Seorang pria dengan memakai sebuah baju putih dengan kerah yang terpasang sebuah pita warna senada itu berjalan seorang diri menyusuri wilayah kerajaan. Lebih tepatnya, saat ini pria itu tengah menatap para Ksatria sedang berlatih kekuatan pedang mereka.
Edgar, seorang Duke itu mengamati beberapa Ksatria dari pinggir ruangan dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada. Di tengah-tengah Ksatria itu, terdapat Aslan yang juga ikut berlatih dengan pedang kerajaan. Aslan memang tidak mempunyai pedang seperti halnya Ksatria lainnya. Ya, Aslan, entah apa posisi yang tepat untuk dirinya di kerjaan Wealton.
“Bukankah putra Armor sangat hebat memainkan pedang itu, Edgar?” celetuk seorang pria yang tengah mensejajarkan diri di samping Edgar. Pria itu menatap Aslan yang sedang berlatih di tengah sana bersama dengan Ksatria lainnya.
Edgar menolehkan kepalanya, menatap seseorang yang berdiri tepat di samping kanannya. Ia kemudian mendengus kecil, lalu kembali mengalihkan pandangannya menatap para Ksatria itu. “Apa gunanya dia hebat? Kalau status sebagai anak pengkhianat masih berlaku baginya,” ujar Edgar tanpa menatap pria di sampingnya.
“Kamu benar. Ah, baru-baru ini, aku mendengar kabar kalau kamu menugaskan beberapa Baron untuk membunuh musuh yang sedang sembunyi di dunia manusia. Apakah itu benar?” tanya Damian.
Pria yang berdiri di samping Edgar adalah seorang Marquess yang bernama Damian. Tetapi, kedudukan Damian hampir setara dengan Edgar, meskipun jarak umur Damian lebih tua dibanding Edgar yang seumuran dengan Aslan. Damian belum sekuat Edgar.
Edgar menjawab pertanyaan Damian, “Kau benar, Duke. Ada beberapa musuh yang mengawasi kerajaan ini dari dunia manusia. Bahkan aku khawatir ada penyusup di Kerajaan ini.”
“Kamu tidak berniat untuk mengirim Aslan, bukan?”
Pertanyaan itu sontak membuat Edgar menatap Damian, “Kenapa aku harus mengirimnya? Memang sehebat apa dia? Ah, yang benar saja,” ujarnya sembari tertawa remeh.
Damian memilih untuk tidak menjawab. Kemudian, pria itu malah menampilkan senyuman misteriusnya dan kembali menyaksikan seorang Aslan yang dengan tenang berlatih di tengah ruangan itu.
Sriingg....
Suara pedang yang saling bersentuhan terdengar jelas di seluruh penjuru ruangan besar itu. Edgar dan Damian masih menyaksikan berlatihnya para Ksatria. Para Ksatria itu diwajibkan untuk tidak menggunakan kekuatan pedang mereka. Mereka hanya menggunakan murni dari kekuatan fisiknya.
“Bravo, Robert! Aku memang tidak pernah menyesal karena sudah memilih kamu jadi pimpinan Ksatria,” ucap Edgar tiba-tiba seraya bertepuk tangan dan mendekat ke arah seseorang yang baru saja dipujinya.
Semua Ksatria di sana menoleh-menatap ke arah Robert yang sedang membenarkan sedikit rambut mencuatnya, tak terkecuali Aslan. Alhasil, pelatihan pedang kali ini berakhir. Sementara Robert tengah merendahkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatannya pada seorang Marquess yang baru saja memujinya.
“Hormat, Duke. Aku tidak akan mengecewakanmu.”
“Bagus, Robert,” ucap Edgar yang lalu pandangannya beralih menatap Aslan. Edgar melihat wajah rupawan Aslan yang pelipisnya dipenuhi dengan keringat. “Kamu? Kenapa kamu ikut berlatih dengan Ksatria? Apa kedudukan kamu di sini?” tanyanya.
Aslan hanya diam di sana. Para Kesatria lain pun menatap dirinya.
“Maaf, Duke. Aku juga tidak tahu mengapa aku berada di Kerajaan ini,” ujar Aslan seadanya, dengan pancaran raut wajah dinginnya.
Edgar mendengus sedikit kesal. Ia bergumam sangat pelan, “Dasar tidak punya malu!”
“Bersiap semua! Kerajaan Jovanka menyerang!”
