Suara rintihan kesakitan terdengar jelas di sebuah ruangan berdiameter panjang terisi penuh oleh sosok-sosok kaum bangsawan yang tengah menyaksikan sebuah pertunjukkan malam itu. Seorang pria yang dituduh sebagai penghianat kerajaan sedang merintih kesakitan sebab Ksatria melayangkan beberapa tusukan pedang pada tubuh pria itu.
Seorang Duke—kaum bangsawan bergelar tinggi dalam kerjaan itu sedang duduk di sebuah tempat duduk khusus yang telah dipersiapkan untuknya dan juga untuk Duchess—istri seorang Duke.
“Berani-beraninya mengkhianati Duke!” teriak seorang Baron—atau yang sering disebut ‘Orang bebas’ dalam kerjaan itu, berdiri menyaksikan pemandangan menyegarkan di depannya.
“Usir saja dia dari Kerajaan! Kalau bisa, suruh dia tinggal dengan manusia kalangan bawah. Jangan sampai dia merusak reputasi Kerajaan Wealton!” imbuh seorang Baroness—pasangan dari beberapa Baron.
Albert, sang Duke hanya terdiam lalu menyeruput sebuah minuman warna ungu sembari mendengar dan terus menyaksikan bagaimana seorang penghianat itu dihukum. Meskipun banyak sekali Duke di kerajaan itu, namun kedudukan Albert paling tinggi diantara kaum bangsawan lainnya. Albert bahkan hampir memiliki gelar Lord, tapi ia masih belum semua kriteri, yakni memiliki kekuatan mengendalikan jiwa.
“A-ampun, Duke. Aku mengaku salah, tolong jangan siksa aku seperti ini. Kalau aku terus-terusan di tusuk seperti ini, kekuatan perlindunganku akan hilang perlahan-lahan,” ucap pria itu memohon.
“Aku akan selalu hormat padamu, Duke. Asal jangan kirim aku ke dunia manusia,” lanjutnya.
Sringgg....
“Arrghh...”
Darah segar kembali keluar dari tubuh pria itu. Darah yang sangat banyak itu membuat lantai-lantai ruangan sedikit kotor karenanya. “Aku serahkan keputusan pada Duke Edgar,” ucap Duke yang lalu menghilang seketika bersama dengan Duchess, sang Istri.
Edgar Morfin, pria tangan kanan Albert yang semula hanya berdiri diam menyaksikan, kini mengambil alih apa yang telah ditugaskan pada dirinya. Hanya dalam satu tepukan tangan, pria itu sudah mengambil keputusan yang menurutnya tepat.
Pria yang juga memiliki gelar sebagai seorang Duke itu melangkahkan kaki mendekati pria yang tengah sekarat dengan darah segarnya yang terus mengucur keluar. Ia mengangkat satu tangannya sebagai kode untuk para Ksatria agar berhenti membuat pria itu kesakitan. Pria itu masih bisa bernapas. Bahkan dia masih bisa mengenali wajah seseorang yang berdiri tepat di depannya.
“My Duke...” lirihnya.
“Yosefus, aku ada dua pilihan untuk dirimu. Kamu yang kukirim ke dunia manusia, atau kamu yang kubunuh saat ini juga?”
Pria yang dipanggil Yosefus itu telah putus asa. Akhirnya ia menjawab, “Tolong bunuh aku dengan hormat, Duke.”
Hanya dalam hitungan detik, tubuh Yosefus hancur menjadi kepulan abu hanya dengan satu tepukan tangan dari Edgar. Betapa kuatnya seorang Count itu. “Tak ada kata hormat untuk seorang penghianat,” ujar Edgar.
Di lain tempat, seorang pria menatap kejadian itu dari jarak yang cukup jauh. Dia berdiri di belakang barisan para Ksatria lain yang juga ikut menyaksikan kegiatan penghukuman itu. Mata elang menusuknya itu mengarah pada sosok Edgar yang diberi tepuk tangan oleh beberapa kaum bangsawan lain sebab pemikirannya yang bijak dalam mengambil keputusan.
“Aslan! Duchess memanggilmu! Dia memintamu untuk segera ke ruangannya.”
Count, seseorang yang memiliki gelar dibawah Duke itu tiba-tiba datang dari belakang pria yang tak lain bernama Aslan. Tanpa banyak bertanya, Aslan langsung melesat pergi untuk menemui istri sang Duke itu.
