Pak Rodeo memimpin meeting pagi di ruangan kantorku. Tidak disangka Mas Reza tiba-tiba muncul dengan wajah ditekuk. Sontak Pak Rodeo terdiam saat Mas Reza berdiri di pintu dan semua pandangan tertuju padanya. "Pagi, Pak!" sapa kami hampir bersamaan. "Pagi, lanjutkan aku ingin tahu apa yang kalian bahas di meeting pagi kalian. Kenapa acara kemarin bisa amburadol seperti itu," ketus Mas Reza. "Karena mis komunikasi saja, Pak," sahutku spontan. "Apa? Cuma mis komunikasi? Bisa-bisanya kamu meremehkan komunikasi!" hardik Mas Reza kepadaku. Aku terperanjat, tidak mengira dia bisa berbicara sekasar itu kepadaku. Aku menunduk kecewa dan malu. "Lagi PMS kali, jangan diganggu, Mayang!" bisik Diah kepadaku. Aku teringat peristiwa semalam Mas Reza mengajak aku bermesraan, tapi aku menolaknya. Ini pasti sisa-sisa emosi semalam karena laharnya gagal meletus. Aku tidak mau berlarut-larut dalam kubangan dosa dengan melakukan hubungan intim dengan mantan suamiku. Sekali dua kali aku terpaksa mel
Aku masih tertegun menatap punggung lelaki itu yang mengingatkan aku kepada Arjun. Tidak menyadari ternyata Reza menyadarinya juga."Apa yang sedang kamu pikirkan? Dia bukan Arjun, Zhee. Fokuslah pada keadaan Abim jangan kemana-mana!" Mas Reza mengingatkan.Aku terhenyak dari lamunanku. Mas Reza menarik tanganku menuju ruang tunggu di depan ruang dimana Abim diperiksa. Dan tak berselang lama seorang dokter dan dua orang perawat keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Mas Reza panik."Untung dia tidak terlambat ditangani. Terlebih dia sudah mendapat donor darah yang tepat. Golongan darahnya sangat langka dan satu bulan lebih di bank darah kosong. Untung pasien mendapatkannya dengan mudah dari seseorang yang kebetulan menolong dan membawanya ke rumah sakit," ujar dokter."Iya, Dokter, saya bersyukur sekali," sahut Mas Reza."Anda sudah bertemu dengannya?""Sudah, Dokter," jawab Mas Reza."Harusnya anda meminta kontaknya, siapa tahu suatu saat anda membutuhkannya lagi," usul
Aku dan Mas Reza saling berpandangan, aku menyerah seandainya sandiwara ini harus berakhir. Kami menutupinya sudah bertahun-tahun. Sudah tidak ada gunanya lagi aku bertahan tetap menutupinya. "Ayo dicoba kuenya, ini oleh-oleh dari mertuaku lo," ujarku mengalihkan konsentrasi mereka. "Kok suster memanggil dia Tuan, dan anakmu sepertinya dekat dengan pak Presdir ya?" tanya Diah. "Kamu salah dengar kali," sahutku. "Ayo dicoba ini kue khas Betawi," ujarku lagi mengalihkan pembicaraan. Tanpa sepatah katapun Mas Reza menitih tangga menuju kamar Abim. Sepertinya dia juga sudah pasrah karena kebahagiaan Abim lebih utama dibanding apapun. "Pak Presdir sepertinya sudah terbiasa ya di rumah kamu," gumam Lusy. "Iya, dia sudah pernah bertemu Abim sebelumnya," jawabku asal. Aku melihat mereka saling berpandangan sepertinya tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Setelah mereka menghabiskan minumannya akhirnya mereka pamit pulang. Mereka masih penasaran dengan Mas Reza yang masih betah bera
Aku masuk ke ruangan meeting, semua orang sudah berkumpul meskipun rapat belum dimulai. Pak Rodeo sudah duduk di kursinya untuk memimpin rapat. "Selamat pagi," sapaku. "Selamat pagi, masuklah, Mayang!" jawab Pak Rodeo. Semua mata tertuju kepadaku penuh curiga dan tanda tanya. Aku menunduk salah tingkah rasanya seperti sedang dikuliti. Apalagi situasi hatiku lagi hancur, bagaimanapun aku masih mencintai Mas Reza dan statusku masih istri sahnya. Kehadiran Putri yang sejauh itu ternyata menyakiti hatiku, rasa hancur karena cemburu. Baru aku menyadari betapa sebenarnya aku sangat mencintainya. Kenapa aku baru menyadarinya? Apa karena aku mulai bisa melupakan Arjun? "Pak Rodeo, saya ingin bertemu dengan Mayang sebentar. Ada yang perlu saya bahas dengannya," pamit Mas Reza yang berdiri di tengah pintu ruang rapat. "I ... Iya silakan, Pak Presdir!" kata Pak Rodeo gugup dan terbata-bata. "Bagaimana kalau nanti pas istirahat, Pak Presdir," jawabku pura-pura manis karena semua mata seolah
Arjun terpaku, dia tidak mengira aku akan senekat itu dengan memaksa membuka masker dan kacamatanya. Matanya mulai berkaca-kaca dan menatap sayu ke arahku. "Siapa gadis kecil yang bersamamu tadi? Apakah dia anak kamu bersama Diana? Apa diam-diam kamu kembali dan hidup bersamanya? Padahal dulu kamu berjanji tidak memilih salah satu diantara kita berdua, tapi ternyata ...?" gerutuku meluapkan kekesalanku kepadanya. Betapa selama ini aku tersiksa tercekam sakit karena cinta dan rindu. Arjun diam tanpa sepatah kata pun, hanya air matanya meleleh, bukankah aku yang tersakiti harusnya aku yang menangis tapi kenapa dia ikutan meruraian air mata. Dengan meluapkan rasa sakit dan benci aku mulai bereaksi. "Kenapa kau lakukan ini kepadaku, Arjun? Kenapa? Kamu lelaki brengsek sama hal Mas Reza!" ketusku berteriak. "Jadi kamu melihat kami bertiga?" tanyanya meyakinkan. "Zhee, anak kecil tadi Diana yang mengadopsinya dari panti asuhan. Dia tidak bisa memliki anak karena rahimnya harus diangkat.