Baik Edgar, Damian, maupun Aslan dan beberapa Ksatria di ruangan itu pun segera bergegas keluar dari ruangan setelah mendapatkan kabar dari seorang Baroness. Semua orang telah keluar, dan hanya menyisakan Aslan di sana. Entah apa yang dipikirkan pria itu, namun ia bisa mendengar suara teriakan-teriakan, suara darah yang memuncrat keluar, dan suara pedang maupun dahsyatnya perpaduan kekuatan.
“Jika aku keluar sekarang, mungkin Kerajaan tidak akan aman. Mereka bukan ke sini tanpa maksud dan tujuan. Aku harus bergegas menuju ruang Cadris untuk berjaga-jaga,” ucap Aslan.
Pria bertubuh tinggi tegap itu akhirnya berjalan menyusuri kerajaan dan segera menuju ke ruang yang dimaksudkannya. Ia berjalan sangat tergesa.
Seperti dugaannya, tidak ada seorang pun di dalam Kerajaan. Mereka semua pasti menuju halaman dan melakukan pertarungan di sana. Aslan bisa mencium bau darah dari dalam Kerajaan dengan indra penciuman tajamnya.
Ketika telah berada tak jauh dari tempat yang akan ditujunya, Aslan pun melihat tiga orang pria dengan memakai baju kebangsawanan mulai membuka pintu ruang Cadris. Aslan buru-buru sembunyi ketika salah seorang dari mereka menatap kiri dan kanan, mungkin dia memastikan supaya memang tak ada orang yang melihat.
“Hah... Bau ini. Aku sudah lama tidak mencium bau pedang Lord. Aku ingin memilikinya,” ucap salah seorang pria dengan rambut putih yang diikat tinggi.
“Jaga ucapanmu, Adheen. Ada seorang Duke di sini,” ucap pria lainnya.
“Santai saja, Toei. Aku telah mempercayai kalian berdua sepenuhnya. Sekarang, ambilkan aku pedang itu, dan kita akan pergi dari sini setelah aku mendapatkannya.”
“Tapi, Duke. Apa aku tak boleh mengambil benda lain? Seperti, aku ingin menambah kekuatan pengendalian pikiranku dengan ramuan yang ada di atas meja sana.”
Seorang Duke itu tak segan-segan langsung memukul bagian belakang kepala pria yang bernama Adheen.
“Untuk apa kamu minum ramuan tak berguna seperti itu? Apa kamu tidak tahu bahwa setetes ramuan bisa mempengaruhi jiwamu?” sinis Duke itu.
“Sudah ku bilang Adheen, kamu tidak perlu menambah kekuatanmu. Hanya dengan kita berada di pihak Duke, kita sudah punya lebih dari kekuatan yang kita inginkan.” Sahut Toei.
Seorang Duke itu merasa tersanjung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh bawahannya. Ia berkata, “Kamu memang selalu pintar seperti biasanya, Toei. Sekarang, kalian berdua cepat ambil pedang itu!”
Toei dan Adheen memajukan tubuhnya, melangkah di atas karpet merah, dan segera mungkin mereka akan meraih sebuah pedang yang menyala-nyala mengeluarkan cahaya hitam dan merah.
Ketika Toei dan Adheen hendak memegang pedang itu, tiba-tiba tubuh mereka mendadak kaku tak bisa digerakkan. Toei dan Adheen terkejut, hanya bola mata dan mulut mereka yang masih berfungsi saat ini.
“T-Toei, a-apa kau merasakan yang sama sepertiku?” tanya Adheen dengan manik matanya bergerak melirik Toei yang ada di samping kirinya.
“K-kau benar, Dheen. S-siapa yang melakukan ini?” desisnya pelan.
“Hei, kalian! Kenapa kalian ini? Ayolah cepat ambil pedang itu. Kenapa kalian lama sekali?” cicit seorang Duke yang masih berdiri dan menunggu bawahannya itu untuk segera mengambil benda incarannya.
“Toei, a-aku merasa jiwaku dikendalikan. A-aku merasa tubuhku beku, otakku memanas, dan darahku seperti terbakar. A-apa yang terjadi denganku? A-aku tidak mau mati sekarang. Aku belum siap.” Panik Adheen.
“Sudah ratusan pertarungan aku lalui, dan aku belum pernah merasakan tubuh sesakit ini. Bahkan tanpa disentuh oleh siapapun. Apakah Duke kita yang melakukan ini?”
“T-tentu tidak, Toei. Duke tidak akan pernah melakukan ini pada kita. Dia tidak mempunyai kekuatan sebesar ini.”