Aslan memasuki sebuah ruangan khusus yang tidak sembarang kaum bangsawan bisa masuk ke sana. Ruangan itu khusus Duke sediakan untuk sang Istri. Aslan bukanlah pria yang bertipe pemikir. Jadi, tanpa rasa penasaran maupun rasa cemas, ia langsung memasuki ruangan itu begitu saja.
Ketika pintu terbuka, ia terkejut melihat Duchess yang berpakaian tidak seperti biasanya. Pakaian itu cukup terbuka menurut Aslan, bahkan sangat terbuka. Aslan hanya menundukkan kepalanya hormat.
“Hormat, Duchess. Apa yang membuatmu memanggilku?” tanya Aslan dengan sopan santunnya.
Duchess itu tersenyum lalu mendekati Aslan. Aslan masih tetap diam dengan tatapan datarnya. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan oleh Aslan.
“Aslan Forbidden, putra dari seorang Lord terdahulu yang telah lama meninggal karena tuduhan penghianatan dan hanya memberi peninggalan secuil tanah Kerajaan, kenapa kamu berani sekali masuk ke dalam ruang khususku?” tanyanya dengan tatapannya yang mulai aktif memperhatikan setiap lekukan wajah tampan Aslan.
Aslan bahkan tidak menatap wajah Duchess itu sama sekali. Meskipun banyak sekali kaum bangsawan yang mengatakan bahwa Duchess itu sangat cantik, namun Aslan tetap tidak merasa tertarik. “Maaf, Duchess. Saya hanya mematuhi perintah yang telah disampaikan oleh Count,” jawab Aslan dengan tatapannya lurus ke depan.
Duchess itu menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Aslan. Hal itu mau tak mau membuat pandangan Aslan beralih menatap wanita yang memiliki postur tubuh lebih pendek darinya.
“Ssstt... Panggil saja aku Mariana. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu inginkan jika di sini. Bahkan... “ Duchess itu menggantungkan ucapannya. Kakinya sedikit berjinjit agar bisa membisikkan sesuatu tepat di telinga kanan Aslan. “Bahkan... Kamu bisa menemaniku minum saat ini juga,” lanjutnya dengan nada bicara aneh.
Aslan masih tetap saja datar. Ia memundurkan satu langkahnya lalu menunduk hormat kembali. “Hormat, Duchess Mariana. Maaf, saya tidak ingin menjadi penghianat. Jika tidak ada keperluan lainnya, saya akan pergi dari sini sekarang juga,” tutur Aslan tak mengurangi rasa hormatnya sama sekali.
Duchess yang bernama Mariana itu menatap punggung tegap Aslan yang semakin menjauh dari penglihatannya. Wanita itu bergumam, “Aslan Forbidden, tak akan ada yang berubah padamu. Kamu tetap orang rendahan, dan selamanya akan jadi orang rendahan di sini.”
***
Bruk...
Aslan tidak sengaja menabrak seorang pria paruh baya yang memakai pakaian serba hitam dengan sebuah pedang yang terbungkus di tangan kirinya. Aslan menunduk hormat kembali dan meminta maaf atas perbuatannya. “Hormat, Duke. Maaf saya tidak sengaja.”
Seorang Duke itu mengangguk sembari menunjukkan senyum lebarnya hingga menampilkan gigi putihnya yang berderet rapi. Ia menatap keadaan sekeliling, lalu ia mengernyitkan dahinya ketika mengetahui Aslan yang baru saja keluar dari ruangan khusus Duchess.
“Apa yang kamu lakukan di kamar Duchess, Aslan?” tanya pria itu membuat Aslan terdiam sejenak.
“Atas perintah Duchess, Duke.” Jawabnya singkat.
Aslan sangat menghormati seorang Duke yang mengajaknya berbicara itu. Dia merupakan kaum bangsawan yang sedikit berbeda dari kaum bangsawan lainnya. Ya, mungkin perbedaan khusus dalam memperlakukan Aslan.
“Mau berlatih denganku, Aslan?” tawar pria itu. “Aku baru saja mengambil pedang Taejo-ku, dan belum pernah mencobanya. Maukah kamu menemaniku mencobanya?” tawarnya lagi.
Raut wajah Aslan masih tetap datar. Kemudian ia mengangguk perlahan sebagai jawaban, “Dengan segala hormat, Paman Damian.”
