Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya.
Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya.
"Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya.
"Ya, Edgar? Kenapa?"
Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya.
"Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran.
Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja."
Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Wingston—Ayah Albert.
Tanpa permisi, Edgar memposisikan dirinya duduk di depan Wingston. Ia juga mulai menuangkan sebuah minuman warna biru gelap pada sebuah gelas transparan berbentuk tabung kecil.
Wingston yang mengetahui keberadaan Edgar hanya bersikap santai seperti biasa. Hingga pada akhirnya, muncul sosok Marc—pria dari Kerajaan lain yang berkontribusi dalam kemenangan Kerajaan Wealton itu.
"Duke Wingston, Edgar, tumben kalian akur?"
Wingston menaikkan satu alisnya setelah mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Marc, "Tumben? Kita bahkan tidak pernah bertengkar sebelumnya, Marc."
Marc lantas ikut duduk tepat di samping Edgar, ia lalu menyahuti lagi, "Benarkah? Aku hanya mendengarnya dari Albert kalau kalian berdua tidak akur karena Aslan."
Edgar memilih untuk diam tak menjawab, sementara Wingston beralih menatap pria itu dengan ringan. "Tidak usah pedulikan ucapan Albert," ujarnya kemudian berdiri dan hendak berlalu.
"Mau kemana, Duke?" tanya Marc.
"Ke belakang. Aku ada janji dengan Frank."
Usai itu, Wingston berlalu begitu saja meninggalkan Marc bersama Edgar. Wingston sendiri bingung, tidak biasanya Edgar diam seperti tadi. Apakah ada masalah yang menganggu bangsawan itu? Entahlah, Wingston tak ingin mencampuri nya.
"Kau benar, Marc. Aku tidak akur dengan Wingston karena Aslan. Aku dan dia, kita berdua berbeda pendapat mengenai Aslan."
Setelah Wingston pergi, Edgar baru berani menyuarakan isi hatinya. Marc yang mendengar itu lantas cukup tertarik akan topik pembicaraan. "Pendapat yang bagaimana?"
"Ya, kau tau sendiri kalau Aslan seorang anak pengkhianat yang seharusnya tak pantas berada di sini. Tapi Wingston, dia malah secara terang-terangan mengumumkan telah memberi ijin pada Aslan untuk tetap tinggal di sini," tutur Edgar panjang lebar.
Marc menyeringai kecil, "Mungkin Wingston punya alasan mengapa membiarkan Aslan tetap tinggal di sini."
"Tentu. Tapi apapun itu alasannya, aku dan Albert tak bisa menoleransi sebenarnya," ujar Edgar mengakhiri percakapan itu.
***
Aslan baru tiba di ruang perjamuan itu. Kedua manik matanya menyapu seisi ruangan. Pandangannya beralih pada sebuah makanan kesukaannya. Ia lantas mendekat ke arah meja makan yang letaknya di tengah-tengah para bangsawan. Tak sedikit para bangsawan yang memperhatikan dirinya dengan tajam. Tentu ia tak peduli.
Saat Aslan hendak mengambil piring, namun sebuah tangan menahannya. Hal itu sontak membuat Aslan menolehkan kepala— ia mendapati Edgar yang berdiri tepat di sampingnya.
"Mau apa kamu?" tanyanya sarkas.
Aslan tak berniat menjawab. Sebab, tanpa ia menjawab pun Edgar tentu tahu apa tujuannya mengambil piring itu.
"Kamu itu nggak diundang ke perjamuan. Harusnya tempat kamu itu bukan di sini!" lanjutnya.
"Lalu di mana tempat yang tepat untukku, Duke?" tanya Aslan dengan nada bicara santai.
Edgar mendengus kasar. Mengapa Aslan baru menanyakan itu sekarang? Apakah pria tersebut sama sekali tak menyadari akan ketidakpantasannya berada di sini?
"Sebenarnya tak ada tempat yang pantas untukmu. Tapi kalau aku menyarankan, lebih baik pergilah ke tempat rakyat bawah."
Usai mendengarkan penuturan Edgar, Aslan hanya terdiam mengatupkan bibir rapat. Perkataan yang cukup membuat ia terhina, namun dirinya tak ingin mempermasalahkan.
