Aslan tak begitu yakin dengan rencana yang Johnny buat. Tiga hari lagi menuju hari dimana pertempuran akan dimulai. Meskipun begitu, Aslan tetap harus menghargai apa yang direncanakan oleh Baron itu.
Di saat bersamaan, muncullah beberapa Duke bersama dengan Albert dan Edgar. Semua yang berada di ruang khusus pun menoleh ke arah bangsawan berkedudukan tinggi itu. Aslan juga melihat adanya Shelly di sana.
"Perhatian! Lima Duke ini yang akan menjadi pengampu kalian di tiap kelompok. Saya serahkan pada setiap Duke untuk memilih kelompok yang diinginkan." Edgar memberi pengarahan pada lima orang Duke yang berdiri berdampingan.
Shelly menyeringai, lantas secepat kilat ia milih kelompok lima untuk menjadi bawahannya. Gadis itu memposisikan dirinya duduk di samping Aslan yang sedari tadi hanya terdiam. Sebuah bisikan pun keluar dari mulut gadis itu, "Kau harus patuh padaku, Aslan!"
Aslan me
Shelly menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan. Akan ada kendaraan yang membawa kalian ke sana. Dan setiap kendaraan ditentukan dari nama kelompok yang kalian tetapkan. Aku juga tidak tahu mengapa Duke Albert membuat peraturan seperti itu. Bisa jadi itu meringankan kalian buat sampai ke sana, atau malah itu bisa jadi tantangan buat kalian sampai ke sana.”“Kenapa Duke Albert melakukan itu pada kita?” Angela terkejut mendengar penuturan Shelly. “Aku tidak terima kalau gara-gara kendaraan kita jadi kesusahan buat sampai ke sana.”“Sudahlah. Sebaiknya tetapkan dulu nama kelompok kita. Mungkin, nama kelompok memang bisa mempermudah kita saat melakukan misi nanti. Kita bisa bertelepati jika jarak kita sama-sama berjauhan,” ujar Johnny yang bisa diterima oleh akal sehat.Shelly melirik ke arah Aslan yang ternyata menampilkan mimik wajah serius. Mimik wajah itu baru pertama kali Shelly lihat. Shelly berpikir, apakah Aslan s
Semua bangsawan yang telah terpilih untuk melakukan perlawanan diam-diam ke kerajaan Jovanka pun berkumpul tepat di halaman depan kerajaan. Para bangsawan memakai pakaian berbeda-beda khas sesuai dengan kedudukannya. Aslan memakai baju serba hitam dilapisi beberapa tameng yang terbuat dari baja. Sebuah pedang perang tak luput dari genggaman tangannya. Diliriknya Shelly yang berdiri memimpin di depan dengan gagah ala dirinya. Tak terlihat sama sekali bahwa Shelly gadis yang menyebalkan. Mulai dari kelompok pertama hingga keempat telah mendapatkan kendaraan masing-masing untuk sampai ke sana. Ada yang mendapatkan beberapa kuda, ada juga yang mendapatkan kuda beserta kusirnya, bahkan ada yang mendapatkan karpet terbang. Cukup membuat Aslan terheran, sebab Aslan tak tahu apa yang direncanakan oleh Albert. Shelly memperhatikan Albert yang tengah mengarahkan sihir ke awan. Betapa terkejutnya Albert memberikan kelompok Aristokrat sebuah pintu rotan. Aslan pun sukses mengerutkan kening, "Pi
Aslan berada di barisan paling belakang. Ia melirik ke arah Peter yang membawa teropong untuk mengamati keadaan sekitar. Sedangkan Felco tetap tenang melakukan perjalanan. Lalu Johnny dan Shelly sibuk dengan peta, dan Angela malah berceloteh tak karuan seorang diri. "Kurang ajar si Albert. Berani-beraninya dia menyiksa aku dengan perjalanan memuakkan ini." Angela kesal dengan bebatuan licin yang bisa menjebak orang. "Aku juga tak terlalu paham, mengapa dia melakukan ini dengan kita? Tak cukupkah kita hanya langsung berperang dan pulang dengan kemenangan?" Felco menyahuti, punggung pria itu sedikit membungkuk karena sebuah ransel berisi barang berharga yang dibawanya. "Ini tidak semudah yang kita kira. Aku.... " "AWAS!" Peter berteriak karena mendapati sebuah sihir berwarna merah menyala hampir mengenai kepala Angela jika Johnny tak segera menariknya. Angela membulatkan mata, itu adalah sihir yang bisa merubah wujud bangsawan. "Sihir apa itu?" tanya Peter setelah sihir itu meng
