Happy Reading
*****
Suara ayam jantan yang berkokok saling bersahutan membuat tidur Adilla terganggu. Ciuman bertubi-tubi pada pipi membuatnya membuka mata. Gadis mungil itu tersenyum manis.
"Mbak, pulang ndak ngasih tahu. Aku marah," rajuknya.
"Hmm." Adilla mengeluarkan lenguhan. "Mbak, lupa Sayang. Kamu juga dah tidur semalam." Dia meregangkan otot tangannya.
"Mbak capek, ya? Adik tinggal aja wis kalau gitu." Gadis kecil itu berbalik arah hendak pergi, tetapi tangan kiri Adilla sudah lebih dulu menariknya dalam pelukan.
"Kok ngambek? Mbak baru dateng jam dua pagi, jadi sekarang masih ngantuk. Tuh oleh-olehnya!" Adilla menunjuk sebuah tas plastik besar berwarna biru. Mata sang Adik menatap takjub.
"Mbak, itu ...."
"Iya semua buat kamu, Sayang. Ambil, gih!" perintah Adilla.
Gadis kecil itu segera berlari memeluk boneka yang dibelikan mbaknya. Sudah lama dia memimpikan memiliki boneka itu. Tiap kali sahabatnya main dengan boneka mereka, si kecil selalu menatap iri dan berpikir kapan dirinya akan memiliki mainan seperti itu.
Farissa Nitami, gadis kecil berumur sembilan tahun dan masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Dia adalah putri bungsu Sumaiyah, adik bungsu Adilla. Lahir saat Ayah mereka telah meninggal dan si sulung masih berstatus istri seseorang.
Adilla menatap langit-langit kamar agar air matanya tak jatuh. Setiap kali mengingat tahun-tahun kelam dalam hidupnya, entah mengapa hati itu masih teriris-iris, pilu. Sebagai anak pertama, dia merasa gagal menolong keluarga dari keterpurukan ekonomi.
"Mbak'e ngopo sedih? Makasih nggeh udah beliin Adik boneka ini." Nita memeluk erat boneka itu.
"Nggeh sami-sami, Sayang. Mbak mau iyam dulu. Nanti kita main, nggeh." Sekali lagi, Adilla mencium si bungsu. Apa pun akan dilakukan demi melihat keluarganya tersenyum.
Nitami keluar dari kamar Adilla, berteriak-teriak kegirangan memanggil Suamiyah dan juga kedua saudara yang lain. Semudah itu memberikan kebahagiaan pada seorang anak kecil. Dua saudaranya juga ingin mendapat hadiah seperti Nitami. Sayang, gadis kecil itu mencegah.
"Mbak'e sek mandi lho, Mas. Mengko wae (nanti aja), Adik wis lihat tadi banyak hadiah yang dibawa. Sabar sek, yo." Lidahnya menjulur keluar, mengejek kedua masnya.
"Adik curang! Ndisik'i kerso (mendahului kehendak)." Saudara tertua dari mereka bertiga menepuk pundak adiknya.
"Wis tho lah ndak usah rebutan (Sudah tidak perlu berebut) Mbakmu mesti ngasih hadiah buat kalian semua, sabar dulu," ungkap Sumaiyah.
"Nggeh, Bu," jawab mereka serempak.
Tiap kali pulang ke rumah, Adilla selalu merasa hatinya tersayat-sayat. Dinding kamarnya memang sudah tampak sangat mewah dibandingkan dulu. Tempat tidur pun sudah memakai kasur pegas, semua telah berubah dan itu membuatnya meneteskan air mata.Perjuangan masihlah panjang, ada ketiga adik-adik yang harus dia tuntaskan pendidikannya. Adilla melihat luka di bagian paha, goresan itu sangat kecil jika dibandingkan sayatan yang telah ditorehkan sang mantan suami. Perempuan itu meringis getir.
Ketukan pintu membuat Adilla menyeka air mata dengan cepat. Dia menampilkan senyum paling membahagiakan demi seseorang yang berdiri di depannya kini. "Kenapa, Dik?" tanya Adilla pada Adik laki-lakinya.