Edgar lantas melenggang pergi meninggalkan Aslan yang masih mematung di tempat.
"Dasar, dia benar-benar tidak punya malu," gumam Edgar yang berjalan menjauh dari Aslan. Namun seberapa jauh pria itu melangkah, Aslan masih dapat mendengar gumaman suaranya.
"Aslan? Makanlah!" Seorang Mariana tiba-tiba berdiri tepat di samping Aslan—menggantikan posisi Edgar sesaat yang lalu.
Aslan masih berekspresi datar. Ia sama sekali tak berniat membalas perkataan Mariana.
"Aslan? Kau mendengarkanku?" tanya Mariana sebab tak mendapati respon apapun dari Aslan.
Sebuah gelengan pelan akhirnya Aslan tujukan untuk seorang Duchess berparas cantik rupawan itu. "Hormat, Duchess. Aku pamit dulu," ujarnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Mariana.
Aslan pun melangkahkan kaki ke dalam ruangan yang biasanya para Ksatria buat untuk berlatih. Tujuan Aslan hanya sederhana, ia ingin menyendiri, tanpa ada sesiapa pun yang mengacaukan harinya.
Namun, sekelebat sihir berwarna merah hampir mengenai tubuhnya jika dirinya tidak secepat kilat menghindar. Aslan menoleh, melihat sosok Edgar yang dengan sombongnya mengeluarkan sebuah seringai memuakkan.
"Cepat juga cara menghindarmu. Apa kamu mau bertarung denganku di sini?"
Aslan menatapnya heran, "Bertarung? Untuk apa?"
Edgar hanya menghendikkan bahunya angkuh, "Tak apa. Aku hanya ingin melihat seberapa hebat dirimu sampai Wingston memberikan ijin secara terang-terangan buat kamu tinggal di Kerajaan ini."
Aslan paling malas jika disuruh untuk melayani pria seperti Edgar. Dirinya hanya ingin hidup dengan tenang di Kerajaan. Namun, ada banyak sekali rintangan bagi dirinya.
"Maaf, Duke. Tapi aku tidak sekuat dirimu."
"Benarkah begitu? Kalau begitu, bertarung lah dengan Ksatria. Mungkin kamu bisa membantainya?"
Aslan semakin tak nyaman dengan cara bicara Edgar—meskipun pada kenyataan situasi seperti ini selalu ia dapatkan. Mungkin, sehari saja Edgar tak bisa mengabaikan Aslan. Pria itu selalu memberikan kesan tak nyaman, berharap agar Aslan sadar dan pergi segera meninggalkan Kerajaan.
"Maaf, aku tidak bisa, Duke," ujar Aslan merendah.
Merasa tidak direspon dengan baik oleh Aslan, Edgar pun hendak memulai perkelahian. Sebuah pedang warna biru tiba-tiba menyala—muncul dari tangan kirinya. Pedang tersebut hendak ia todongkan pada tubuh Aslan, namun suara seorang pria membuat Edgar mengurungkan niat. Pedang yang semula di genggamnya, kini hilang dalam sekejap mata.
"Edgar? Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Damian membuat perhatian Aslan serta Edgar beralih padanya.
Damian telah memasuki ruangan. Pria yang bertubuh tinggi namun badan tak terlalu besar itu berjalan mendekati kedua pria yang hampir berkelahi, dengan catatan jika Aslan menuruti Edgar.
"Tidak ada. Kenapa?"
Raut wajah Edgar berubah menjadi santai dan ringan dari sebelumnya.
"Duke Albert memanggilmu. Katanya acara penutupan akan segera dimulai," ujar Damian.
Edgar pun mengangguk paham, "Baiklah. Terima kasih."
Sepeninggalan Edgar, Damian lantas beralih menatap Aslan yang sedari tadi terus mengatupkan bibir rapat. Pria itu tanpa permisi tiba-tiba terkekeh kecil—membuat Aslan terheran karenanya.
"Aslan, Aslan.... Harusnya kamu sanggupi saja Edgar tadi. Sekali-sekali Edgar harus diberi pelajaran."
