Happy Reading
*****
Rustam memundurkan langkah, nyalinya menciut saat melihat benda tajam yang diacungkan sang mantan. Benda putih berkilau itu sudah mencapai leher, sedikit saja bergerak nyawa taruhannya. Sekian lama tak bertemu dengan Adilla, begitu banyak perubahan yang terjadi.
"Awas, aja kamu dekat-dekat keluargaku lagi. Aku nggak akan segan melukaimu. Ingat itu!" Mata yang memerah dengan penekanan di setiap kata yang diucap membuat Rustam ngeri. Dia bukan lagi perempuan lugu seperti yang lelaki itu kenal.
Rustam tersenyum licik, lalu berbisik pada Adilla, "Jika Ibu dan mereka tahu kerjaanmu, gimana?"
Adilla diam seribu bahasa, tetapi dia tetap mengacungkan pisau itu pada leher Rustam. "Kupastikan nyawamu melayang." Tangannya mulai menggerakkan ujung pisau pada leher sang mantan suami.
Rustam merinding, goresan ujung pisau itu sukses melukai kulit. Sedikit memang, tetapi sanggup menciutkan nyali. "Oke ... oke. Aku janji nggak akan ganggu kamu lagi, tapi turunkan pisaumu dulu."
Pelan, Adilla menurunkan benda tajam ditangannya. Ketiga bersaudara itu saling memeluk, baru kali ini mereka melihat kemarahan yang begitu besar dari si sulung. Anwar, adik yang paling tua dan tahu bagaimana perlakuan Rustam dulu, cukup lega melihat perlawanan si sulung. Sudut pandang pemuda itu tentang saudaranya bergeser, si sulung sudah mampu melindungi diri sendiri. Tidak seperti keadaan dulu, hanya menangis dan menangis menghadapi kezaliman Rustam.
Lelaki yang menorehkan begitu banyak luka pada Adilla itu akhirnya pergi dengan wajah menahan malu. Orang-orang di sekeliling yang menjadi penonton pertengkaran mereka, membubarkan diri seiring kepergian sang perempuan dan keluarganya.
"Apa dia sering nemui, Mbak? Enaknya dilaporin ke polisi aja." Anwar berkata di tengah-tengah perjalanan pulang.
Adilla diam tak menjawab, emosi dalam hatinya masih tinggi. Peluh pun membanjiri tubuh. "Nggak perlu, Dik. Mbak iso ngadepi dia. Tenang wae, ya. Satu lagi, ojo cerita Ibu kejadian iki. Adik-adik yang lain juga nggak boleh ada yang cerita. Paham, 'kan?"
Mereka semua mengangguk patuh. Sepanjang perjalanan, semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Sesekali menjawab sapaan salam dari para tetangga yang kebetulan berpapasan.
Mendekati rumah, netra Adilla menangkap siluet seseorang yang sangat dikenal. Keadaannya begitu menyedihkan, baju kusut serta lusuh tak karuan. Muka yang terlihat begitu frustasi dan putus asa. Hati si sulung mulai terenyuh.
"Dik," panggil Adilla pada Anwar, "Apa itu Mas Danang?"
Anwar menengok ke arah Adilla, inderanya mengikuti telunjuk si sulung. "Enggeh kayaknya, Mbak."
"Dia jualan apa?"
"Biasanya jualan mainan anak-anak yang dibuat sendiri, tapi kalau itu kayaknya bukan." Anwar dan adik-adiknya mengikuti langkah Adilla mendekati sosok lelaki yang dimaksud.
"Cepatan dikit, Dik. Masnya dah mau pergi, tuh." Setengah berlari mereka mendekati lelaki yang dipanggil Danang itu.
"Nang, tunggu!" panggil Adilla sedikit keras.
Lelaki berpakaian kaos lusuh berwarna kuning yang hampir memudar itu, menengok pada sumber suara. Mata mereka bertemu, keduanya meneliti tampilan masing-masing. Danang yang dulu selalu tampil bersih dan rapi serta sangat rupawan kini sangat jauh berbeda.
