“Cuaca sedikit mendung, sebaiknya sedia pelindung sebelum hujan....”
Ting
Klik
“Perkenalkan teknologi yang akan memberikan kemudahan kepada manusia. Teknologi paling mutakhir yang ada di negeri ini....”
Helaan napas terdengar berat keluar dari pembauan seorang pemuda. Menggunakan tangan yang menggenggam sepotong roti panggang dengan olesan selai cokelat, pemuda itu masih memusatkan pandangan pada acara televisi. Setiap harinya penyiar berita selalu menggaungkan tentang perkembangan teknologi di kota dengan kemajuan yang sangat tinggi.
Sebutlah Kota Metrolium, kota dengan berbagai alat penunjang kehidupan yang membutakan para manusia bergelimang harta. Sebuah kota yang dihiasi gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan terbang. Jangan lupakan layar hologram besar juga robot-robot pembantu yang senantiasa memenuhi perkotaan. Seperti menjadi bukti bagaimana kemajuan pesat telah melingkupi Kota Metrolium yang mengagumkan.
“Teknologi maju? Atau teknologi yang membodohi manusia?” cibir sang pemuda. “Seharusnya pemerintah bisa sekalian membuat seluruh kota ini dipenuhi dengan para robot. Bukan hanya membuat manusia terbutakan oleh teknologi,” lanjutnya.
Pemuda itu memilih mengabaikan penyiar televisi yang masih bersemangat menjelaskan berbagai macam teknologi. Entah memang hal itu berguna sebagaimana mestinya atau hanya menyesatkan perkembangan dunia.
Reandra Chan, seorang pemuda bertubuh tinggi dengan telinga unik serta bentuk mata yang bulat meruncing. Jangan lupakan senyuman manis dengan cekungan yang membuat ketampanan pemuda itu semakin terpancar. Reandra mengambil minuman pada mesin pendingin dan melirik ke arah luar rumah yang sudah bising dengan lalu lalang kendaraan terbang. Hilir mudik sebagai penanda bahwa kota tengah sangat sibuk seperti sebelumnya.
“Saatnya bekerja ... saatnya bekerja....”
Suara robot pengingat sudah menggema dalam ruangan. Membuyarkan lamunan Reandra tentang segala beban dalam benak. Pemuda yang telah menjadi yatim piatu sejak berumur tiga belas tahun itu menyimpan banyak pertanyaan dalam kehidupannya. Ya, pertanyaan tentang kematian kedua orang tua Reandra, tentang perkembangan Kota Metrolium yang melebihi negara lainnya, mau pun tentang kenapa para masyarakat seperti tidak pernah mengingat sejarah Kota Metrolium sebelum berjaya. Bukankah sangat aneh jika manusia yang mempunyai kekaguman tinggi terhadap Kota Metrolium tidak mengetahui bagaimana awal kota itu terbentuk?
“Rean, kau tidak bekerja?” Sapaan dari arah luar membuyarkan lamunan Reandra. Pemuda itu segera beranjak menuju ke arah pintu rumahnya.
Ceklek....
Pintu terbuka otomatis ketika Reandra berjalan menuju sumber suara. Gurat senyum tipis terpatri dalam wajah pemuda itu. Di hadapannya sudah berdiri wanita paruh baya dengan bawaan yang tidak sedikit. Tentu saja wanita itu tetangga Reandra. Perlu diingat, Reandra adalah pemuda yatim piatu yang tinggal di rumah minimalis peninggalan kedua orang tuanya.
“Tidak bekerja?” Lagi, wanita paruh baya itu memberikan pertanyaan yang sama. Wanita renta yang selalu ramah kepada siapa saja.
“Sebentar lagi,” jawab Reandra singkat seperti biasanya.
“Baiklah. Hati-hati dalam bekerja,” ucap wanita paruh baya itu sebelum menghilang dari hadapan Reandra.
Setelah menatap kepergian sang tetangga, pandangan Reandra menatap sekitar yang hanya dihiasi bangunan-bangunan menjulang tinggi, mobil dan kendaraan terbang. Belum lagi orang-orang yang termanjakan dengan teknologi mutakhir saat ini. Keceriaan para masyarakat yang terlihat seolah penuh dengan kepalsuan.
“Jangan terbutakan oleh adanya teknologi jika tidak ingin dirimu hancur dengan cepat.”
Ucapan sang Ayah menjadi gema dalam ingatan Reandra. Menjadi alasan munculnya tanda tanya besar dalam diri pemuda itu tentang misteri yang tersimpan rapat di Kota Metrolium ini. Sambil mengunci rumah dengan kode yang dia akses melalui jam tangan, Reandra memilih beranjak untuk berangkat bekerja dengan mengendarai papan luncur lusuh kesayangannya.
