Dokter mengijinkan aku pulang karena kondisiku sudah membaik. Tapi bayiku masih harus tinggal di rumah sakit. Karena dia masih harus di dalam inkubator dengan alat medis terhubung di tubuh mungilnya. "Aku mau kembali ke asrama kantor, Mas!" pintaku begitu masuk di dalam mobil. "Memangnya kamu masih ingin bekerja di kantor? Dan kamu yakin anak kita akan kamu tinggal bekerja?" tanya Reza yang keberatan dengan keputusanku. "Aku tidak mau kembali ke rumah kita," kataku tegas. "Walaupun Arjun dan Diana sudah pergi dari sana?" sahutnya. "Apa mereka sudah pergi?" sahutku balik bertanya. "Iya, bahkan dia pamit kepadamu saat kamu tak sadar kemarin." "Dia datang ke rumah sakit kan?" tanyaku meyakinkan. "Iya." Reza menjawab dengan tegas, hancur sekali hatiku. Mendengar Arjun benar-benar pergi dari hidupku. Apalagi perginya bersama Diana otomatis dia lebih memilih Diana dibanding aku dan anaknya. Aku tidak menyangka kemarahanku yang hanya di bibir benar-benar ditanggapi serius oleh Arjun
Aku melajukan mobilku dengan kencang menuju rumah sakit. Aku ingin bertemu Arjun, dan membujuknya agar mau kembali ke sisiku. Ternyata baru kusadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku harus mengatakan ini juga kepada Mas Reza agar dia tahu perasaanku sebenarnya. Aku berlari melewati lorong menuju ruang bersalin dan ruang bayi. Mataku mencari-cari dimanakah Arjun dan Reza janji bertemu? Oh ternyata dia melihat baby di dalam ruang bayi. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh takut mereka melihatku. Kini mereka berdua keluar dan duduk di bangku taman depan ruang bayi. Perlahan aku berjalan mengendap-endap mendekatinya. Sengaja aku ingin menguping pembicaraan mereka. "Kenapa kamu harus resign, Arjun?" tanya Reza singkat. "Selamanya kita berempat tidak akan bahagia, Bos. Ini berat bagi kita berempat, semua saling menyakiti dan tersakiti," gumam Arjun. Hatiku berdesir mendengarnya, aku bisa mengerti situasi yang sedang diungkapkan oleh Arjun. Tapi aku semakin takut Arjun mengambil k
Teriakanku memanggil namanya ternyata menghentikan langkahnya meskipun dia tidak sedikitpun menoleh ke arahku."Iya aku tahu, kamu bisa pergi begitu saja meninggalkan aku. Karena cintamu tidak sebesar dan sedalam cintaku padamu. Tidakkah kamu ingin mengucapkan selamat tinggal kepadaku?" tanyaku di sela isak tangisku."Maafkan aku, Zhee! Aku harus ke Canada, mamaku sakit keras," ujarnya tidak berani menatap wajahku."Pergilah, tapi ada syaratnya! Beri aku waktu satu hari saja untuk bersamamu, Arjun!" kataku mengajukan.Perlahan Arjun membalikkan badannya menatap aku kemudian Reza. Aku melirik Reza yang mengangguk pelan ke arah Arjuna.Akhirnya Arjun berjalan pelan dan ragu untuk menghampiriku. Hatiku berdebar kencang, aroma parfum maskulin Arjun sangat menyengat hidung menantang gairahku untuk menghamburkan tubuhku dalam dekapannya. Sayang ada Reza diantara kami sehingga aku dan Arjun berusaha menjaga perasaannya."Apa maksudmu?" tanya Arjun memperjelas."Buatlah kenangan terakhir den
Sesaat Arjun menatapku iba, matanya penuh dengan air bening yang menggenang. "Bawalah aku ke Canada, Arjun!" pintaku lagi. "Jangan, Zhee, kamu harus merawat anak kita juga Nayna. Apa yang bisa kamu harapkan dari hubungan ini, Zhee? Kembalilah kepada Bos Reza, sayangilah anak-anak kita," pesan Arjun. "Itu artinya kamu tidak akan kembali kepadaku lagi? Kamu bisa? Kamu tega, Arjun!" runtukku kecewa. "Aku sudah berjanji kepada Diana tidak memilih salah satu diantara kalian," ungkap Arjun. "Jadi kamu sejahat itu kepadaku juga anak kita, Arjun?" pekikku. "Diantara kita ada anak, Arjun, beda dengan Diana," bantahku. "Maafkan aku, Zhee!" Ucap Arjun lirih. Air mataku tidak terbendung lagi, meleleh seiring dengan luka yang perih di hatiku. Seolah menahan perasaannya Arjun mengalihkan konsentrasinya dengan mencuci tangannya kemudian mulai memasak. Aku hanya diam tertegun menunggu dia yang sudah mulai memotong daging dan sayur. Sesekali Arjun menatapku intens tapi aku pura-pura tidak menya
