“Apa yang kau lakukan di sini, Aslan?”
Ternyata Damian yang membuka pintu ruangan itu. Pria itu menunjukkan raut wajah bingung ketika tiga pria yang tak dikenalnya hilang dalam sekejap mata saat ia membuka pintu dan bersuara. Aslan berdehem, ia kemudian turun dari sana dan berjalan di karpet merah seperti yang dilakukannya tadi. Ia berjalan mendekati Damian.
“Siapa pria tadi Aslan? Apa dia penyusup? Lalu... “ Damian memicingkan matanya, menatap selidik ke arah Aslan.
“Aku tidak tahu siapa mereka. Namun, mereka tadi ingin mengambil pedang Artois milik Duke terdahulu,” ujar Aslan sebelum Damian melanjutkan ucapannya.
Damian membuka mulutnya karena terkejut. Bola matanya pun sedikit melebar setelah mendengar penuturan Aslan. “L-lalu... Apa kamu yang sudah menghalangi mereka? Apa kamu yang sudah menyelamatkan pedang Artois ini?”
Aslan hanya diam tak menjawab. Diamnya Aslan itu dapat Damian mengerti. Damian tahu, Aslan memang bukan pria yang dapat diremehkan. Meskipun banyak sekali kalangan bangsawan, bahkan hampir semua bangsawan meremehkannya, namun Damian tentu tidak bisa menyangkal bahwa ia sangat tertarik dengan Aslan.
“Entah kekuatan apa yang kamu miliki Aslan. Tapi aku percaya, bahwa keberadaan mu di sini sudah membuat aku yakin kalau Wingston, Ayah dari Albert tidak mungkin mengijinkan mu tinggal di Kerajaan ini tanpa alasan jelas.”
Aslan tertegun mendengarnya. “Bagaimana kamu tahu kalau Wingston yang mengijinkan ku untuk tetap tinggal di sini?” tanya Aslan.
“Tentu saja aku tahu. Seluruh Kerajaan sudah tahu, Aslan. Wingston sendiri yang mengumumkannya tempo hari. Apakah kamu belum tahu? Seluruh bangsawan membicarakan mu,” ucap Damian yang lagi-lagi membuat Aslan terkejut.
“Maaf. Aku harus segera pergi, Duke,” pamit Aslan tiba-tiba dan segera keluar dari ruangan itu.
Damian menatap punggung tegap Aslan yang mulai menghilang dari penglihatannya. Punggung tegap yang penuh dengan kemisteriusan.
***
Aslan berjalan melewati lorong demi lorong kerajaan. Tak banyak para bangsawan berlalu lalang, hanya ada beberapa Ksatria yang tengah berbincang-bincang di sepanjang jalanan yang dikelilingi lorong itu.
Tiba di sebuah ruangan yang cukup besar, Aslan pun hendak mengetuk pintu ruangan itu sebelum memasukinya. Namun, belum Aslan mengetuknya, tetapi pintu itu sudah terbuka dan menampilkan sosok pria berambut pirang lurus dan panjang tengah menikmati beberapa jamuan makanan di hadapannya. Aslan membungkukkan badannya dengan sopan, lalu ia melangkahkan kaki untuk mendekati pria yang tampan itu.
“Aslan? Kebetulan sekali aku mau menemui mu. Pantas saja pintuku terbuka otomatis, ternyata kamu yang datang,” ucapnya diselingi senyum tipis. “Mau minum teh denganku?” lanjutnya seraya mengangkat sebuah cangkir warna putih dan ditunjukkannya pada Aslan.
“Terimakasih, Duke. Aku hanya ingin memastikan, apakah benar kamu memberitahu semua orang bahwa aku diijinkan tinggal sini atas ijin darimu sendiri?” tanya Aslan.
Wingston menaruh secangkir teh warna merahnya lalu menganggukkan kepalanya, “Hem... Bukankah itu benar? Memang aku bukan yang mengijinkanmu untuk tinggal di sini?”
“Lalu, mengapa kamu mengumumkannya, Duke?”
“Aku hanya ingin keberadaanmu dianggap, Aslan. Kamu tahu, kamu bahkan jauh lebih hebat dari putraku, Albert. Itu salah satu alasan aku memberikanmu ijin untuk tetap tinggal di sini. Ya, meskipun aku tau, tanpa ijinku pun kamu akan tetap tinggal di sini,” jelasnya panjang lebar.