"Kamu, Danang, 'kan?" tanya Adilla memastikan.
"Iya. Apa kabar, Rum?" Ternyata, Danang masih bisa mengenali sahabat masa kecilnya itu.
"Alhamdulillah, aku baik," jawab Adilla, "kamu jualan apa?"
"Jajanan anak-anak. Mau nyoba?" Danang menghentikan gerobak dagangannya.
"Kalian mau?" Adilla menatap ketiga adiknya. Terus terang dia sangat iba melihat keadaan sahabat terbaiknya seperti itu.
Nitami paling keras menjawab pertanyaan si sulung. Sementara dua adik Adilla, hanya mengangguk. "Pesen lima porsi, ya, Nang," kata Adilla.
"Bentar aku siapkan." Danang mulai meracik pesenana mereka.
Tak sampai setengah jam, pesanan mereka sudah selesai. Lima porsi kue pukis dengan pugas sesuai pesanan masing-masing siap disantap. Sambil memakan kue itu Adilla dan Danang berbincang.
Menanyakan pekerjaan dan keluarga masing-masing hingga curhat sang sahabat terkait permasalahan ekonomi. Adilla terenyuh, apa yang dialami Danang, perempuan itu pernah merasakan. Dihina dan dicaci karena kemiskinan. Dijauhi para sahabat dan tetangga, semua sudah hadir menghiasi hidupnya.
"Anak kamu berapa, Nang?" tanya Adilla.
"Udah dua, Rum. Makanya kerja apa aja aku lakoni asal halal, buat makan mereka sama biaya sekolah. Kamu sekarang kelihatan lebih makmur. Seneng lihatnya," ucap Danang.
"Alhamdulillah. Semua berkat doa Ibu dan adik-adik. Aku kerja juga untuk masa depan mereka. Mumpung aku masih di sini, kamu ajak main anak istrimu ke rumah, ya." Ada keinginan perempuan itu untuk memberi sesuatu pada keluarga sang sahabat.
"Insya Allah, Rum. Kalau ada kesempatan, aku pasti main ke rumahmu. Udah lama juga nggak ketemu Ibu."
Melihat jajanan adik-adiknya sudah habis tak bersisa, Adilla mengajak mereka segera pulang. Hari sudah semakin sore, takut Suamiyah khawatir menunggu kedatangan mereka. Perempuan berkulit kuning langsat itu merogoh dompet dan mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah.
Tanpa bertanya pada si pedagang berapa jumlah yang harus dibayar, Adill menyerahkan uang itu pada sahabatnya. Danang menatap tak percaya dengan uang yang diberikan.
"Rum, ini kebanyakan. Aku nggak punya kembalian. Kasih uang kecil. Aja, ya."
"Sisanya kasih aja ke anak-anakmu, Nang. Sampaikan salam sama mereka, itu hadiah dari tantenya yang belum pernah ketemu." Adilla tersenyum menatap Danang.
"Oalah. Repot-repot gini, Rum. Terima kasih banyak, lho," ucap Danang.
"Cuma itu yang bisa aku kasih, Nang. Semoga bisa membahagiakan," ucap Adilla.
Perempuan itu mengajak adik-adiknya pulang dan berpamitan pada sang sahabat. Sebuah ungkapan syukur Adilla ucapkan dalam hati. Masih ada orang yang jauh lebih menderita hidup dibandingkan dirinya.
"Jadi, Mas Danang itu sahabate Mbak Rum, ya?" tanya si bungsu di tengah perjalanan pulang.
"Iya, Dik. Waktu Mbak Rum masih kecil kami sering main bareng. Sayang, setelah itu kita nggak pernah main bareng karena kesibukan masing-masing," terang Adilla.
"Alhamdulillah. Hari ini bisa ketemu lagi sama Mas Danang, Mbak. Jadi bisa nostalgia, deh." Anwar menambahkan.
