"Kemana saja kau, Mariana? Aku hampir tidak menemukanmu malam ini. Apa saja yang sudah kau lakukan?"
Mariana hanya menatap malas ke arah Albert yang sedang menunjukkan sedikit kilatan amarah padanya.
"Ck, aku hanya berjalan-jalan mencari udara segar, Albert. Bukankah cara bicaramu padaku terlalu berlebihan?" Mariana berdecak malas menanggapi suaminya.
Albert menghela napasnya lalu memposisikan dirinya duduk di samping istrinya itu, "Maaf, aku hanya mengkhawatirkan mu."
Mariana pun mengangguk pelan setelah mendapat permintaan maaf dari Albert.
"Bagaimana acara tadi? Apakah berjalan lancar sesuai rencana?" tanya Mariana.
"Ya, tentu. Sesuai rencana sebab Aslan juga tidak ikut merayakannya," ucap Albert disertai senyum kebanggaannya.
"Aish, mau sampai berapa lama kamu akan membenci Aslan, Albert? Apakah selama ini dia pernah berbuat kesalahan pada kita? Tidak, bukan?"
Ucapan Mariana sontak membuat Albert menatapnya dengan tajam, "Bisa-bisanya kamu membela anak pengkhianat seperti dia. Harusnya, dia berada di dunia rakyat bawah sekarang. Tapi, karena belas kasihku dia masih diterima di sini."
Mariana tersenyum sinis, "Begitukah? Bukankah Aslan di sini atas ijin dari Duke Wingston?"
Albert memicingkan matanya dan mencoba mencerna ucapan yang baru saja keluar dari mulut istrinya, "Maksudmu? Mengapa Ayah melakukannya?"
"Entahlah, kau tanya saja sendiri padanya. Aku hanya mendengarnya dari desas-desus Baroness yang berkata bahwa Wingston sudah sepenuhnya memberikan ijin pada Aslan untuk tinggal di kerajaan," ucap Mariana ringan.
Merasa tidak puas dengan jawaban Mariana, Albert langsung keluar dan menuju ruangan milik Wingston yang berada tak jauh dari kamarnya. Albert pun mengetuk pintu itu dan berteriak memanggil nama ayahnya.
"Ayah, buka pintunya! Aku ingin bicara!"
Pintu otomatis terbuka dan menampilkan sosok Wingston. Albert membulatkan matanya ketika melihat bahwa Wingston tidak sendirian, melainkan bersama Aslan yang kini hendak meminum secangkir minuman yang berwarna merah gelap.
"Kenapa berteriak seperti itu, Albert?" tanya Wingston sembari mengerutkan keningnya.
Albert menatap tajam ke arah Aslan yang dengan santainya meneguk minuman pemberian Wingston.
"Sedang apa Aslan di sini?" tanya Albert.
Wingston mengalihkan pandangannya menatap Aslan, ia pun tersenyum santai. "Ah, dia sedang menemani Ayah minum ramuan yang Ayah namai Jiskey ini. Ayah mau Aslan mencobanya terlebih dahulu."
"Mengapa harus dia yang mencobanya terlebih dahulu, Ayah?" tanya Albert dengan nada bicara tidak terima.
"Aslan ini memiliki kekebalan tubuh yang bagus, Albert. Jika ramuan yang Ayah ciptakan ini tidak sesuai, maka tak akan berdampak apapun pada Aslan."
Albert bingung dengan perkataan Wingston, "Maksudnya? Kenapa tidak berdampak padanya?" tanya Albert beralih menatap Aslan yang sedari tadi hanya diam saja dan menyaksikan percakapan antara anak dan Ayah itu.
"Sudahlah, lupakan. Ada perlu apa kamu ke ruangan Ayah?" tanya Wingston.
"Aku mau bicara empat mata dengan Ayah," ucap Albert.
Wingston pun mengalihkan pandangannya menatap Aslan yang sedang menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu, saya permisi, Duke."
Aslan pergi keluar dari ruangan milik Wingston. Meskipun Albert dan Wingston berbicara empat mata, namun Aslan masih bisa mendengarkan apa yang mereka katakan dari dalam ruangan itu. Bersyukurlah atas pendengaran tajam milik Aslan yang turun temurun dari mendiang Ayahnya. Namun, terkadang Aslan juga merasa risih jika harus mendengar ucapan-ucapan yang menurutnya tidak berguna itu.
