nabi Muhammad). Bunga yang terbuat dari kertas dan karton dengan tangkai dari
Happy Reading*****Dentuman musik keras semakin membuat Adilla lincah meliuk-liukkan tubuh. Remasan dan sentuhan pada bagian-bagian tubuh dari para lelaki penyewa jasanya tak lagi dipedulikan. Perempuan itu berusaha sebaik mungkin melakonkan pekerjaan. Semakin baik dia memberikan servis pada pelanggan, semakin banyak pundi-pundi rupiah dikumpulkan.Terhitung lima orang yang sudah memakai jasanya hari ini. Dari lelaki biasa saja yang ingin menikmati sensasi jajan di luar selain dengan istri hingga lelaki maniak haus kenikmatan. Letih, tentu saja perempuan itu merasakannya.Namun, mau bagaimana lagi. Dia terlanjur terjun ke dunia semacam ini. Saat selera bercintanya mengendur karena sang pelanggan tak sesuai harapan. Sigap dia membayangkan
Happy Reading*****Sepeninggal orang tua Bila, Rian menelepon Anwar. Mengabarkan jika ibunya pingsan. Pemuda yang masih menempuh mata kuliah di kelasnya itu, panik. Dia memutuskan minta ijin pada dosen untuk mengakhiri kelas.Mengendari motor dengan kecepatan di atas rata-rata, Anwar tak memedulikan keselamatannya. Kesehatan Sumaiyah jauh lebih penting dari nyawanya saat ini. Jarak tempuh sepuluh menit saja, dia sudah sampai di rumah. Tanpa mencopot helm yang dikenakan, dia berteriak memanggil Rian."Mas, gimana itu? Sampai sekarang Ibu belum sadar," kata Rian."Kenapa bisa gitu, Dik? Udah manggil dokter?" tanya Anwar beruntun.
Happy Reading*****Hari ini Adilla mengosongkan semua jadwal kerjanya. Ada kesakitan yang dirasakan mendengar desas-desus tentang pekerjaan yang dilakonkan saat ini. Dia menyesap wine merah di balkon kamar. Ditemani semilir angin dan cuaca panas, perempuan itu merenungi nasibnya."Aku nggak mau hidup begini, tapi takdir membawa dan memaksaku melakukannya. Bukan aku yang salah!" teriak Adilla sekencang mungkin. Dia meracau sendiri di temani rokok dan botol-botol minuman keras.Seseorang di luar kamar, mendengar teriakan Adilla. Sayup-sayup sebenarnya, tak jelas juga apa yang diteriakkan. Namun, rasa penasarannya kian tinggi karena orang yang ada di dalam kamar itu adalah Adilla. Bintang dan penyumbang terbesar pendapatan Eric sel
Happy Reading*****Perut keroncongan membuat Adilla turun dan melangkah ke arah dapur. Mencari-cari bahan yang bisa dia masak. Malas memasak, perempuan itu mengambil mi instan. Tangannya mulai menghidupkan kompor merebus air kemudian memasukkan mi."Lagi masak apa, Beib?" tanya Eric yang langsung meletakkan kepala di ceruk leher Adillla."Daddy kapan datang? Mau aku buatkan mi juga?" Dari aroma parfumnya saja, Adilla sudah mengetahui siapa yaang memeluknya kini."Asyik tuh menikmati mimu ini." Tangan lelaki itu meraba bagian vital Adilla. Si pemilik mendesah keenakan."Jangan sekarang, Dad. Aku laper, dari kemarin belum keiisi
Happy Reading*****Di tempat berbeda, empat orang lelaki mendatangi kantor salah satu sahabatnya yang terkenal paling dingin dan sedang dilanda kesedihan. Pasalnya, lelaki itu baru saja diminta oleh sang Bunda untuk menikah. Namun, bagaimana bisa dia melakukan jika mendiang istrinya masih bersemayan indah di hati dan kepergiannya baru dua bulan lalu."Nggak asyik lah, Yud. Masak kamu nggak ikut. Billy udah siapin hadiah buat kita, lho," kata salah satu dari mereka yang bernama Hasbi."Aku beneran enggak bisa. Putriku lagi butuh banget kasih sayang. Kalian tahu sendirilah gimana keadaanku sekarang." Lelaki yang bernama Angga Yuda itu menutup map di depannya, bersiap-siap meninggalkan para sahabat yang sejak tadi merecoki pekerjaan.
Happy Reading*****Selesai mandi, mereka semua keluar kamar. Demikian juga Adilla, dia bersiap di meja makan. Sebelum keluar, perempuan itu sempat menghubungi Billy. Menanyakan makan malam untuk mereka semua."Hai, Beib. Kamu udah siap di sini ternyata. Boleh dong buatin kami sesuatu yang manis terlebih dahulu, kopi atau teh, misalnya," kata Billy yang wajahnya sudah terlihat segar."Aku nggak usah, mau bikin sendiri aja. Perempuan sepertimu mana tahu seleraku." Angga berkata sinis dengan melirik Adilla. Melangkah pergi melewati perempuan secantik dirinya begitu saja.Gila ni laki, nggak kegoda sedikit pun sama aku. Awas aja nanti. Adilla menggerutu dalam hati.