"Iya, dong."
Dari arah depan mereka berjalan, ada dua orang perempuan seumuran Sumaiyah yang menatap lekat pada Adilla dan adik-adiknya. Kekita mereka berpapasan, salah satu perempuan paruh baya itu menyapa.
"Kapan datang, Rum? Udah kayak orang kaya aja kamu sekarang," ucap perempuan yang memakai daster warna hijau botol.
Adilla berhenti sejenak untuk menjawab sapaan mereka. "Tadi pagi, Bu."
"Oalah, baru tadi pulang. Oh, ya. Kalau kerja di kota, hati-hati dan lebih mawas diri ya, Rum. Jangan seperti anaknya Pak Marwoto yang katanya kerja di salah satu restoran. Eh, nggak tahunya simpanan bule. Nggak mungkin nikah 'kan kalau udah gitu. Pasti kumpul kebo," ucap yang lain.
Adilla menelan ludah kasar. Menatap dua orang itu dengan perasaan yang tak karuan. Berharap tak akan pernah ada yang tahu apa sebenarnya pekerjaan yang dijalani di kota seberang.
Happy Reading*****Sesampainya di rumah, Adilla mulai terpengaruh dengan curhatan sang sahabat. Terbayang bagaimana susahnya hidup dengan penghasilan pas-pasan sementara kebutuhan hidup terus melambung tinggi. Perempuan itu sudah pernah berada pada fase yang dialami Danang.Reflek tangannya meraih ponsel dan menghubungi Eric. Beberapa kali memanggil, tetapi belum diangkat oleh si daddy. Adilla melirik jam di meja rias, masih pukul sembilan malam.Nggak mungkin Daddy tidur jam segini. Apa dia lagi seneng-seneng sama anak-anak, ya. Adilla menghempaskan diri ke ranjang. Pikirannya terpecah antara membantu Danang atau membiarkan sang sahabat seperti itu seteru
Happy Reading*****Terik mentari terasa menyengat saat Adilla dan Anwar kembali ke rumah. Selesai dengan pembayaran dan segala macam administrasi, mereka meninggalkan dealer. Niat hati ingin membawakan buah tangan untuk keluarga di rumah, urung. Pasalnya, Eric sudah mengirimkan chat bahwa dia sudah ada di depan rumah mereka."Itu bosnya Mbak Rum, ya?" tanya Anwar, "ganteng banget, Mbak. Kelihatan kalau orang kaya."Adilla turun dari motor si Adik. "Ntar kamu juga bisa gitu, Dik. Sekolah yang rajin, ya. Buat Mbak dan keluarga bangga." Perempuan itu menepuk lengan adiknya."Aamiin. Insya Allah, Adik bakal banggain Mbak dan semuanya." Anwar me
Happy Reading*****Kian hari, pertanyaan Danang kian menggunung. Vila yang dia jaga tak pernah sepi tiap malam, tetapi saat pagi hari keramaian itu lenyap tak berbekas. Bagaimana keadaan Adilla pun lelaki itu tak mengetahuinya karena hampir sebulan bekerja tak sekalipun bertemu dengan sahabatnya. Hari ini, sang sahabat ada pekerjaan ke vila, demikian info yang didapat tadi pagi.Awan bergerak mengikuti arus angin, cuaca yang semula panas kini berubah mendung. Danang menatap layar ponsel di mana ada foto istri dan anak-anak yang terpasang sebagai walpaper-nya. Ah, rindu ternyata tak tahu tempat. Hadir seenaknya tanpa tahu kondisi saat ini yang tengah bekerja berjuang mencari uang untuk menafkahi keluarga.Senyum-