"Apa-apaan kau ini, Albert?"
Albert langsung memposisikan dirinya di kursi yang semula diduduki oleh Aslan.
"Apakah kalian berdua begitu akrab sampai dia harus menemani Ayah minum?" tanya Albert to the point.
Wingston menghela napasnya, "Sudahlah, katakan apa maumu. Bukankah mustahil kalau kamu datang ke sini hanya untuk menjengukku?"
"Aku hanya ingin memastikan, mengapa Ayah mengumumkan telah memberi ijin Aslan untuk tetap tinggal di sini?" Albert menatap Wingston dengan serius, "Bukankah sudah jelas kalau keberadaan Aslan di sini bisa dikatakan tidak pantas?"
Wingston menghendikkan bahunya singkat dan sedikit acuh terhadap pertanyaan yang Albert lontarkan pada dirinya. Menurutnya, pertanyaan itu tidaklah begitu penting untuk dibahas dengan serius, "Entahlah, Ayah hanya mengikuti insting," jawabnya singkat.
Albert memandang Wingston dengan sorot mata bertanya dan aneh, "Insting? Maksud Ayah? Kenapa kalian berdua penuh kemisteriusan. Tak bisakah Ayah berbicara terang-terangan denganku?"
"Kamu tidak perlu memikirkan alasan keberadaan Aslan di sini, Albert. Lakukan saja tugasmu sebagai Duke dengan baik. Urusan Aslan, biar Ayah yang mengaturnya," tutur Wingston.
"Tapi Ayah... Dia itu anak seorang pengkhianat, Ayah. Keberadaannya di sini saja sebuah kesalahan, apalagi diberikan ijin oleh Ayah!" tukas Albert tak ingin kalah.
"Sudahlah, Albert. Lebih baik, kamu atur strategi penyerangan kerajaan Jovanka. Delves tidak mungkin menyerah secepat perkiraan," ucap Wingston mengalihkan topik pembicaraan.
Albert pun menghela napasnya singkat lalu mengangguk. Benar juga apa yang dikatakan oleh Ayahnya.
"Baiklah. Kalau begitu, aku keluar dulu."
***
Aslan berjalan melewati lorong-lorong gelap tempat para Ksatria melatih kekuatan pedang mereka masing-masing. Bunyi pedang saling bersentuhan terdengar sangat nyaring dan jelas menerobos masuk ke indra pendengarannya.
Saat itu juga, Aslan melihat Edgar yang berjalan dengan tergesa bersama seorang Baron yang tak salah bernama Neville. Seorang Edgar itu tengah tersenyum dan berbincang hangat dengan pemuda yang bernama Neville itu.
Aslan hanya bersikap datar seperti biasa. Ia berjalan bersimpangan begitu saja tanpa memperhatikan Edgar yang sedang menatapnya dengan sinis. Ketika Aslan sudah berjalan sedikit jauh, ia bisa mendengar suara Edgar yang sedang membicarakannya dengan Neville.
"Lihatlah anak tak tau diri itu. Entah apa yang sudah dia perbuat sampai Duke Wingston memberikannya ijin legal untuk tinggal di sini," ucap Edgar.
Neville sepertinya hanya tersenyum canggung menanggapi. Mungkin pria itu tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi ucapan Edgar.
Entah apa yang dirasakan oleh Aslan, namun pria itu masih tidak berekspresi. Ya, anggap saja Aslan adalah tembok beton kuat yang sangat sulit untuk dirobohkan. Meskipun banyak yang menggunjing dan mengucilkannya, tetapi ia masih bersikap biasa saja dan tak bereaksi apapun.
"Duke Marc sudah datang!"
Seruan yang sangat keras itu menggema hingga ke seluruh penjuru istana. Aslan menangkapnya. Baik Edgar dan lainnya bergegas menuju ke halaman depan Kerajaan, begitupun juga dengan Aslan.
***
"Perhatian! Tunjukkan rasa hormat kalian pada Duke Marc!" ucap Albert yang berada di barisan paling depan antara para bangsawan.
