Helo, I'm back here. Setelah sekian lama, akhirnya aku update lagiii
Aslan berada di barisan paling belakang. Ia melirik ke arah Peter yang membawa teropong untuk mengamati keadaan sekitar. Sedangkan Felco tetap tenang melakukan perjalanan. Lalu Johnny dan Shelly sibuk dengan peta, dan Angela malah berceloteh tak karuan seorang diri. "Kurang ajar si Albert. Berani-beraninya dia menyiksa aku dengan perjalanan memuakkan ini." Angela kesal dengan bebatuan licin yang bisa menjebak orang. "Aku juga tak terlalu paham, mengapa dia melakukan ini dengan kita? Tak cukupkah kita hanya langsung berperang dan pulang dengan kemenangan?" Felco menyahuti, punggung pria itu sedikit membungkuk karena sebuah ransel berisi barang berharga yang dibawanya. "Ini tidak semudah yang kita kira. Aku.... " "AWAS!" Peter berteriak karena mendapati sebuah sihir berwarna merah menyala hampir mengenai kepala Angela jika Johnny tak segera menariknya. Angela membulatkan mata, itu adalah sihir yang bisa merubah wujud bangsawan. "Sihir apa itu?" tanya Peter setelah sihir itu meng
Suara rintihan kesakitan terdengar jelas di sebuah ruangan berdiameter panjang terisi penuh oleh sosok-sosok kaum bangsawan yang tengah menyaksikan sebuah pertunjukkan malam itu. Seorang pria yang dituduh sebagai penghianat kerajaan sedang merintih kesakitan sebab Ksatria melayangkan beberapa tusukan pedang pada tubuh pria itu.Seorang Duke—kaum bangsawan bergelar tinggi dalam kerjaan itu sedang duduk di sebuah tempat duduk khusus yang telah dipersiapkan untuknya dan juga untuk Duchess—istri seorang Duke.“Berani-beraninya mengkhianati Duke!” teriak seorang Baron—atau yang sering disebut ‘Orang bebas’ dalam kerjaan itu, berdiri menyaksikan pemandangan menyegarkan di depannya.“Usir saja dia dari Kerajaan! Kalau bisa, suruh dia tinggal dengan manusia kalangan bawah. Jangan sampai dia merusak reputasi Kerajaan Wealton!” imbuh seorang Baroness—pasangan dari beberapa Baron.Al
Seorang pria dengan memakai sebuah baju putih dengan kerah yang terpasang sebuah pita warna senada itu berjalan seorang diri menyusuri wilayah kerajaan. Lebih tepatnya, saat ini pria itu tengah menatap para Ksatria sedang berlatih kekuatan pedang mereka.Edgar, seorang Duke itu mengamati beberapa Ksatria dari pinggir ruangan dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada. Di tengah-tengah Ksatria itu, terdapat Aslan yang juga ikut berlatih dengan pedang kerajaan. Aslan memang tidak mempunyai pedang seperti halnya Ksatria lainnya. Ya, Aslan, entah apa posisi yang tepat untuk dirinya di kerjaan Wealton.“Bukankah putra Armor sangat hebat memainkan pedang itu, Edgar?” celetuk seorang pria yang tengah mensejajarkan diri di samping Edgar. Pria itu menatap Aslan yang sedang berlatih di tengah sana bersama dengan Ksatria lainnya.Edgar menolehkan kepalanya, menatap seseorang yang berdiri tepat di samping kanannya. Ia kemudian mendengus kecil, l
“Apa yang kau lakukan di sini, Aslan?” Ternyata Damian yang membuka pintu ruangan itu. Pria itu menunjukkan raut wajah bingung ketika tiga pria yang tak dikenalnya hilang dalam sekejap mata saat ia membuka pintu dan bersuara. Aslan berdehem, ia kemudian turun dari sana dan berjalan di karpet merah seperti yang dilakukannya tadi. Ia berjalan mendekati Damian. “Siapa pria tadi Aslan? Apa dia penyusup? Lalu... “ Damian memicingkan matanya, menatap selidik ke arah Aslan. “Aku tidak tahu siapa mereka. Namun, mereka tadi ingin mengambil pedang Artois milik Duke terdahulu,” ujar Aslan sebelum Damian melanjutkan ucapannya. Damian membuka mulutnya karena terkejut. Bola matanya pun sedikit melebar setelah mendengar penuturan Aslan. “L-lalu... Apa kamu yang sudah menghalangi mereka? Apa kamu yang sudah menyelamatkan pedang Artois ini?” Aslan hanya diam tak menjawab. Diamnya Aslan itu dapat Damian mengerti. Damian tahu, Aslan memang bukan pria yang dapat diremehkan. Meskipun banyak sekali kal