Happy Reading*****Suasana riuh pasar traditional membuat Sumaiyah bingung. Perempuan sepuh itu celingak-celinguk mencari sayur dan bumbu masakan lainnya. Memasuki bulan Rabiul Awal kalender hijriah, di daerah Banyuwangi memanglah sangat ramai. Bulan itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di mana pada setiap harinya akan ada perayaan untuk hari kelahiran Nabi, puncaknya tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal.Banyak masyarakat berbelanja lebih untuk memeriahkan selamatan hari kelahiran Nabi. Demikian juga dengan Sumaiyah, setelah kemarin mendapat kiriman uang dari putrinya. Pagi ini, dia pergi ke pasar untuk berbelanja segala macam kebutuhan dapur termasuk bunga Maulud (penyebutan perayaan hari lahir Nabi Muhammad). Bunga yang terbuat dari kertas dan karton dengan tangkai dari
Happy Reading*****Dentuman musik keras semakin membuat Adilla lincah meliuk-liukkan tubuh. Remasan dan sentuhan pada bagian-bagian tubuh dari para lelaki penyewa jasanya tak lagi dipedulikan. Perempuan itu berusaha sebaik mungkin melakonkan pekerjaan. Semakin baik dia memberikan servis pada pelanggan, semakin banyak pundi-pundi rupiah dikumpulkan.Terhitung lima orang yang sudah memakai jasanya hari ini. Dari lelaki biasa saja yang ingin menikmati sensasi jajan di luar selain dengan istri hingga lelaki maniak haus kenikmatan. Letih, tentu saja perempuan itu merasakannya.Namun, mau bagaimana lagi. Dia terlanjur terjun ke dunia semacam ini. Saat selera bercintanya mengendur karena sang pelanggan tak sesuai harapan. Sigap dia membayangkan
Happy Reading*****Sepeninggal orang tua Bila, Rian menelepon Anwar. Mengabarkan jika ibunya pingsan. Pemuda yang masih menempuh mata kuliah di kelasnya itu, panik. Dia memutuskan minta ijin pada dosen untuk mengakhiri kelas.Mengendari motor dengan kecepatan di atas rata-rata, Anwar tak memedulikan keselamatannya. Kesehatan Sumaiyah jauh lebih penting dari nyawanya saat ini. Jarak tempuh sepuluh menit saja, dia sudah sampai di rumah. Tanpa mencopot helm yang dikenakan, dia berteriak memanggil Rian."Mas, gimana itu? Sampai sekarang Ibu belum sadar," kata Rian."Kenapa bisa gitu, Dik? Udah manggil dokter?" tanya Anwar beruntun.
Happy Reading*****Hari ini Adilla mengosongkan semua jadwal kerjanya. Ada kesakitan yang dirasakan mendengar desas-desus tentang pekerjaan yang dilakonkan saat ini. Dia menyesap wine merah di balkon kamar. Ditemani semilir angin dan cuaca panas, perempuan itu merenungi nasibnya."Aku nggak mau hidup begini, tapi takdir membawa dan memaksaku melakukannya. Bukan aku yang salah!" teriak Adilla sekencang mungkin. Dia meracau sendiri di temani rokok dan botol-botol minuman keras.Seseorang di luar kamar, mendengar teriakan Adilla. Sayup-sayup sebenarnya, tak jelas juga apa yang diteriakkan. Namun, rasa penasarannya kian tinggi karena orang yang ada di dalam kamar itu adalah Adilla. Bintang dan penyumbang terbesar pendapatan Eric sel
Happy Reading*****Perut keroncongan membuat Adilla turun dan melangkah ke arah dapur. Mencari-cari bahan yang bisa dia masak. Malas memasak, perempuan itu mengambil mi instan. Tangannya mulai menghidupkan kompor merebus air kemudian memasukkan mi."Lagi masak apa, Beib?" tanya Eric yang langsung meletakkan kepala di ceruk leher Adillla."Daddy kapan datang? Mau aku buatkan mi juga?" Dari aroma parfumnya saja, Adilla sudah mengetahui siapa yaang memeluknya kini."Asyik tuh menikmati mimu ini." Tangan lelaki itu meraba bagian vital Adilla. Si pemilik mendesah keenakan."Jangan sekarang, Dad. Aku laper, dari kemarin belum keiisi