Aslan terdiam sejenak ketika mendengar penuturan panjang lebar dari Wingston. Ada sedikit pertanyaan yang terngiang di kepalanya, namun ia enggan untuk menanyakannya.
“Jika itu kehendakmu, maka aku tidak bisa menolaknya. Namun aku lebih berharap diperlakukan seperti biasanya saja. Aku tidak ingin bangsawan lain mencari masalah karena berita ini,” ujar Aslan.
Wingston lagi-lagi tersenyum, “Tenang saja, Aslan. Kau ini seperti Ayahmu saja yang kaku. Dari pada kamu berdiri di situ saja, lebih baik kamu duduk di sini dan temani aku minum teh.”
Aslan pun menghela napasnya lalu mengangguk. Tak ada setipis senyuman apapun yang menghiasi wajah tampannya. Selalu datar, dan selalu dingin. Ya, itulah dirinya.
“Ekspresi mu yang seperti itu selalu menakutiku, Aslan. Bisa tidak kamu tersenyum sedikit saja? Aku sampai takut kalau kamu tidak bisa tersenyum,” tutur Wingston diselingi gurauannya.
“Apakah tidak bisa tersenyum lagi merupakan sebuah kutukan?”
Wingston tertawa renyah mendengar pertanyaan yang lolos dari bibir Aslan, “Kau ini, selalu saja tidak bisa diajak becanda. Mana ada kutukan yang seperti itu. Kau ini, dasar.”
***
Suara dentingan gelas yang saling bersentuhan memenuhi lorong aula kerajaan Wealton. Semua para bangsawan berkumpul dan memeriahkan acara yang digelar Duke atas kemenangan melawan kerajaan Jovanka.
Aslan hanya menatap betapa riuhnya aula besar itu dari jendela yang terbuka. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut merayakan hal semacam itu. Kini, Aslan memutar tubuhnya dan berjalan seorang diri entah akan kemana. Pria yang misterius itu sangat sulit untuk ditebak jalan pikirannya.
Ternyata, Aslan hendak kembali ke kamarnya yang letaknya jauh dari aula kerajaan. Ya, mengingat kedudukannya di kerajaan itu membuat Aslan harus menerima semua keputusan Duke, termasuk yang meletakkan kamarnya berada di belakang kamar para Ksatria.
Saat hendak membuka pintu kamarnya, ia dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahu kirinya. Aslan langsung menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan Duchess tengah tersenyum ke arahnya. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamarnya.
“Duchess Mariana,” ucap Aslan dengan pelan.
Mariana tersenyum simpul, “Sudah lama kau tak memanggil dengan namaku, Aslan.”
Aslan tak merespon lagi ucapan Mariana.
“Jangan salah paham. Aku tadi berkeliaran di sini karena merasa bosan di aula kerajaan. Tapi, ternyata kamu juga ada di sini,” ucap Mariana menjelaskan.
“Lantas?”
“Oh, ayolah, Aslan. Maukah kamu menemaniku berkeliling? Aku sangat bosan.”
Aslan menatap Duchess yang memasang wajah memelas padanya. Akhirnya ia menghela napasnya dan mengangguk. Jika bukan karena Duchess yang memintanya, Aslan pasti sudah menolaknya mentah-mentah. Sebab, menurut Aslan seorang Duke ataupun Duchess patut dihormatinya.
Duchess itu tersenyum senang, “Kalau begitu, ayo kita ke taman kerajaan. Aku sangat ingin ke sana di malam hari, tapi Albert selalu melarang ku dengan alasan takut kalau terjadi apa-apa denganku.”
Wanita yang berumur sedikit lebih tua darinya itu berjalan mendahuluinya. Aslan hanya mengikuti wanita itu dari belakang tanpa banyak bicara. Setelah sampai di sebuah taman yang berada sedikit jauh dari kerajaan, Aslan memperhatikan Mariana yang tersenyum senang dengan manik mata yang berbinar-binar.