"Kemana saja kau, Mariana? Aku hampir tidak menemukanmu malam ini. Apa saja yang sudah kau lakukan?" Mariana hanya menatap malas ke arah Albert yang sedang menunjukkan sedikit kilatan amarah padanya. "Ck, aku hanya berjalan-jalan mencari udara segar, Albert. Bukankah cara bicaramu padaku terlalu berlebihan?" Mariana berdecak malas menanggapi suaminya. Albert menghela napasnya lalu memposisikan dirinya duduk di samping istrinya itu, "Maaf, aku hanya mengkhawatirkan mu." Mariana pun mengangguk pelan setelah mendapat permintaan maaf dari Albert. "Bagaimana acara tadi? Apakah berjalan lancar sesuai rencana?" tanya Mariana. "Ya, tentu. Sesuai rencana sebab Aslan juga tidak ikut merayakannya," ucap Albert disertai senyum kebanggaannya. "Aish, mau sampai berapa lama kamu akan membenci Aslan, Albert? Apakah selama ini dia pernah berbuat kesalahan pada kita? Tidak, bukan?" Ucapan Mariana sontak membuat Albert menatapnya dengan tajam, "Bisa-bisanya kamu membela anak pengkhianat s
Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. "Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. "Ya, Edgar? Kenapa?" Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. "Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja." Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Win
Aslan membulatkan mata—terkejut mendengar penuturan Damian. Wajahnya yang semula tak berekspresi sama sekali, kini tengah mengeluarkan keringat dingin hingga tercetak jelas di tepian keningnya. "T-tidak. Bukan aku yang melakukannya," elak Aslan. Damian menggelengkan kepalanya berulang kali sembari melipat tangannya di depan dada. Bangsawan pria itu perlahan mendekati Aslan, lalu membisikkan sesuatu tepat di samping telinga kanan Aslan, "Aku telah menaruh curiga padamu, Aslan." "Curiga?" ulang Aslan tak paham akan maksud perkataan Damian. Damian hanya menghendikkan bahu acuh, lalu dirinya pergi begitu saja meninggalkan Aslan yang masih bergulat dalam pemikirannya. Hingga pada akhirnya, Aslan memutuskan untuk ikut melenggang pergi. Ia ingin keluar kerajaan dan akan menelusuri hutan seperti halnya para Ksatria yang terkadang berlatih di tengah-tengah tempat penuh pepohonan itu. Pria itu pun melesat cepat, dan hanya membutuhkan beberapa menit saja ia telah sampai di tengah hutan
Sepulang dari kegiatan berburunya, Aslan tidak menyadari bahwa sedari tadi Edgar menunggu dirinya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Pedang yang telah keluar dari tempatnya semula itu mulai menodong ke depan, dan hal itu sontak membuat Aslan menghentikan laju lariannya. "Sini kau, Aslan! Aku tidak menyangka kalau dirimu malah keluar dan menggoda Mariana di hutan!" Bukan Edgar yang berteriak, melainkan Albert tengah mengambil paksa pedang yang tadi dibawa oleh Edgar. Aslan yang tak paham akan maksudnya pun menaikkan satu alis terheran. "Maksud Duke?" "Jangan pura-pura tidak tau, dasar pria rendahan! Mau berlagak dengan wajah sok tampanmu itu? Cih," kata Albert diimbuhi sebuah decihan kecil pada kalimat terakhir yang diucapkannya. "Maaf, tapi aku tak pernah menggoda Duchess. Sekali pun tak pernah," elak Aslan apa adanya. "Tidak usah banyak alasan, Aslan. Aku menantangmu bertarung hari ini!" Kegiatan mereka di aula itu disaksikan oleh banyak saksi mata. Ada banyak yang terkej