Aslan yang berdiri lumayan jauh hanya bisa mendengar dan mengikuti instruksi yang diberikan. Ia belum bisa melihat dengan jelas rupa wajah Duke dari sana. Namun ia akan segera mengetahuinya setelah para Ksatria membentuk barisan untuk mempersilahkan Duke itu masuk.
"Aku menghormatimu, Duke. Anda berperan besar dalam perang melawan Kerajaan Jovanka. Entah ganjaran apa yang harus saya berikan untuk anda," ucap Albert.
Marc tersenyum santai. Di umurnya yang masih muda itu, ia sama sekali tidak merasa sungkan bahwa Albert—pria yang lebih tua darinya itu tengah membungkukkan sedikit badannya untuk penghormatan.
"Tak masalah Albert. Aku hanya membalas budi atas perbuatanmu dan Ayahmu dulu," ucapnya dengan nada bicara yang santai.
Albert hanya menyunggingkan senyum lantas mempersilahkan Marc untuk masuk mengikutinya.
Dalam perjalanannya memasuki Kerajaan Wealton itu, pandangan tajam Marc sempat mendapati Aslan yang juga tengah memperhatikan dirinya yang dikelilingi oleh para bangsawan maupun Ksatria.
"Aslan.... " gumam Marc.
To be continue~
Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. "Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. "Ya, Edgar? Kenapa?" Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. "Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja." Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Win
Aslan membulatkan mata—terkejut mendengar penuturan Damian. Wajahnya yang semula tak berekspresi sama sekali, kini tengah mengeluarkan keringat dingin hingga tercetak jelas di tepian keningnya. "T-tidak. Bukan aku yang melakukannya," elak Aslan. Damian menggelengkan kepalanya berulang kali sembari melipat tangannya di depan dada. Bangsawan pria itu perlahan mendekati Aslan, lalu membisikkan sesuatu tepat di samping telinga kanan Aslan, "Aku telah menaruh curiga padamu, Aslan." "Curiga?" ulang Aslan tak paham akan maksud perkataan Damian. Damian hanya menghendikkan bahu acuh, lalu dirinya pergi begitu saja meninggalkan Aslan yang masih bergulat dalam pemikirannya. Hingga pada akhirnya, Aslan memutuskan untuk ikut melenggang pergi. Ia ingin keluar kerajaan dan akan menelusuri hutan seperti halnya para Ksatria yang terkadang berlatih di tengah-tengah tempat penuh pepohonan itu. Pria itu pun melesat cepat, dan hanya membutuhkan beberapa menit saja ia telah sampai di tengah hutan
Sepulang dari kegiatan berburunya, Aslan tidak menyadari bahwa sedari tadi Edgar menunggu dirinya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Pedang yang telah keluar dari tempatnya semula itu mulai menodong ke depan, dan hal itu sontak membuat Aslan menghentikan laju lariannya. "Sini kau, Aslan! Aku tidak menyangka kalau dirimu malah keluar dan menggoda Mariana di hutan!" Bukan Edgar yang berteriak, melainkan Albert tengah mengambil paksa pedang yang tadi dibawa oleh Edgar. Aslan yang tak paham akan maksudnya pun menaikkan satu alis terheran. "Maksud Duke?" "Jangan pura-pura tidak tau, dasar pria rendahan! Mau berlagak dengan wajah sok tampanmu itu? Cih," kata Albert diimbuhi sebuah decihan kecil pada kalimat terakhir yang diucapkannya. "Maaf, tapi aku tak pernah menggoda Duchess. Sekali pun tak pernah," elak Aslan apa adanya. "Tidak usah banyak alasan, Aslan. Aku menantangmu bertarung hari ini!" Kegiatan mereka di aula itu disaksikan oleh banyak saksi mata. Ada banyak yang terkej