"Mbak kapan datang? Kenapa ndak telepon aku?" Wajahnya menampakkan kekecewaan yang besar. Sebagai lelaki tertua di keluarga, dia merasa wajib melindungi semua keluarga termasuk Adilla.
Muhammad Anwar sebuah nama yang diberikan almarhum bapaknya untuk anak kedua. Adik Adilla yang masih kuliah semester tiga di salah satu perguruan tinggi di kota kelahirannya. Semangatnya untuk belajar dan merubah nasib keluarga, itulah salah satu alasan yang membuat Adilla mengambil resiko melakonkan pekerjaannya saat ini.
"Sini, Dik!" Adilla menepuk bagian kosong kursi yang dia duduki. "Mbak, nggak mau ngerepoti. Palingan kamu juga dah tidur jam segitu. Gimana kuliahmu?" Walau tak mengerti apa yang adiknya pelajari di kampus, tetapi Adilla selalu suka saat Anwar bercerita tentang dunia pendidikan.
"Kebiasaan," ucap Anwar, lalu mengambil tangan kanan Adilla dan menciumnya. "Mbak ndak sayang nyawa. Malam-malam pergi sendirian."
"Wah, udah gede adiknya Mbak sekarang. Dah pinter ngomong lagi." Adilla menangkupkan kedua tangannya pada pipi Anwar, gemas.
"Mbak, ih. Opo seh?" Seketika pipi Anwar merah, selalu saja Adilla bisa merubah kecemasan hatinya.
"Mau oleh-oleh, nggak?" Adilla berdiri dan mengambil salah satu tas plastik berwarna biru. "Adik itu udah dewasa. Bajunya jangan lusuh gitu, dong. Mengko nggak ono cewek yang ngelirik, lho," godanya.
"Aku ndak nyari cewek, Mbak. Penting kui bisa lulus kuliah terus gantiin Mbak'e nyari uang buat keluarga." Anwar menerima pemberian Adilla. Ketika dibuka, ada sepatu, celana jeans dan juga kemeja. "Kok okeh men iki (kok banyak banget ini)? Mbak lagi dapat bonus dari bosnya, yo?"
Adilla meringis, semua yang dia belikan untuk keluarganya bukanlah bonus dari si bos. Namun, hadiah dari setiap kesakitan yang ditorehkan oleh para pelanggan. Luka itu harus diterima demi sebuah kebahagiaan dan kemewahan yang Adilla inginkan.
"Iyo. Mbak 'kan wis kerja suwe sama beliau, jadi pas pamitan cuti dikasih bonus." Terpaksa Adilla berbohong. Selama ini anggota keluarganya tidak ada satu pun yang tahu apa pekerjaannya.
Pintu yang tidak tertutup membuat Adilla dapat melihat kedua adiknya yang lain berlarian menghampiri. "Eh, kok lari-lari gitu. Kalau jatuh gimana?" Adilla memperingati.
"Mas Rian kie lho, Mbak, nakal," Adu Nitami.
"Kok aku, Dik? Kamu yang ngajak cepet-cepetan ke kamar Mbak Rum." Cowok yang dipanggil Rian itu cemberut, tidak mau disalahkan oleh si bungsu.
"Sudah ... sudah. Kalian dah mandi belum?" tanya Adilla pada semua adik-adiknya.
Serempak mereka menjawab, "Sudah."
"Cie ... cie. Kompak bener jawabannya. Kalau Mbak ajak kalian belanja ke tempat itu mau nggak?" Sengaja Adilla tak menyebutkan nama mal yang biasa mereka kunjungi jika mbaknya itu pulang.
Nitami berteriak paling keras mengatakan mau. Dia yang paling suka ke tempat itu untuk menjajal semua permainan yang ada di sana. Namun, raut muka Rian berubah murung dan Adilla menyadari hal itu.
"Kamu kenapa, Dik? Kelihatannya gak suka gitu?" tanya Adilla.