Aslan berada di barisan paling belakang. Ia melirik ke arah Peter yang membawa teropong untuk mengamati keadaan sekitar. Sedangkan Felco tetap tenang melakukan perjalanan. Lalu Johnny dan Shelly sibuk dengan peta, dan Angela malah berceloteh tak karuan seorang diri. "Kurang ajar si Albert. Berani-beraninya dia menyiksa aku dengan perjalanan memuakkan ini." Angela kesal dengan bebatuan licin yang bisa menjebak orang. "Aku juga tak terlalu paham, mengapa dia melakukan ini dengan kita? Tak cukupkah kita hanya langsung berperang dan pulang dengan kemenangan?" Felco menyahuti, punggung pria itu sedikit membungkuk karena sebuah ransel berisi barang berharga yang dibawanya. "Ini tidak semudah yang kita kira. Aku.... " "AWAS!" Peter berteriak karena mendapati sebuah sihir berwarna merah menyala hampir mengenai kepala Angela jika Johnny tak segera menariknya. Angela membulatkan mata, itu adalah sihir yang bisa merubah wujud bangsawan. "Sihir apa itu?" tanya Peter setelah sihir itu meng
Semua bangsawan yang telah terpilih untuk melakukan perlawanan diam-diam ke kerajaan Jovanka pun berkumpul tepat di halaman depan kerajaan. Para bangsawan memakai pakaian berbeda-beda khas sesuai dengan kedudukannya. Aslan memakai baju serba hitam dilapisi beberapa tameng yang terbuat dari baja. Sebuah pedang perang tak luput dari genggaman tangannya. Diliriknya Shelly yang berdiri memimpin di depan dengan gagah ala dirinya. Tak terlihat sama sekali bahwa Shelly gadis yang menyebalkan. Mulai dari kelompok pertama hingga keempat telah mendapatkan kendaraan masing-masing untuk sampai ke sana. Ada yang mendapatkan beberapa kuda, ada juga yang mendapatkan kuda beserta kusirnya, bahkan ada yang mendapatkan karpet terbang. Cukup membuat Aslan terheran, sebab Aslan tak tahu apa yang direncanakan oleh Albert. Shelly memperhatikan Albert yang tengah mengarahkan sihir ke awan. Betapa terkejutnya Albert memberikan kelompok Aristokrat sebuah pintu rotan. Aslan pun sukses mengerutkan kening, "Pi
Shelly menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan. Akan ada kendaraan yang membawa kalian ke sana. Dan setiap kendaraan ditentukan dari nama kelompok yang kalian tetapkan. Aku juga tidak tahu mengapa Duke Albert membuat peraturan seperti itu. Bisa jadi itu meringankan kalian buat sampai ke sana, atau malah itu bisa jadi tantangan buat kalian sampai ke sana.”“Kenapa Duke Albert melakukan itu pada kita?” Angela terkejut mendengar penuturan Shelly. “Aku tidak terima kalau gara-gara kendaraan kita jadi kesusahan buat sampai ke sana.”“Sudahlah. Sebaiknya tetapkan dulu nama kelompok kita. Mungkin, nama kelompok memang bisa mempermudah kita saat melakukan misi nanti. Kita bisa bertelepati jika jarak kita sama-sama berjauhan,” ujar Johnny yang bisa diterima oleh akal sehat.Shelly melirik ke arah Aslan yang ternyata menampilkan mimik wajah serius. Mimik wajah itu baru pertama kali Shelly lihat. Shelly berpikir, apakah Aslan s
Aslan tak begitu yakin dengan rencana yang Johnny buat. Tiga hari lagi menuju hari dimana pertempuran akan dimulai. Meskipun begitu, Aslan tetap harus menghargai apa yang direncanakan oleh Baron itu.Di saat bersamaan, muncullah beberapa Duke bersama dengan Albert dan Edgar. Semua yang berada di ruang khusus pun menoleh ke arah bangsawan berkedudukan tinggi itu. Aslan juga melihat adanya Shelly di sana."Perhatian! Lima Duke ini yang akan menjadi pengampu kalian di tiap kelompok. Saya serahkan pada setiap Duke untuk memilih kelompok yang diinginkan." Edgar memberi pengarahan pada lima orang Duke yang berdiri berdampingan.Shelly menyeringai, lantas secepat kilat ia milih kelompok lima untuk menjadi bawahannya. Gadis itu memposisikan dirinya duduk di samping Aslan yang sedari tadi hanya terdiam. Sebuah bisikan pun keluar dari mulut gadis itu, "Kau harus patuh padaku, Aslan!"Aslan me