Semenjak adanya pengumuman yang disampaikan langsung oleh Albert itu, para Ksatria mulai berlatih lebih giat lagi agar mereka bisa naik tahta satu tingkat menjadi seorang Count dan mencapai puncak untuk memakai pakaian yang melambangkan seorang bangsawan. Aslan hanya duduk di pojok aula ruang latihan para Ksatria sembari mengusap pedangnya dengan kain lap agar lebih mengkilap. Seorang Ksatria menjumpai Aslan, ia menghentikan aktivitas berlatih nya lantas mendekati Aslan yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. "Kau tak berlatih?" tanyanya tiba-tiba yang telah berdiri di hadapan Aslan. Aslan yang masih duduk pun mendongak, menatap sosok pria dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. "Aku?" ulang Aslan lagi sebab tak percaya ada yang bertanya demikian padanya. Ksatria itu mengangguk, ia kemudian ikut duduk dan menyelonjorkan kakinya di samping Aslan. Sementara Aslan malah mengerutkan kening, pria tak dikenalnya itu tiba-tiba membuat Aslan terheran akan sikapnya. "Kalau kam
"Yang namanya disebut, silahkan maju ke depan!" Albert mulai mengarahkan sihir ke arah bola merah tersebut, dan keluarkan secarik kertas yang kemungkinan besar berisi nama-nama bangsawan yang terpilih. Sang Duke itu berdeham singkat, "Bola ini sudah menyeleksi tiap bangsawan yang terpilih. Jadi, mungkin tak kan ada yang namanya pertandingan lagi. Kalian yang namanya tercantum di sini, akan langsung masuk kategori untuk melawan kerajaan Jovanka nanti, dan seperti janji kemarin akan aku nobatkan kalian naik tahta." Lagi-lagi Albert mengatakan kalimat yang cukup untuk membuat sebagian bangsawan syok. Ini bukanlah jalan alur cerita yang di ekspektasikan oleh bangsawan, seperti Ksatria, yang ingin naik tahta. Ini seperti sulap yang kebetulan beradu dengan nasib. Dan Aslan tak tahu, apakah nasibnya akan baik atau buruk hari ini. "Di sini hanya tercantum nama dua puluh bangsawan yang sudah terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama..... " Tak bisa dipungkiri, Aslan sungguh tak te
"Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b
Angela sedari tadi menatap ke arah Johnny, seorang Baron yang sungguh tampan, melebihi ketampanan Albert. Sementara Felco hanya berekspresi datar, sama halnya dengan Peter yang sedari tadi mengatupkan bibir rapat. Sampai pada akhirnya Johnny pun memulai percakapan di kelompok lima itu."Aku yang akan memimpin." Tanpa rasa ragu, Johnny mengatakan kalimat tersebut dengan lantang.Peter menoleh, "Bukankah Baron Felco lebih pantas?"Angela pun menyahuti. Sembari menggelengkan kepala tak setuju, ia menolak tegas ucapan Peter, "No! Baron Felco itu sudah berumur, tak mungkin kekuatannya masih sama seperti kita.""Bukankah dia lebih berpengalaman dari pada kita?" Peter lagi-lagi membantah.Terlihat Johnny yang menghela napasnya, "Tak semua orang tua itu berpengalaman. Lihatlah Duke Edgar, dia masih muda tapi sudah menjadi tangan kanan Lord."Kini Peter tertawa remeh mendengar penuturan Johnny. "Cih, siapa yang kau panggil dengan se
Aslan tak begitu yakin dengan rencana yang Johnny buat. Tiga hari lagi menuju hari dimana pertempuran akan dimulai. Meskipun begitu, Aslan tetap harus menghargai apa yang direncanakan oleh Baron itu.Di saat bersamaan, muncullah beberapa Duke bersama dengan Albert dan Edgar. Semua yang berada di ruang khusus pun menoleh ke arah bangsawan berkedudukan tinggi itu. Aslan juga melihat adanya Shelly di sana."Perhatian! Lima Duke ini yang akan menjadi pengampu kalian di tiap kelompok. Saya serahkan pada setiap Duke untuk memilih kelompok yang diinginkan." Edgar memberi pengarahan pada lima orang Duke yang berdiri berdampingan.Shelly menyeringai, lantas secepat kilat ia milih kelompok lima untuk menjadi bawahannya. Gadis itu memposisikan dirinya duduk di samping Aslan yang sedari tadi hanya terdiam. Sebuah bisikan pun keluar dari mulut gadis itu, "Kau harus patuh padaku, Aslan!"Aslan me