“Wah, ternyata benar kata Baroness kalau pemandangan malam di sini sangat indah. Aku sangat menyayangkan baru ke sini sekali seumur hidupku saat malam hari,” ujarnya seorang diri. Aslan masih berdiri lima langkah lebih jauh di belakang Mariana.
“Kemarilah, Aslan. Bintang-bintang di langit malam sungguh indah. Terimakasih sudah menemaniku datang ke sini,” ucapnya dengan tulus.
Pertama kalinya Aslan melihat Mariana dengan versi yang berbeda. Mariana selalunya menjadi seorang Duchess yang terbilang bermulut pedas, bermata tajam, dan kejam. Terutama dengan caranya berpakaian yang terbilang sangat terbuka.
Aslan pun hendak melangkahkan kaki lebih dekat dengan Mariana. Namun, sebuah kilatan warna putih membuat Aslan otomatis langsung memundurkan tubuhnya. Mariana membulatkan matanya setelah melihat bagaimana kilat putih itu hampir saja menyambar dan mengenai tubuh Aslan.
“Aslan? Apa kau tidak apa-apa?” tanya Mariana dengan khawatir.
Aslan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak apa-apa. Sepertinya ada yang memperhatikan kita. Lebih baik kita segera pergi sekarang,” ucap Aslan dan diangguki persetujuan oleh Mariana.
To be continue~
"Kemana saja kau, Mariana? Aku hampir tidak menemukanmu malam ini. Apa saja yang sudah kau lakukan?" Mariana hanya menatap malas ke arah Albert yang sedang menunjukkan sedikit kilatan amarah padanya. "Ck, aku hanya berjalan-jalan mencari udara segar, Albert. Bukankah cara bicaramu padaku terlalu berlebihan?" Mariana berdecak malas menanggapi suaminya. Albert menghela napasnya lalu memposisikan dirinya duduk di samping istrinya itu, "Maaf, aku hanya mengkhawatirkan mu." Mariana pun mengangguk pelan setelah mendapat permintaan maaf dari Albert. "Bagaimana acara tadi? Apakah berjalan lancar sesuai rencana?" tanya Mariana. "Ya, tentu. Sesuai rencana sebab Aslan juga tidak ikut merayakannya," ucap Albert disertai senyum kebanggaannya. "Aish, mau sampai berapa lama kamu akan membenci Aslan, Albert? Apakah selama ini dia pernah berbuat kesalahan pada kita? Tidak, bukan?" Ucapan Mariana sontak membuat Albert menatapnya dengan tajam, "Bisa-bisanya kamu membela anak pengkhianat s
Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. "Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. "Ya, Edgar? Kenapa?" Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. "Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja." Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Win
Aslan membulatkan mata—terkejut mendengar penuturan Damian. Wajahnya yang semula tak berekspresi sama sekali, kini tengah mengeluarkan keringat dingin hingga tercetak jelas di tepian keningnya. "T-tidak. Bukan aku yang melakukannya," elak Aslan. Damian menggelengkan kepalanya berulang kali sembari melipat tangannya di depan dada. Bangsawan pria itu perlahan mendekati Aslan, lalu membisikkan sesuatu tepat di samping telinga kanan Aslan, "Aku telah menaruh curiga padamu, Aslan." "Curiga?" ulang Aslan tak paham akan maksud perkataan Damian. Damian hanya menghendikkan bahu acuh, lalu dirinya pergi begitu saja meninggalkan Aslan yang masih bergulat dalam pemikirannya. Hingga pada akhirnya, Aslan memutuskan untuk ikut melenggang pergi. Ia ingin keluar kerajaan dan akan menelusuri hutan seperti halnya para Ksatria yang terkadang berlatih di tengah-tengah tempat penuh pepohonan itu. Pria itu pun melesat cepat, dan hanya membutuhkan beberapa menit saja ia telah sampai di tengah hutan