Aslan tak terlalu paham akan penuturan Damian, "Maksud Duke apa?"
"Aku tau kalau kamu sudah memusnahkan bangsawan yang hampir mengambil pedang Artois kemarin, Aslan."
To be continue~
Aslan membulatkan mata—terkejut mendengar penuturan Damian. Wajahnya yang semula tak berekspresi sama sekali, kini tengah mengeluarkan keringat dingin hingga tercetak jelas di tepian keningnya. "T-tidak. Bukan aku yang melakukannya," elak Aslan. Damian menggelengkan kepalanya berulang kali sembari melipat tangannya di depan dada. Bangsawan pria itu perlahan mendekati Aslan, lalu membisikkan sesuatu tepat di samping telinga kanan Aslan, "Aku telah menaruh curiga padamu, Aslan." "Curiga?" ulang Aslan tak paham akan maksud perkataan Damian. Damian hanya menghendikkan bahu acuh, lalu dirinya pergi begitu saja meninggalkan Aslan yang masih bergulat dalam pemikirannya. Hingga pada akhirnya, Aslan memutuskan untuk ikut melenggang pergi. Ia ingin keluar kerajaan dan akan menelusuri hutan seperti halnya para Ksatria yang terkadang berlatih di tengah-tengah tempat penuh pepohonan itu. Pria itu pun melesat cepat, dan hanya membutuhkan beberapa menit saja ia telah sampai di tengah hutan
Sepulang dari kegiatan berburunya, Aslan tidak menyadari bahwa sedari tadi Edgar menunggu dirinya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Pedang yang telah keluar dari tempatnya semula itu mulai menodong ke depan, dan hal itu sontak membuat Aslan menghentikan laju lariannya. "Sini kau, Aslan! Aku tidak menyangka kalau dirimu malah keluar dan menggoda Mariana di hutan!" Bukan Edgar yang berteriak, melainkan Albert tengah mengambil paksa pedang yang tadi dibawa oleh Edgar. Aslan yang tak paham akan maksudnya pun menaikkan satu alis terheran. "Maksud Duke?" "Jangan pura-pura tidak tau, dasar pria rendahan! Mau berlagak dengan wajah sok tampanmu itu? Cih," kata Albert diimbuhi sebuah decihan kecil pada kalimat terakhir yang diucapkannya. "Maaf, tapi aku tak pernah menggoda Duchess. Sekali pun tak pernah," elak Aslan apa adanya. "Tidak usah banyak alasan, Aslan. Aku menantangmu bertarung hari ini!" Kegiatan mereka di aula itu disaksikan oleh banyak saksi mata. Ada banyak yang terkej
Semenjak adanya pengumuman yang disampaikan langsung oleh Albert itu, para Ksatria mulai berlatih lebih giat lagi agar mereka bisa naik tahta satu tingkat menjadi seorang Count dan mencapai puncak untuk memakai pakaian yang melambangkan seorang bangsawan. Aslan hanya duduk di pojok aula ruang latihan para Ksatria sembari mengusap pedangnya dengan kain lap agar lebih mengkilap. Seorang Ksatria menjumpai Aslan, ia menghentikan aktivitas berlatih nya lantas mendekati Aslan yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. "Kau tak berlatih?" tanyanya tiba-tiba yang telah berdiri di hadapan Aslan. Aslan yang masih duduk pun mendongak, menatap sosok pria dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. "Aku?" ulang Aslan lagi sebab tak percaya ada yang bertanya demikian padanya. Ksatria itu mengangguk, ia kemudian ikut duduk dan menyelonjorkan kakinya di samping Aslan. Sementara Aslan malah mengerutkan kening, pria tak dikenalnya itu tiba-tiba membuat Aslan terheran akan sikapnya. "Kalau kam
