Semenjak adanya pengumuman yang disampaikan langsung oleh Albert itu, para Ksatria mulai berlatih lebih giat lagi agar mereka bisa naik tahta satu tingkat menjadi seorang Count dan mencapai puncak untuk memakai pakaian yang melambangkan seorang bangsawan. Aslan hanya duduk di pojok aula ruang latihan para Ksatria sembari mengusap pedangnya dengan kain lap agar lebih mengkilap. Seorang Ksatria menjumpai Aslan, ia menghentikan aktivitas berlatih nya lantas mendekati Aslan yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. "Kau tak berlatih?" tanyanya tiba-tiba yang telah berdiri di hadapan Aslan. Aslan yang masih duduk pun mendongak, menatap sosok pria dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. "Aku?" ulang Aslan lagi sebab tak percaya ada yang bertanya demikian padanya. Ksatria itu mengangguk, ia kemudian ikut duduk dan menyelonjorkan kakinya di samping Aslan. Sementara Aslan malah mengerutkan kening, pria tak dikenalnya itu tiba-tiba membuat Aslan terheran akan sikapnya. "Kalau kam
"Yang namanya disebut, silahkan maju ke depan!" Albert mulai mengarahkan sihir ke arah bola merah tersebut, dan keluarkan secarik kertas yang kemungkinan besar berisi nama-nama bangsawan yang terpilih. Sang Duke itu berdeham singkat, "Bola ini sudah menyeleksi tiap bangsawan yang terpilih. Jadi, mungkin tak kan ada yang namanya pertandingan lagi. Kalian yang namanya tercantum di sini, akan langsung masuk kategori untuk melawan kerajaan Jovanka nanti, dan seperti janji kemarin akan aku nobatkan kalian naik tahta." Lagi-lagi Albert mengatakan kalimat yang cukup untuk membuat sebagian bangsawan syok. Ini bukanlah jalan alur cerita yang di ekspektasikan oleh bangsawan, seperti Ksatria, yang ingin naik tahta. Ini seperti sulap yang kebetulan beradu dengan nasib. Dan Aslan tak tahu, apakah nasibnya akan baik atau buruk hari ini. "Di sini hanya tercantum nama dua puluh bangsawan yang sudah terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama..... " Tak bisa dipungkiri, Aslan sungguh tak te
"Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b
Angela sedari tadi menatap ke arah Johnny, seorang Baron yang sungguh tampan, melebihi ketampanan Albert. Sementara Felco hanya berekspresi datar, sama halnya dengan Peter yang sedari tadi mengatupkan bibir rapat. Sampai pada akhirnya Johnny pun memulai percakapan di kelompok lima itu."Aku yang akan memimpin." Tanpa rasa ragu, Johnny mengatakan kalimat tersebut dengan lantang.Peter menoleh, "Bukankah Baron Felco lebih pantas?"Angela pun menyahuti. Sembari menggelengkan kepala tak setuju, ia menolak tegas ucapan Peter, "No! Baron Felco itu sudah berumur, tak mungkin kekuatannya masih sama seperti kita.""Bukankah dia lebih berpengalaman dari pada kita?" Peter lagi-lagi membantah.Terlihat Johnny yang menghela napasnya, "Tak semua orang tua itu berpengalaman. Lihatlah Duke Edgar, dia masih muda tapi sudah menjadi tangan kanan Lord."Kini Peter tertawa remeh mendengar penuturan Johnny. "Cih, siapa yang kau panggil dengan se