Oh ayolah, pemuda itu bukan tidak mampu membeli teknologi masa kini yang begitu memanjakan manusia. Namun, Reandra hanya ingin mengingat setiap kenangan bersama kedua orang tuanya yang selalu bersemangat mengajari menggunakan papan luncur itu. Bahkan Reandra tidak peduli pada pandangan aneh orang-orang saat melihatnya meluncur dengan papan usang yang tidak lagi ditemui di kota ini.
“Tidak ada larangan menggunakan papan luncur ini.” Kalimat itu selalu menjadi jawaban ketika Reandra mendapatkan pertanyaan maupun cibiran mengenai papan luncur kesayangannya itu.
Dunia yang telah berubah memang membawa pengaruh besar pada pribadi masing-masing orang. Seperti halnya dengan Kota Metrolium. Kota yang dulunya metropolitan, kini telah disulap menjadi kota dengan segala teknologi mutakhir yang dimiliki. Semua kemudahan dapat dirasakan oleh masyarakat. Seperti kemudahan saat berbelanja. Semua orang tidak perlu susah payah membawa barang yang mereka beli. Tinggal memasukkan kode keanggotaan dan pembayaran, maka barang sudah otomatis berada di rumah tanpa repot untuk membawanya. Bukankah itu sungguh kehidupan yang sangat menyenangkan?
Reandra masih melalui perjalanan yang cukup menguras tenaga karena di samping harus berkejaran dengan waktu, dia juga harus memacu papan luncurnya agar bergerak dengan cepat.
Klik
“Terima kasih....”
“Terlambat lagi?” tanya seorang pemuda yang tidak terlalu tinggi dari Reandra. Angkasa, salah satu rekan kerja Reandra.
Namun, Reandra hanya melangkah melewatinya. Pemuda bertelinga unik itu memilih menuju ke meja tempat dia melakukan pekerjaan. Duduk di sana dan membuka daftar digital jadwal yang harus dia kerjakan hari ini.
“Untuk apa sih masih betah dengan alat aneh itu?” Angkasa selalu mengomentari hal yang sama. Pemuda dengan senyuman manis itu masih tidak mengerti kenapa rekan kerjanya tidak ingin memanjakan diri dengan teknologi masa kini.
“Kau tidak akan mengerti,” jawab Reandra singkat.
“Kau selalu seperti itu. Ah, sudahlah. Aku akan melihat deretan buku digital di sebelah sana. Jika ketua mencariku, tolong jangan katakan apa pun. Aku tidak ingin meladeni permintaannya yang aneh,” ucap Angkasa sebelum beranjak menuju rak-rak digital.
Pekerjaan Reandra adalah petugas perpustakaan kota. Pekerjaan yang mungkin tidak menghasilkan banyak uang, tetapi Reandra bisa belajar banyak hal. Banyak buku digital menarik yang bisa pemuda itu baca dengan gratis tanpa perlu membayar uang sewa. Reandra perlu membaca banyak hal untuk menjawab pertanyaan dalam dirinya. Mencari tahu apa saja yang menjadi misteri tentang perkembangan dunia saat ini. Seperti keanehan ketika para masyarakat tidak mengenal papan luncur padahal sang ayah selalu menjelaskan bahwa benda itu adalah hal menyenangkan yang sering para pemuda mainkan pada masanya.
Reandra tidak dapat menerima kenyataan bahwa dalam mesin pencarian tidak mendapati keterangan satu pun dari benda-benda yang pernah sang ayah beritahu.
“Huh! Ini sungguh sangat tidak membantu,” ujar Reandra yang mulai frustrasi. Setiap usaha yang telah pemuda itu lakukan tidak memberikan bantuan apa pun untuk menjawab pertanyaan dalam otaknya.
Pemuda itu menelungkupkan wajahnya pada meja mencoba mendinginkan isi kepala yang terus berputar dan menghantui hari-harinya. Reandra mendongak menatap jam digital yang masih menunjukkan tengah hari. Pemuda itu memilih menutup layar digital di hadapannya dan beralih pada jam tangan di pergelangan untuk memanggil menu pemesanan makanan. Memang lebih baik mengisi perut terlebih dahulu, karena pikiran akan lebih jernih jika perut telah kenyang.
“Permisi...,” sapa seorang pengunjung yang tampaknya baru datang ke perpustakaan.
“Iya?” jawab Reandra sambil membenahi duduknya dan memfokuskan diri ke arah pengunjung itu. Wajah pemuda itu terlihat datar tanpa ekspresi yang membuat pengunjung di hadapan Reandra sedikit gugup.