"Om yang mana?" tanya Mas Reza terkejut."Itu," jawab Abim sambil menunjuk Arjun yang berdiri di taman agak jauh dari halaman sekolah.Mas Reza segera menengok dan mendapati Arjun yang spontan mengangguk sopan. "Kenapa aku merasa postur itu tidak asing bagiku," gumam Mas Reza."Dia om yang menolong aku waktu sakit kan, Pa?" tanya Abim meyakinkan."Iya, Sayang."Tiba-tiba Mas Reza menarik pundak Abim merangkul membawanya menghampiri Arjun. Hatiku berdebar-debar takut kalau Mas Reza bisa mengenalinya. Apalagi dia sudah menaruh curiga, maklumlah mereka tumbuh besar bersama sejak kecil."Kita mau kemana sih?" ceplos ku bertanya."Kita bertemu Juna sebentar, kenapa dia menemui Abim di sekolah, aku jadi penasaran?" ujarnya."Kenapa sih kamu jadi kepo, siapa tahu hanya kebetulan dia lewat di depan sekolah Abim," selaku mematahkan.Tanpa menjawab lagi dia dan Abim berjalan di depan ku melalui aku yang tertegun berdiri. Aku melihat Arjun yang menyambutnya dengan menganggukkan kepalanya. Dia m
"Ma, Abim mau pipis," pinta Abim manja. "Diantar papa ya? Soalnya Abim harus ke toilet pria," jawabku memberi pengertian. "Ya iyalah sama papa Abim kan lelaki," sahut Mas Reza. Akhirnya Abim menurut saat Mas Reza menuntunnya ke toilet. Mas Reza menggandengnya dengan manja dan sayang. Aku hanya menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Tit ... tit ... tit! Ponsel Mas Reza berbunyi tanda ada pesan masuk. Sekilas aku melirik dan ada notifikasi yang terbaca olehku. "Tolong antar aku periksa ke dokter kandungan, Pak..." Membaca notifikasi yang hanya sepenggal membuatku semakin penasaran. Akhirnya aku nekad meraih ponsel Mas Reza di atas meja. Ternyata layar ponselnya terkunci. Karena rasa penasaran yang besar membuat aku terus berusaha agar bisa membuka kuncinya. Berkali-kali mencoba dari tanggal lahir Mas Reza, Abim dan Nayna tapi belum juga kebuka. Dengan geram aku mencoba dengan asal tanggal lahirku justru langsung terbuka. Oh, ternyata betapa istimewanya aku di mata Mas Reza.
Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku membalas dengan bogem mentahku kepada wanita licik di depanku. Tapi tidak, bekas tamparan ini akan membantuku menunjukkan seperti apa sifat Putri sebenarnya. Agar Mas Reza berpikir ulang bila berhubungan lebih jauh dengannya. "Zhee, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mas Reza yang terkejut melihat aku. Aku terkejut tapi aku berusaha menenangkan hatiku agar tidak terkesan sebagai pendosa. Aneh memang kenapa aku ada di sini? Aku sengaja menutupi pipiku dengan kedua tanganku. Dengan meringis menahan kesakitan, ini sengaja aku lakukan untuk menunjukkan kepada Mas Reza agar mendapatkan simpatinya. "Kamu kenapa?" tanyanya penasaran sambil meraih tanganku. Aku membiarkan tangan Mas Reza menarik tanganku dan memeriksa pipiku. Dia tampak terperanjat dan memandang mataku tersirat banyak pertanyaan. Aku kenal sekali dengan Mas Reza dia tidak suka dengan banyak argumentasi yang berbelit-belit. Aku hanya diam dan menunjukkan bekas tamparan yang jelas