Pria yang dipanggil Paman Damian oleh Aslan itu tersenyum singkat lalu menepuk pelan pundak kiri Aslan. “Cuma kamu yang berani sebut saya seperti itu. Mari, kita ke ruang percobaan.”
To be continue~Seorang pria dengan memakai sebuah baju putih dengan kerah yang terpasang sebuah pita warna senada itu berjalan seorang diri menyusuri wilayah kerajaan. Lebih tepatnya, saat ini pria itu tengah menatap para Ksatria sedang berlatih kekuatan pedang mereka.Edgar, seorang Duke itu mengamati beberapa Ksatria dari pinggir ruangan dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada. Di tengah-tengah Ksatria itu, terdapat Aslan yang juga ikut berlatih dengan pedang kerajaan. Aslan memang tidak mempunyai pedang seperti halnya Ksatria lainnya. Ya, Aslan, entah apa posisi yang tepat untuk dirinya di kerjaan Wealton.“Bukankah putra Armor sangat hebat memainkan pedang itu, Edgar?” celetuk seorang pria yang tengah mensejajarkan diri di samping Edgar. Pria itu menatap Aslan yang sedang berlatih di tengah sana bersama dengan Ksatria lainnya.Edgar menolehkan kepalanya, menatap seseorang yang berdiri tepat di samping kanannya. Ia kemudian mendengus kecil, l
“Apa yang kau lakukan di sini, Aslan?” Ternyata Damian yang membuka pintu ruangan itu. Pria itu menunjukkan raut wajah bingung ketika tiga pria yang tak dikenalnya hilang dalam sekejap mata saat ia membuka pintu dan bersuara. Aslan berdehem, ia kemudian turun dari sana dan berjalan di karpet merah seperti yang dilakukannya tadi. Ia berjalan mendekati Damian. “Siapa pria tadi Aslan? Apa dia penyusup? Lalu... “ Damian memicingkan matanya, menatap selidik ke arah Aslan. “Aku tidak tahu siapa mereka. Namun, mereka tadi ingin mengambil pedang Artois milik Duke terdahulu,” ujar Aslan sebelum Damian melanjutkan ucapannya. Damian membuka mulutnya karena terkejut. Bola matanya pun sedikit melebar setelah mendengar penuturan Aslan. “L-lalu... Apa kamu yang sudah menghalangi mereka? Apa kamu yang sudah menyelamatkan pedang Artois ini?” Aslan hanya diam tak menjawab. Diamnya Aslan itu dapat Damian mengerti. Damian tahu, Aslan memang bukan pria yang dapat diremehkan. Meskipun banyak sekali kal
"Kemana saja kau, Mariana? Aku hampir tidak menemukanmu malam ini. Apa saja yang sudah kau lakukan?" Mariana hanya menatap malas ke arah Albert yang sedang menunjukkan sedikit kilatan amarah padanya. "Ck, aku hanya berjalan-jalan mencari udara segar, Albert. Bukankah cara bicaramu padaku terlalu berlebihan?" Mariana berdecak malas menanggapi suaminya. Albert menghela napasnya lalu memposisikan dirinya duduk di samping istrinya itu, "Maaf, aku hanya mengkhawatirkan mu." Mariana pun mengangguk pelan setelah mendapat permintaan maaf dari Albert. "Bagaimana acara tadi? Apakah berjalan lancar sesuai rencana?" tanya Mariana. "Ya, tentu. Sesuai rencana sebab Aslan juga tidak ikut merayakannya," ucap Albert disertai senyum kebanggaannya. "Aish, mau sampai berapa lama kamu akan membenci Aslan, Albert? Apakah selama ini dia pernah berbuat kesalahan pada kita? Tidak, bukan?" Ucapan Mariana sontak membuat Albert menatapnya dengan tajam, "Bisa-bisanya kamu membela anak pengkhianat s
Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. "Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. "Ya, Edgar? Kenapa?" Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. "Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja." Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Win