"Kalau kita ke sana bareng-bareng, motornya Mas Anwar mana muat, Mbak. Dulu, kita masih kecil-kecik enak." Anwar menyenggol lengan adiknya. Dia tidak mau membebani Adilla lagi untuk urusan kendaraan.
Selama ini jika Nitami dan Rian sekolah, mereka membawa motor Anwar. Sebagai lelaki tertua di keluarganya, Anwar rela mengalah. Dia lebih banyak menggunakan sepeda gayung miliknya yang sudah usang untuk menuntut ilmu.
"Mas bawa sepeda itu aja, Dik. Kamu, Mbak sama Adik naik motor," terang Anwar.
Adilla mengamati wajah adiknya satu per satu. "Kenapa nggak mau minta motor lagi sama Mbak? Kalau kalian memang butuh." Seakan tahu apa yang tersirat dari kata-kata Rian. Adilla bertanya.
"Ndak popo, Mbak. Aku masih bisa pake sepeda gayung yang lama." Anwar berusaha menutupi.
Adilla mencari-cari ponselnya, ketika sudah ditemukan. Dia segera menelepon. Saat panggilan terhubung, Adilla meninggalkan ketiga adiknya.
Beberapa menit kemudian, dia sudah kembali. "Beres. Pergi ke sana besok aja, ya, kalau motor barunya dah sampai," terang Adilla selanjutnya.
Sontak kedua adiknya itu berhamburan memeluk. Namun, tidak dengan Anwar. Dia malah berpikir apa sebenarnya pekerjaan Adilla sehingga begitu mudah membeli barang-barang yang harganya mahal termasuk motor baru.
Happy Reading*****Menjelang sore keluarga Adilla berkumpul semua di teras rumah. Kebiasaan jika pulang, perempuan itu lebih banyak menghabiskan waktu bercengkerama dengan mereka. Dulu, dia hampir kehilangan kebersamaan karena ulah sang mantan suami.Ketika kebebasan terpasung oleh kewajiban sebagai seorang istri. Adilla tak lagi bisa seenaknya menjenguk kedua orang tua dan juga adik-adiknya. Dulu, sang Bapak berharap setelah menyerahkan Adilla pada lelaki yang dipercaya, putrinya itu akan hidup jauh lebih baik lagi. Namun, semua angan mereka hanyalah impian semu yang tak pernah terwujud.Perempuan yang memiliki segudang tanggung jawab itu membuang muka saat m
Happy Reading*****"Kenapa teriak? Aku kangen, lho, cantik." Tangan kanannya berusaha menyentuh pipi Adilla, tetapi bisa ditepis oleh Anwar."Ndak usah sentuh-sentuh mbakku!" Emosi Anwar mulai naik. Dia ingat betul siapa lelaki di depannya ini. Seseorang yang telah menyakiti Adilla cukup dalam."Tenang, Dik! Ini tempat umum." Adilla berbisik dan mengusap lengan Anwar, lagian ada dua adiknya yang masih kecil. Tidak mungkin perempuan itu mempertontonkan pertengkaran dengan sang lelaki."Makin cantik aja kamu. Kulit dan wajahmu juga makin terawat." Lelaki itu meraba lengan Adilla.
Happy Reading*****Rustam memundurkan langkah, nyalinya menciut saat melihat benda tajam yang diacungkan sang mantan. Benda putih berkilau itu sudah mencapai leher, sedikit saja bergerak nyawa taruhannya. Sekian lama tak bertemu dengan Adilla, begitu banyak perubahan yang terjadi."Awas, aja kamu dekat-dekat keluargaku lagi. Aku nggak akan segan melukaimu. Ingat itu!" Mata yang memerah dengan penekanan di setiap kata yang diucap membuat Rustam ngeri. Dia bukan lagi perempuan lugu seperti yang lelaki itu kenal.Rustam tersenyum licik, lalu berbisik pada Adilla, "Jika Ibu dan mereka tahu kerjaanmu, gimana?"