Suara rintihan kesakitan terdengar jelas di sebuah ruangan berdiameter panjang terisi penuh oleh sosok-sosok kaum bangsawan yang tengah menyaksikan sebuah pertunjukkan malam itu. Seorang pria yang dituduh sebagai penghianat kerajaan sedang merintih kesakitan sebab Ksatria melayangkan beberapa tusukan pedang pada tubuh pria itu.Seorang Duke—kaum bangsawan bergelar tinggi dalam kerjaan itu sedang duduk di sebuah tempat duduk khusus yang telah dipersiapkan untuknya dan juga untuk Duchess—istri seorang Duke.“Berani-beraninya mengkhianati Duke!” teriak seorang Baron—atau yang sering disebut ‘Orang bebas’ dalam kerjaan itu, berdiri menyaksikan pemandangan menyegarkan di depannya.“Usir saja dia dari Kerajaan! Kalau bisa, suruh dia tinggal dengan manusia kalangan bawah. Jangan sampai dia merusak reputasi Kerajaan Wealton!” imbuh seorang Baroness—pasangan dari beberapa Baron.Al
Seorang pria dengan memakai sebuah baju putih dengan kerah yang terpasang sebuah pita warna senada itu berjalan seorang diri menyusuri wilayah kerajaan. Lebih tepatnya, saat ini pria itu tengah menatap para Ksatria sedang berlatih kekuatan pedang mereka.Edgar, seorang Duke itu mengamati beberapa Ksatria dari pinggir ruangan dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada. Di tengah-tengah Ksatria itu, terdapat Aslan yang juga ikut berlatih dengan pedang kerajaan. Aslan memang tidak mempunyai pedang seperti halnya Ksatria lainnya. Ya, Aslan, entah apa posisi yang tepat untuk dirinya di kerjaan Wealton.“Bukankah putra Armor sangat hebat memainkan pedang itu, Edgar?” celetuk seorang pria yang tengah mensejajarkan diri di samping Edgar. Pria itu menatap Aslan yang sedang berlatih di tengah sana bersama dengan Ksatria lainnya.Edgar menolehkan kepalanya, menatap seseorang yang berdiri tepat di samping kanannya. Ia kemudian mendengus kecil, l
“Apa yang kau lakukan di sini, Aslan?” Ternyata Damian yang membuka pintu ruangan itu. Pria itu menunjukkan raut wajah bingung ketika tiga pria yang tak dikenalnya hilang dalam sekejap mata saat ia membuka pintu dan bersuara. Aslan berdehem, ia kemudian turun dari sana dan berjalan di karpet merah seperti yang dilakukannya tadi. Ia berjalan mendekati Damian. “Siapa pria tadi Aslan? Apa dia penyusup? Lalu... “ Damian memicingkan matanya, menatap selidik ke arah Aslan. “Aku tidak tahu siapa mereka. Namun, mereka tadi ingin mengambil pedang Artois milik Duke terdahulu,” ujar Aslan sebelum Damian melanjutkan ucapannya. Damian membuka mulutnya karena terkejut. Bola matanya pun sedikit melebar setelah mendengar penuturan Aslan. “L-lalu... Apa kamu yang sudah menghalangi mereka? Apa kamu yang sudah menyelamatkan pedang Artois ini?” Aslan hanya diam tak menjawab. Diamnya Aslan itu dapat Damian mengerti. Damian tahu, Aslan memang bukan pria yang dapat diremehkan. Meskipun banyak sekali kal
"Kemana saja kau, Mariana? Aku hampir tidak menemukanmu malam ini. Apa saja yang sudah kau lakukan?" Mariana hanya menatap malas ke arah Albert yang sedang menunjukkan sedikit kilatan amarah padanya. "Ck, aku hanya berjalan-jalan mencari udara segar, Albert. Bukankah cara bicaramu padaku terlalu berlebihan?" Mariana berdecak malas menanggapi suaminya. Albert menghela napasnya lalu memposisikan dirinya duduk di samping istrinya itu, "Maaf, aku hanya mengkhawatirkan mu." Mariana pun mengangguk pelan setelah mendapat permintaan maaf dari Albert. "Bagaimana acara tadi? Apakah berjalan lancar sesuai rencana?" tanya Mariana. "Ya, tentu. Sesuai rencana sebab Aslan juga tidak ikut merayakannya," ucap Albert disertai senyum kebanggaannya. "Aish, mau sampai berapa lama kamu akan membenci Aslan, Albert? Apakah selama ini dia pernah berbuat kesalahan pada kita? Tidak, bukan?" Ucapan Mariana sontak membuat Albert menatapnya dengan tajam, "Bisa-bisanya kamu membela anak pengkhianat s
Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. "Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. "Ya, Edgar? Kenapa?" Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. "Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja." Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Win