Sepulang dari kegiatan berburunya, Aslan tidak menyadari bahwa sedari tadi Edgar menunggu dirinya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Pedang yang telah keluar dari tempatnya semula itu mulai menodong ke depan, dan hal itu sontak membuat Aslan menghentikan laju lariannya. "Sini kau, Aslan! Aku tidak menyangka kalau dirimu malah keluar dan menggoda Mariana di hutan!" Bukan Edgar yang berteriak, melainkan Albert tengah mengambil paksa pedang yang tadi dibawa oleh Edgar. Aslan yang tak paham akan maksudnya pun menaikkan satu alis terheran. "Maksud Duke?" "Jangan pura-pura tidak tau, dasar pria rendahan! Mau berlagak dengan wajah sok tampanmu itu? Cih," kata Albert diimbuhi sebuah decihan kecil pada kalimat terakhir yang diucapkannya. "Maaf, tapi aku tak pernah menggoda Duchess. Sekali pun tak pernah," elak Aslan apa adanya. "Tidak usah banyak alasan, Aslan. Aku menantangmu bertarung hari ini!" Kegiatan mereka di aula itu disaksikan oleh banyak saksi mata. Ada banyak yang terkej
Semenjak adanya pengumuman yang disampaikan langsung oleh Albert itu, para Ksatria mulai berlatih lebih giat lagi agar mereka bisa naik tahta satu tingkat menjadi seorang Count dan mencapai puncak untuk memakai pakaian yang melambangkan seorang bangsawan. Aslan hanya duduk di pojok aula ruang latihan para Ksatria sembari mengusap pedangnya dengan kain lap agar lebih mengkilap. Seorang Ksatria menjumpai Aslan, ia menghentikan aktivitas berlatih nya lantas mendekati Aslan yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. "Kau tak berlatih?" tanyanya tiba-tiba yang telah berdiri di hadapan Aslan. Aslan yang masih duduk pun mendongak, menatap sosok pria dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. "Aku?" ulang Aslan lagi sebab tak percaya ada yang bertanya demikian padanya. Ksatria itu mengangguk, ia kemudian ikut duduk dan menyelonjorkan kakinya di samping Aslan. Sementara Aslan malah mengerutkan kening, pria tak dikenalnya itu tiba-tiba membuat Aslan terheran akan sikapnya. "Kalau kam
"Yang namanya disebut, silahkan maju ke depan!" Albert mulai mengarahkan sihir ke arah bola merah tersebut, dan keluarkan secarik kertas yang kemungkinan besar berisi nama-nama bangsawan yang terpilih. Sang Duke itu berdeham singkat, "Bola ini sudah menyeleksi tiap bangsawan yang terpilih. Jadi, mungkin tak kan ada yang namanya pertandingan lagi. Kalian yang namanya tercantum di sini, akan langsung masuk kategori untuk melawan kerajaan Jovanka nanti, dan seperti janji kemarin akan aku nobatkan kalian naik tahta." Lagi-lagi Albert mengatakan kalimat yang cukup untuk membuat sebagian bangsawan syok. Ini bukanlah jalan alur cerita yang di ekspektasikan oleh bangsawan, seperti Ksatria, yang ingin naik tahta. Ini seperti sulap yang kebetulan beradu dengan nasib. Dan Aslan tak tahu, apakah nasibnya akan baik atau buruk hari ini. "Di sini hanya tercantum nama dua puluh bangsawan yang sudah terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama..... " Tak bisa dipungkiri, Aslan sungguh tak te
"Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b
Angela sedari tadi menatap ke arah Johnny, seorang Baron yang sungguh tampan, melebihi ketampanan Albert. Sementara Felco hanya berekspresi datar, sama halnya dengan Peter yang sedari tadi mengatupkan bibir rapat. Sampai pada akhirnya Johnny pun memulai percakapan di kelompok lima itu."Aku yang akan memimpin." Tanpa rasa ragu, Johnny mengatakan kalimat tersebut dengan lantang.Peter menoleh, "Bukankah Baron Felco lebih pantas?"Angela pun menyahuti. Sembari menggelengkan kepala tak setuju, ia menolak tegas ucapan Peter, "No! Baron Felco itu sudah berumur, tak mungkin kekuatannya masih sama seperti kita.""Bukankah dia lebih berpengalaman dari pada kita?" Peter lagi-lagi membantah.Terlihat Johnny yang menghela napasnya, "Tak semua orang tua itu berpengalaman. Lihatlah Duke Edgar, dia masih muda tapi sudah menjadi tangan kanan Lord."Kini Peter tertawa remeh mendengar penuturan Johnny. "Cih, siapa yang kau panggil dengan se