Happy Reading*****Sesampainya di rumah, Adilla mulai terpengaruh dengan curhatan sang sahabat. Terbayang bagaimana susahnya hidup dengan penghasilan pas-pasan sementara kebutuhan hidup terus melambung tinggi. Perempuan itu sudah pernah berada pada fase yang dialami Danang.Reflek tangannya meraih ponsel dan menghubungi Eric. Beberapa kali memanggil, tetapi belum diangkat oleh si daddy. Adilla melirik jam di meja rias, masih pukul sembilan malam.Nggak mungkin Daddy tidur jam segini. Apa dia lagi seneng-seneng sama anak-anak, ya. Adilla menghempaskan diri ke ranjang. Pikirannya terpecah antara membantu Danang atau membiarkan sang sahabat seperti itu seteru
Happy Reading*****Terik mentari terasa menyengat saat Adilla dan Anwar kembali ke rumah. Selesai dengan pembayaran dan segala macam administrasi, mereka meninggalkan dealer. Niat hati ingin membawakan buah tangan untuk keluarga di rumah, urung. Pasalnya, Eric sudah mengirimkan chat bahwa dia sudah ada di depan rumah mereka."Itu bosnya Mbak Rum, ya?" tanya Anwar, "ganteng banget, Mbak. Kelihatan kalau orang kaya."Adilla turun dari motor si Adik. "Ntar kamu juga bisa gitu, Dik. Sekolah yang rajin, ya. Buat Mbak dan keluarga bangga." Perempuan itu menepuk lengan adiknya."Aamiin. Insya Allah, Adik bakal banggain Mbak dan semuanya." Anwar me
Happy Reading*****Kian hari, pertanyaan Danang kian menggunung. Vila yang dia jaga tak pernah sepi tiap malam, tetapi saat pagi hari keramaian itu lenyap tak berbekas. Bagaimana keadaan Adilla pun lelaki itu tak mengetahuinya karena hampir sebulan bekerja tak sekalipun bertemu dengan sahabatnya. Hari ini, sang sahabat ada pekerjaan ke vila, demikian info yang didapat tadi pagi.Awan bergerak mengikuti arus angin, cuaca yang semula panas kini berubah mendung. Danang menatap layar ponsel di mana ada foto istri dan anak-anak yang terpasang sebagai walpaper-nya. Ah, rindu ternyata tak tahu tempat. Hadir seenaknya tanpa tahu kondisi saat ini yang tengah bekerja berjuang mencari uang untuk menafkahi keluarga.Senyum-
Happy Reading*****Suasana riuh pasar traditional membuat Sumaiyah bingung. Perempuan sepuh itu celingak-celinguk mencari sayur dan bumbu masakan lainnya. Memasuki bulan Rabiul Awal kalender hijriah, di daerah Banyuwangi memanglah sangat ramai. Bulan itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di mana pada setiap harinya akan ada perayaan untuk hari kelahiran Nabi, puncaknya tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal.Banyak masyarakat berbelanja lebih untuk memeriahkan selamatan hari kelahiran Nabi. Demikian juga dengan Sumaiyah, setelah kemarin mendapat kiriman uang dari putrinya. Pagi ini, dia pergi ke pasar untuk berbelanja segala macam kebutuhan dapur termasuk bunga Maulud (penyebutan perayaan hari lahir Nabi Muhammad). Bunga yang terbuat dari kertas dan karton dengan tangkai dari
Happy Reading*****Dentuman musik keras semakin membuat Adilla lincah meliuk-liukkan tubuh. Remasan dan sentuhan pada bagian-bagian tubuh dari para lelaki penyewa jasanya tak lagi dipedulikan. Perempuan itu berusaha sebaik mungkin melakonkan pekerjaan. Semakin baik dia memberikan servis pada pelanggan, semakin banyak pundi-pundi rupiah dikumpulkan.Terhitung lima orang yang sudah memakai jasanya hari ini. Dari lelaki biasa saja yang ingin menikmati sensasi jajan di luar selain dengan istri hingga lelaki maniak haus kenikmatan. Letih, tentu saja perempuan itu merasakannya.Namun, mau bagaimana lagi. Dia terlanjur terjun ke dunia semacam ini. Saat selera bercintanya mengendur karena sang pelanggan tak sesuai harapan. Sigap dia membayangkan