Aslan tak begitu yakin dengan rencana yang Johnny buat. Tiga hari lagi menuju hari dimana pertempuran akan dimulai. Meskipun begitu, Aslan tetap harus menghargai apa yang direncanakan oleh Baron itu.Di saat bersamaan, muncullah beberapa Duke bersama dengan Albert dan Edgar. Semua yang berada di ruang khusus pun menoleh ke arah bangsawan berkedudukan tinggi itu. Aslan juga melihat adanya Shelly di sana."Perhatian! Lima Duke ini yang akan menjadi pengampu kalian di tiap kelompok. Saya serahkan pada setiap Duke untuk memilih kelompok yang diinginkan." Edgar memberi pengarahan pada lima orang Duke yang berdiri berdampingan.Shelly menyeringai, lantas secepat kilat ia milih kelompok lima untuk menjadi bawahannya. Gadis itu memposisikan dirinya duduk di samping Aslan yang sedari tadi hanya terdiam. Sebuah bisikan pun keluar dari mulut gadis itu, "Kau harus patuh padaku, Aslan!"Aslan me
Shelly menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan. Akan ada kendaraan yang membawa kalian ke sana. Dan setiap kendaraan ditentukan dari nama kelompok yang kalian tetapkan. Aku juga tidak tahu mengapa Duke Albert membuat peraturan seperti itu. Bisa jadi itu meringankan kalian buat sampai ke sana, atau malah itu bisa jadi tantangan buat kalian sampai ke sana.”“Kenapa Duke Albert melakukan itu pada kita?” Angela terkejut mendengar penuturan Shelly. “Aku tidak terima kalau gara-gara kendaraan kita jadi kesusahan buat sampai ke sana.”“Sudahlah. Sebaiknya tetapkan dulu nama kelompok kita. Mungkin, nama kelompok memang bisa mempermudah kita saat melakukan misi nanti. Kita bisa bertelepati jika jarak kita sama-sama berjauhan,” ujar Johnny yang bisa diterima oleh akal sehat.Shelly melirik ke arah Aslan yang ternyata menampilkan mimik wajah serius. Mimik wajah itu baru pertama kali Shelly lihat. Shelly berpikir, apakah Aslan s
Semua bangsawan yang telah terpilih untuk melakukan perlawanan diam-diam ke kerajaan Jovanka pun berkumpul tepat di halaman depan kerajaan. Para bangsawan memakai pakaian berbeda-beda khas sesuai dengan kedudukannya. Aslan memakai baju serba hitam dilapisi beberapa tameng yang terbuat dari baja. Sebuah pedang perang tak luput dari genggaman tangannya. Diliriknya Shelly yang berdiri memimpin di depan dengan gagah ala dirinya. Tak terlihat sama sekali bahwa Shelly gadis yang menyebalkan. Mulai dari kelompok pertama hingga keempat telah mendapatkan kendaraan masing-masing untuk sampai ke sana. Ada yang mendapatkan beberapa kuda, ada juga yang mendapatkan kuda beserta kusirnya, bahkan ada yang mendapatkan karpet terbang. Cukup membuat Aslan terheran, sebab Aslan tak tahu apa yang direncanakan oleh Albert. Shelly memperhatikan Albert yang tengah mengarahkan sihir ke awan. Betapa terkejutnya Albert memberikan kelompok Aristokrat sebuah pintu rotan. Aslan pun sukses mengerutkan kening, "Pi
Aslan berada di barisan paling belakang. Ia melirik ke arah Peter yang membawa teropong untuk mengamati keadaan sekitar. Sedangkan Felco tetap tenang melakukan perjalanan. Lalu Johnny dan Shelly sibuk dengan peta, dan Angela malah berceloteh tak karuan seorang diri. "Kurang ajar si Albert. Berani-beraninya dia menyiksa aku dengan perjalanan memuakkan ini." Angela kesal dengan bebatuan licin yang bisa menjebak orang. "Aku juga tak terlalu paham, mengapa dia melakukan ini dengan kita? Tak cukupkah kita hanya langsung berperang dan pulang dengan kemenangan?" Felco menyahuti, punggung pria itu sedikit membungkuk karena sebuah ransel berisi barang berharga yang dibawanya. "Ini tidak semudah yang kita kira. Aku.... " "AWAS!" Peter berteriak karena mendapati sebuah sihir berwarna merah menyala hampir mengenai kepala Angela jika Johnny tak segera menariknya. Angela membulatkan mata, itu adalah sihir yang bisa merubah wujud bangsawan. "Sihir apa itu?" tanya Peter setelah sihir itu meng