“Lalu.... Siapa yang punya kekuatan sebesar ini?”
Sriingg...
Brakk...
Arghh!!...
Aslan memasuki ruangan itu dan langsung menggoreskan pedangnya ke arah lengan kiri seorang Duke yang berdiri membelakanginya.
“S-siapa kamu?” Seorang Duke dari Kerajaan lain itu menatap Aslan dengan cemas.
Aslan hanya menatap pria itu sekilas. Kemudian ia beralih pada kedua pria yang masih mematung di depan pedang Artois, pedang yang sengaja dijadikan pajangan di sana sebab itu merupakan pedang turun temurun yang hanya boleh digunakan bila ada suatu hal besar yang terjadi.
“Jangan bergerak! Katakan siapa dirimu! Berani-beraninya kamu melukaiku!” teriak Duke itu seraya mencoba untuk melayangkan sihir pada Aslan yang berjalan membelakangi dirinya, sehingga Duke itu tidak bisa melihat wajahnya.
Tanpa ada perlawanan apapun, sihir itu sama sekali tidak mengenai tubuh Aslan. Aslan masih tetap berjalan mendekati kedua pria itu. Ketika Aslan telah berada di depan mereka berdua, Aslan pun membuka suaranya.
“Jangan alihkan pandangan kalian! Jangan tatap mataku!”
Kedua pria itu hanya menatap baju yang Aslan pakai.
“A-apa maksudmu? M-mengapa aku tidak boleh menatap matamu?” tanya Adheen.
“Jangan pernah tatap mata merah ku, atau kau akan binasa saat itu juga!”
“Apa yang kau lakukan di sini, Aslan?” Ternyata Damian yang membuka pintu ruangan itu. Pria itu menunjukkan raut wajah bingung ketika tiga pria yang tak dikenalnya hilang dalam sekejap mata saat ia membuka pintu dan bersuara. Aslan berdehem, ia kemudian turun dari sana dan berjalan di karpet merah seperti yang dilakukannya tadi. Ia berjalan mendekati Damian. “Siapa pria tadi Aslan? Apa dia penyusup? Lalu... “ Damian memicingkan matanya, menatap selidik ke arah Aslan. “Aku tidak tahu siapa mereka. Namun, mereka tadi ingin mengambil pedang Artois milik Duke terdahulu,” ujar Aslan sebelum Damian melanjutkan ucapannya. Damian membuka mulutnya karena terkejut. Bola matanya pun sedikit melebar setelah mendengar penuturan Aslan. “L-lalu... Apa kamu yang sudah menghalangi mereka? Apa kamu yang sudah menyelamatkan pedang Artois ini?” Aslan hanya diam tak menjawab. Diamnya Aslan itu dapat Damian mengerti. Damian tahu, Aslan memang bukan pria yang dapat diremehkan. Meskipun banyak sekali kal
"Kemana saja kau, Mariana? Aku hampir tidak menemukanmu malam ini. Apa saja yang sudah kau lakukan?" Mariana hanya menatap malas ke arah Albert yang sedang menunjukkan sedikit kilatan amarah padanya. "Ck, aku hanya berjalan-jalan mencari udara segar, Albert. Bukankah cara bicaramu padaku terlalu berlebihan?" Mariana berdecak malas menanggapi suaminya. Albert menghela napasnya lalu memposisikan dirinya duduk di samping istrinya itu, "Maaf, aku hanya mengkhawatirkan mu." Mariana pun mengangguk pelan setelah mendapat permintaan maaf dari Albert. "Bagaimana acara tadi? Apakah berjalan lancar sesuai rencana?" tanya Mariana. "Ya, tentu. Sesuai rencana sebab Aslan juga tidak ikut merayakannya," ucap Albert disertai senyum kebanggaannya. "Aish, mau sampai berapa lama kamu akan membenci Aslan, Albert? Apakah selama ini dia pernah berbuat kesalahan pada kita? Tidak, bukan?" Ucapan Mariana sontak membuat Albert menatapnya dengan tajam, "Bisa-bisanya kamu membela anak pengkhianat s
Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. "Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. "Ya, Edgar? Kenapa?" Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. "Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja." Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Win