Angela sedari tadi menatap ke arah Johnny, seorang Baron yang sungguh tampan, melebihi ketampanan Albert. Sementara Felco hanya berekspresi datar, sama halnya dengan Peter yang sedari tadi mengatupkan bibir rapat. Sampai pada akhirnya Johnny pun memulai percakapan di kelompok lima itu."Aku yang akan memimpin." Tanpa rasa ragu, Johnny mengatakan kalimat tersebut dengan lantang.Peter menoleh, "Bukankah Baron Felco lebih pantas?"Angela pun menyahuti. Sembari menggelengkan kepala tak setuju, ia menolak tegas ucapan Peter, "No! Baron Felco itu sudah berumur, tak mungkin kekuatannya masih sama seperti kita.""Bukankah dia lebih berpengalaman dari pada kita?" Peter lagi-lagi membantah.Terlihat Johnny yang menghela napasnya, "Tak semua orang tua itu berpengalaman. Lihatlah Duke Edgar, dia masih muda tapi sudah menjadi tangan kanan Lord."Kini Peter tertawa remeh mendengar penuturan Johnny. "Cih, siapa yang kau panggil dengan se
"Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b
"Yang namanya disebut, silahkan maju ke depan!" Albert mulai mengarahkan sihir ke arah bola merah tersebut, dan keluarkan secarik kertas yang kemungkinan besar berisi nama-nama bangsawan yang terpilih. Sang Duke itu berdeham singkat, "Bola ini sudah menyeleksi tiap bangsawan yang terpilih. Jadi, mungkin tak kan ada yang namanya pertandingan lagi. Kalian yang namanya tercantum di sini, akan langsung masuk kategori untuk melawan kerajaan Jovanka nanti, dan seperti janji kemarin akan aku nobatkan kalian naik tahta." Lagi-lagi Albert mengatakan kalimat yang cukup untuk membuat sebagian bangsawan syok. Ini bukanlah jalan alur cerita yang di ekspektasikan oleh bangsawan, seperti Ksatria, yang ingin naik tahta. Ini seperti sulap yang kebetulan beradu dengan nasib. Dan Aslan tak tahu, apakah nasibnya akan baik atau buruk hari ini. "Di sini hanya tercantum nama dua puluh bangsawan yang sudah terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama..... " Tak bisa dipungkiri, Aslan sungguh tak te
Semenjak adanya pengumuman yang disampaikan langsung oleh Albert itu, para Ksatria mulai berlatih lebih giat lagi agar mereka bisa naik tahta satu tingkat menjadi seorang Count dan mencapai puncak untuk memakai pakaian yang melambangkan seorang bangsawan. Aslan hanya duduk di pojok aula ruang latihan para Ksatria sembari mengusap pedangnya dengan kain lap agar lebih mengkilap. Seorang Ksatria menjumpai Aslan, ia menghentikan aktivitas berlatih nya lantas mendekati Aslan yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. "Kau tak berlatih?" tanyanya tiba-tiba yang telah berdiri di hadapan Aslan. Aslan yang masih duduk pun mendongak, menatap sosok pria dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. "Aku?" ulang Aslan lagi sebab tak percaya ada yang bertanya demikian padanya. Ksatria itu mengangguk, ia kemudian ikut duduk dan menyelonjorkan kakinya di samping Aslan. Sementara Aslan malah mengerutkan kening, pria tak dikenalnya itu tiba-tiba membuat Aslan terheran akan sikapnya. "Kalau kam
Sepulang dari kegiatan berburunya, Aslan tidak menyadari bahwa sedari tadi Edgar menunggu dirinya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Pedang yang telah keluar dari tempatnya semula itu mulai menodong ke depan, dan hal itu sontak membuat Aslan menghentikan laju lariannya. "Sini kau, Aslan! Aku tidak menyangka kalau dirimu malah keluar dan menggoda Mariana di hutan!" Bukan Edgar yang berteriak, melainkan Albert tengah mengambil paksa pedang yang tadi dibawa oleh Edgar. Aslan yang tak paham akan maksudnya pun menaikkan satu alis terheran. "Maksud Duke?" "Jangan pura-pura tidak tau, dasar pria rendahan! Mau berlagak dengan wajah sok tampanmu itu? Cih," kata Albert diimbuhi sebuah decihan kecil pada kalimat terakhir yang diucapkannya. "Maaf, tapi aku tak pernah menggoda Duchess. Sekali pun tak pernah," elak Aslan apa adanya. "Tidak usah banyak alasan, Aslan. Aku menantangmu bertarung hari ini!" Kegiatan mereka di aula itu disaksikan oleh banyak saksi mata. Ada banyak yang terkej