Aslan membulatkan mata—terkejut mendengar penuturan Damian. Wajahnya yang semula tak berekspresi sama sekali, kini tengah mengeluarkan keringat dingin hingga tercetak jelas di tepian keningnya. "T-tidak. Bukan aku yang melakukannya," elak Aslan. Damian menggelengkan kepalanya berulang kali sembari melipat tangannya di depan dada. Bangsawan pria itu perlahan mendekati Aslan, lalu membisikkan sesuatu tepat di samping telinga kanan Aslan, "Aku telah menaruh curiga padamu, Aslan." "Curiga?" ulang Aslan tak paham akan maksud perkataan Damian. Damian hanya menghendikkan bahu acuh, lalu dirinya pergi begitu saja meninggalkan Aslan yang masih bergulat dalam pemikirannya. Hingga pada akhirnya, Aslan memutuskan untuk ikut melenggang pergi. Ia ingin keluar kerajaan dan akan menelusuri hutan seperti halnya para Ksatria yang terkadang berlatih di tengah-tengah tempat penuh pepohonan itu. Pria itu pun melesat cepat, dan hanya membutuhkan beberapa menit saja ia telah sampai di tengah hutan
Sepulang dari kegiatan berburunya, Aslan tidak menyadari bahwa sedari tadi Edgar menunggu dirinya dengan raut wajah yang tak bersahabat. Pedang yang telah keluar dari tempatnya semula itu mulai menodong ke depan, dan hal itu sontak membuat Aslan menghentikan laju lariannya. "Sini kau, Aslan! Aku tidak menyangka kalau dirimu malah keluar dan menggoda Mariana di hutan!" Bukan Edgar yang berteriak, melainkan Albert tengah mengambil paksa pedang yang tadi dibawa oleh Edgar. Aslan yang tak paham akan maksudnya pun menaikkan satu alis terheran. "Maksud Duke?" "Jangan pura-pura tidak tau, dasar pria rendahan! Mau berlagak dengan wajah sok tampanmu itu? Cih," kata Albert diimbuhi sebuah decihan kecil pada kalimat terakhir yang diucapkannya. "Maaf, tapi aku tak pernah menggoda Duchess. Sekali pun tak pernah," elak Aslan apa adanya. "Tidak usah banyak alasan, Aslan. Aku menantangmu bertarung hari ini!" Kegiatan mereka di aula itu disaksikan oleh banyak saksi mata. Ada banyak yang terkej
Semenjak adanya pengumuman yang disampaikan langsung oleh Albert itu, para Ksatria mulai berlatih lebih giat lagi agar mereka bisa naik tahta satu tingkat menjadi seorang Count dan mencapai puncak untuk memakai pakaian yang melambangkan seorang bangsawan. Aslan hanya duduk di pojok aula ruang latihan para Ksatria sembari mengusap pedangnya dengan kain lap agar lebih mengkilap. Seorang Ksatria menjumpai Aslan, ia menghentikan aktivitas berlatih nya lantas mendekati Aslan yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. "Kau tak berlatih?" tanyanya tiba-tiba yang telah berdiri di hadapan Aslan. Aslan yang masih duduk pun mendongak, menatap sosok pria dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. "Aku?" ulang Aslan lagi sebab tak percaya ada yang bertanya demikian padanya. Ksatria itu mengangguk, ia kemudian ikut duduk dan menyelonjorkan kakinya di samping Aslan. Sementara Aslan malah mengerutkan kening, pria tak dikenalnya itu tiba-tiba membuat Aslan terheran akan sikapnya. "Kalau kam
"Yang namanya disebut, silahkan maju ke depan!" Albert mulai mengarahkan sihir ke arah bola merah tersebut, dan keluarkan secarik kertas yang kemungkinan besar berisi nama-nama bangsawan yang terpilih. Sang Duke itu berdeham singkat, "Bola ini sudah menyeleksi tiap bangsawan yang terpilih. Jadi, mungkin tak kan ada yang namanya pertandingan lagi. Kalian yang namanya tercantum di sini, akan langsung masuk kategori untuk melawan kerajaan Jovanka nanti, dan seperti janji kemarin akan aku nobatkan kalian naik tahta." Lagi-lagi Albert mengatakan kalimat yang cukup untuk membuat sebagian bangsawan syok. Ini bukanlah jalan alur cerita yang di ekspektasikan oleh bangsawan, seperti Ksatria, yang ingin naik tahta. Ini seperti sulap yang kebetulan beradu dengan nasib. Dan Aslan tak tahu, apakah nasibnya akan baik atau buruk hari ini. "Di sini hanya tercantum nama dua puluh bangsawan yang sudah terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama..... " Tak bisa dipungkiri, Aslan sungguh tak te