Aslan membulatkan mata—terkejut mendengar penuturan Damian. Wajahnya yang semula tak berekspresi sama sekali, kini tengah mengeluarkan keringat dingin hingga tercetak jelas di tepian keningnya. "T-tidak. Bukan aku yang melakukannya," elak Aslan. Damian menggelengkan kepalanya berulang kali sembari melipat tangannya di depan dada. Bangsawan pria itu perlahan mendekati Aslan, lalu membisikkan sesuatu tepat di samping telinga kanan Aslan, "Aku telah menaruh curiga padamu, Aslan." "Curiga?" ulang Aslan tak paham akan maksud perkataan Damian. Damian hanya menghendikkan bahu acuh, lalu dirinya pergi begitu saja meninggalkan Aslan yang masih bergulat dalam pemikirannya. Hingga pada akhirnya, Aslan memutuskan untuk ikut melenggang pergi. Ia ingin keluar kerajaan dan akan menelusuri hutan seperti halnya para Ksatria yang terkadang berlatih di tengah-tengah tempat penuh pepohonan itu. Pria itu pun melesat cepat, dan hanya membutuhkan beberapa menit saja ia telah sampai di tengah hutan
Sepulang dari kegiatan berburunya, Aslan tidak menyadari bahwa sedari tadi Edgar menunggu dirinya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Pedang yang telah keluar dari tempatnya semula itu mulai menodong ke depan, dan hal itu sontak membuat Aslan menghentikan laju lariannya. "Sini kau, Aslan! Aku tidak menyangka kalau dirimu malah keluar dan menggoda Mariana di hutan!" Bukan Edgar yang berteriak, melainkan Albert tengah mengambil paksa pedang yang tadi dibawa oleh Edgar. Aslan yang tak paham akan maksudnya pun menaikkan satu alis terheran. "Maksud Duke?" "Jangan pura-pura tidak tau, dasar pria rendahan! Mau berlagak dengan wajah sok tampanmu itu? Cih," kata Albert diimbuhi sebuah decihan kecil pada kalimat terakhir yang diucapkannya. "Maaf, tapi aku tak pernah menggoda Duchess. Sekali pun tak pernah," elak Aslan apa adanya. "Tidak usah banyak alasan, Aslan. Aku menantangmu bertarung hari ini!" Kegiatan mereka di aula itu disaksikan oleh banyak saksi mata. Ada banyak yang terkej
Semenjak adanya pengumuman yang disampaikan langsung oleh Albert itu, para Ksatria mulai berlatih lebih giat lagi agar mereka bisa naik tahta satu tingkat menjadi seorang Count dan mencapai puncak untuk memakai pakaian yang melambangkan seorang bangsawan. Aslan hanya duduk di pojok aula ruang latihan para Ksatria sembari mengusap pedangnya dengan kain lap agar lebih mengkilap. Seorang Ksatria menjumpai Aslan, ia menghentikan aktivitas berlatih nya lantas mendekati Aslan yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. "Kau tak berlatih?" tanyanya tiba-tiba yang telah berdiri di hadapan Aslan. Aslan yang masih duduk pun mendongak, menatap sosok pria dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. "Aku?" ulang Aslan lagi sebab tak percaya ada yang bertanya demikian padanya. Ksatria itu mengangguk, ia kemudian ikut duduk dan menyelonjorkan kakinya di samping Aslan. Sementara Aslan malah mengerutkan kening, pria tak dikenalnya itu tiba-tiba membuat Aslan terheran akan sikapnya. "Kalau kam
"Yang namanya disebut, silahkan maju ke depan!" Albert mulai mengarahkan sihir ke arah bola merah tersebut, dan keluarkan secarik kertas yang kemungkinan besar berisi nama-nama bangsawan yang terpilih. Sang Duke itu berdeham singkat, "Bola ini sudah menyeleksi tiap bangsawan yang terpilih. Jadi, mungkin tak kan ada yang namanya pertandingan lagi. Kalian yang namanya tercantum di sini, akan langsung masuk kategori untuk melawan kerajaan Jovanka nanti, dan seperti janji kemarin akan aku nobatkan kalian naik tahta." Lagi-lagi Albert mengatakan kalimat yang cukup untuk membuat sebagian bangsawan syok. Ini bukanlah jalan alur cerita yang di ekspektasikan oleh bangsawan, seperti Ksatria, yang ingin naik tahta. Ini seperti sulap yang kebetulan beradu dengan nasib. Dan Aslan tak tahu, apakah nasibnya akan baik atau buruk hari ini. "Di sini hanya tercantum nama dua puluh bangsawan yang sudah terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama..... " Tak bisa dipungkiri, Aslan sungguh tak te
"Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b