"Ke Panti Asuhan Pelita Harapan, Pak!" kataku kepada sopir taksi setelah aku duduk di bangku belakang. "Baik, Nyonya," jawabnya kemudian melajukan mobilnya. Satu jam perjalanan akhirnya aku sampai di tujuan. Aku melihat Nayna sedang bermain boneka di ruang tengah bersama anak-anak yang lain. "Mamaaaa!" teriaknya menghampiriku setelah dia melihat kehadiranku. Kami pun saling berpelukan, hatiku begitu sakit terbayang saat bayi mungil yang merah aku membuangnya di panti asuhan. Saat kasih sayang yang harusnya kucurahkan kepadanya terbuang percuma untuk mengurus kebahagiaanku sendiri. Aku merasa berdosa atas kekejaman sikapku saat itu. "Mama kangen, Sayang!" bisikku terasa tersekat di kerongkonganku. "Nayna juga kangen, Ma. Mana Papa Reza, Ma?" tanyanya kemudian. Sontak bayanganku terpaku pada wajah Mas Reza yang tenang dan kebapakan. Apa yang sudah kulalui terlanjur jauh melangkah, butuh waktu untuk kembali baik-baik saja. "Kamu telepon papa ya, nih!" usulku sambil menyerahkan
Aku menyambar kontak mobil Mas Reza di atas nakas dan bergegas pergi. Tidak sabar menunggu Mas Reza yang masih mentelengin berita di televisi."Zheeee!" teriaknya sambil berlari mengikutiku.Reza lansung merebut kontak dan membukakan pintu mobil untukku. Kemudian berlari ke bangku kemudi."Kita kemana, Zhee?" tanya Mas Reza masih pasrah."Ke bandara, Mas, aku ingin mendengarkan langsung kabar terbarunya dari bandara.""Apa dengan ini bisa membantu meringankan perasaanmu?" tanya Mas Reza pelan. "Semua sudah jelas Arjun termasuk penumpang di pesawat itu," lanjutnya.Aku diam tidak merespon kata-kata Mas Reza, bibirku terasa terkunci dan berat. Hanya air mata yang terasa terus meleleh. Aku melirik Mas Reza yang menatapku intens kemudian meremas tanganku yang menumpang di pahaku. Seolah dia memberi semangat dan menenangkan perasaanku. Harusnya aku bisa berpikir batapa beratnya di posisi Mas Reza, di depan matanya istrinya menangisi lelaki lain dengan histeris. Mobil sudah sampai di bandar
Pak Rodeo memimpin meeting pagi di ruangan kantorku. Tidak disangka Mas Reza tiba-tiba muncul dengan wajah ditekuk. Sontak Pak Rodeo terdiam saat Mas Reza berdiri di pintu dan semua pandangan tertuju padanya. "Pagi, Pak!" sapa kami hampir bersamaan. "Pagi, lanjutkan aku ingin tahu apa yang kalian bahas di meeting pagi kalian. Kenapa acara kemarin bisa amburadol seperti itu," ketus Mas Reza. "Karena mis komunikasi saja, Pak," sahutku spontan. "Apa? Cuma mis komunikasi? Bisa-bisanya kamu meremehkan komunikasi!" hardik Mas Reza kepadaku. Aku terperanjat, tidak mengira dia bisa berbicara sekasar itu kepadaku. Aku menunduk kecewa dan malu. "Lagi PMS kali, jangan diganggu, Mayang!" bisik Diah kepadaku. Aku teringat peristiwa semalam Mas Reza mengajak aku bermesraan, tapi aku menolaknya. Ini pasti sisa-sisa emosi semalam karena laharnya gagal meletus. Aku tidak mau berlarut-larut dalam kubangan dosa dengan melakukan hubungan intim dengan mantan suamiku. Sekali dua kali aku terpaksa mel
Aku masih tertegun menatap punggung lelaki itu yang mengingatkan aku kepada Arjun. Tidak menyadari ternyata Reza menyadarinya juga."Apa yang sedang kamu pikirkan? Dia bukan Arjun, Zhee. Fokuslah pada keadaan Abim jangan kemana-mana!" Mas Reza mengingatkan.Aku terhenyak dari lamunanku. Mas Reza menarik tanganku menuju ruang tunggu di depan ruang dimana Abim diperiksa. Dan tak berselang lama seorang dokter dan dua orang perawat keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Mas Reza panik."Untung dia tidak terlambat ditangani. Terlebih dia sudah mendapat donor darah yang tepat. Golongan darahnya sangat langka dan satu bulan lebih di bank darah kosong. Untung pasien mendapatkannya dengan mudah dari seseorang yang kebetulan menolong dan membawanya ke rumah sakit," ujar dokter."Iya, Dokter, saya bersyukur sekali," sahut Mas Reza."Anda sudah bertemu dengannya?""Sudah, Dokter," jawab Mas Reza."Harusnya anda meminta kontaknya, siapa tahu suatu saat anda membutuhkannya lagi," usul