"Yang namanya disebut, silahkan maju ke depan!" Albert mulai mengarahkan sihir ke arah bola merah tersebut, dan keluarkan secarik kertas yang kemungkinan besar berisi nama-nama bangsawan yang terpilih. Sang Duke itu berdeham singkat, "Bola ini sudah menyeleksi tiap bangsawan yang terpilih. Jadi, mungkin tak kan ada yang namanya pertandingan lagi. Kalian yang namanya tercantum di sini, akan langsung masuk kategori untuk melawan kerajaan Jovanka nanti, dan seperti janji kemarin akan aku nobatkan kalian naik tahta." Lagi-lagi Albert mengatakan kalimat yang cukup untuk membuat sebagian bangsawan syok. Ini bukanlah jalan alur cerita yang di ekspektasikan oleh bangsawan, seperti Ksatria, yang ingin naik tahta. Ini seperti sulap yang kebetulan beradu dengan nasib. Dan Aslan tak tahu, apakah nasibnya akan baik atau buruk hari ini. "Di sini hanya tercantum nama dua puluh bangsawan yang sudah terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama..... " Tak bisa dipungkiri, Aslan sungguh tak te
"Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b
Angela sedari tadi menatap ke arah Johnny, seorang Baron yang sungguh tampan, melebihi ketampanan Albert. Sementara Felco hanya berekspresi datar, sama halnya dengan Peter yang sedari tadi mengatupkan bibir rapat. Sampai pada akhirnya Johnny pun memulai percakapan di kelompok lima itu."Aku yang akan memimpin." Tanpa rasa ragu, Johnny mengatakan kalimat tersebut dengan lantang.Peter menoleh, "Bukankah Baron Felco lebih pantas?"Angela pun menyahuti. Sembari menggelengkan kepala tak setuju, ia menolak tegas ucapan Peter, "No! Baron Felco itu sudah berumur, tak mungkin kekuatannya masih sama seperti kita.""Bukankah dia lebih berpengalaman dari pada kita?" Peter lagi-lagi membantah.Terlihat Johnny yang menghela napasnya, "Tak semua orang tua itu berpengalaman. Lihatlah Duke Edgar, dia masih muda tapi sudah menjadi tangan kanan Lord."Kini Peter tertawa remeh mendengar penuturan Johnny. "Cih, siapa yang kau panggil dengan se
Aslan tak begitu yakin dengan rencana yang Johnny buat. Tiga hari lagi menuju hari dimana pertempuran akan dimulai. Meskipun begitu, Aslan tetap harus menghargai apa yang direncanakan oleh Baron itu.Di saat bersamaan, muncullah beberapa Duke bersama dengan Albert dan Edgar. Semua yang berada di ruang khusus pun menoleh ke arah bangsawan berkedudukan tinggi itu. Aslan juga melihat adanya Shelly di sana."Perhatian! Lima Duke ini yang akan menjadi pengampu kalian di tiap kelompok. Saya serahkan pada setiap Duke untuk memilih kelompok yang diinginkan." Edgar memberi pengarahan pada lima orang Duke yang berdiri berdampingan.Shelly menyeringai, lantas secepat kilat ia milih kelompok lima untuk menjadi bawahannya. Gadis itu memposisikan dirinya duduk di samping Aslan yang sedari tadi hanya terdiam. Sebuah bisikan pun keluar dari mulut gadis itu, "Kau harus patuh padaku, Aslan!"Aslan me
Shelly menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan. Akan ada kendaraan yang membawa kalian ke sana. Dan setiap kendaraan ditentukan dari nama kelompok yang kalian tetapkan. Aku juga tidak tahu mengapa Duke Albert membuat peraturan seperti itu. Bisa jadi itu meringankan kalian buat sampai ke sana, atau malah itu bisa jadi tantangan buat kalian sampai ke sana.”“Kenapa Duke Albert melakukan itu pada kita?” Angela terkejut mendengar penuturan Shelly. “Aku tidak terima kalau gara-gara kendaraan kita jadi kesusahan buat sampai ke sana.”“Sudahlah. Sebaiknya tetapkan dulu nama kelompok kita. Mungkin, nama kelompok memang bisa mempermudah kita saat melakukan misi nanti. Kita bisa bertelepati jika jarak kita sama-sama berjauhan,” ujar Johnny yang bisa diterima oleh akal sehat.Shelly melirik ke arah Aslan yang ternyata menampilkan mimik wajah serius. Mimik wajah itu baru pertama kali Shelly lihat. Shelly berpikir, apakah Aslan s