“A—aku butuh buku tentang ilmu teknologi. A—apa bisa a—aku meminjamnya?” ujar pengunjung itu.
Reandra mengangguk sekilas sebelum akhirnya melakukan pekerjaannya untuk mencarikan buku yang dimaksud. Pemuda itu mengisikan formulir peminjaman dan meminta pengunjung itu menunjukkan kode anggota untuk akses peminjaman. Setelahnya, mengirimkan buku digital ke dalam jaringan dokumen milik pengunjung yang masih berdiri di hadapan Reandra.
“Te—terima kasih. A—aku akan mengembalikannya tepat waktu,” ujar pengunjung itu dengan terbata. Mungkinkah Reandra begitu menyeramkan untuknya? Yang jelas setelah mendapatkan buku digital, pengunjung itu langsung pergi dari hadapan Reandra.
Pemuda itu mengernyit heran. Memang beberapa pengunjung akan selalu seperti itu ketika berhadapan dengan Reandra. Apakah wajah tampan Reandra begitu menyeramkan? Bukankah biasanya wajah tampan itu akan menjadi primadona banyak orang?
“Wajah datar milikmu yang membuat pengunjung itu kabur. Senyumlah sedikit agar orang-orang tidak takut datang ke sini. Kan semakin banyak yang pinjam, bonus kita pun akan semakin besar,” celetuk Angkasa yang tiba-tiba sudah duduk di samping Reandra.
“Huh! Itu tidak ada hubungannya,” elak Reandra tidak ingin mengakui.
“Terserah deh.” Angkasa memilih tidak melanjutkan perdebatan daripada akan berujung panjang.
Sedangkan pemuda tinggi di sebelahnya mendengkus sebal. Reandra tidak menyukai sikap Angkasa yang selalu mengomentari banyak hal tentang dirinya. Melihat belum ada pengunjung yang datang, Reandra memilih kembali bergelut dengan data yang ada di layar digital miliknya. Aktivitas pemuda itu tidak terlepas dari pandangan rekan kerjanya.
“Apa yang kau kerjakan?” tanya Angkasa saat melihat banyak data yang Reandra tulis.
“Hanya riset kecil-kecilan,” jawab Reandra.
“Untuk apa kau melakukan riset? Bukankah kau sedang tidak mengikuti perkuliahan apa pun?” Angkasa kembali bertanya. Pemuda itu memang tidak akan puas dengan satu jawaban saja.
“Untuk—“ Belum sempat Reandra melanjutkan ucapan, suara penyiar berita sudah lebih dahulu menghiasi ruang baca.
“Kembali, para ilmuwan menemukan teknologi penunjang kehidupan yang akan semakin mempermudah masyarakat dalam menjalani keseharian mereka. Teknologi ini dipercaya akan menjadi titik terwujudkan kehidupan yang semakin membaik di kehidupan mendatang....”
Gema suara penyiar yang memenuhi gedung perpustakaan menjadi pengantar segala decak kagum setiap orang yang mendengar mau pun yang melihat. Tidak peduli tentang bagaimana teknologi itu akan membersamai mereka, tetapi selama teknologi itu dikategorikan sebagai penunjang kehidupan, sebagai alat pemanja manusia, maka rasa penasaran dan tidak sabar akan cepat bersemayam dalam diri orang-orang.
“Wah! Perlu menabung lagi nih,” celetuk Angkasa setelah menyaksikan berita pada layar digital besar di tengah ruangan.
Reandra hanya menggelengkan kepada. Pemuda itu tidak memiliki ketertarikan untuk mengikuti perkembangan teknologi. Dia hanya mengingat pesan sang ayah untuk tidak terbutakan dengan teknologi yang memanjakan manusia. Reandra hanya akan memanfaatkan teknologi sesuai kebutuhan saja.
“Kau tidak capek mengikuti semua itu?” tanya Reandra kepada Angkasa karena merasa penasaran. Rekan kerja pemuda itu memang selalu antusias menyambut teknologi baru. Katakanlah jika pemuda yang tidak lebih tinggi dari Reandra itu adalah seolah pemuja teknologi.
“Hei, kau harus membuka mata, Rean. Teknologi baru akan selalu menjadi tren saat telah diluncurkan nanti. Kau akan dicap ketinggalan zaman jika tidak mengikuti perkembangan yang ada. Ini semua tentang nilai diri, Rean. Nilai diri. Untuk bisa diterima di lingkungan sosial, maka kau harus mengikuti perkembangan yang ada,” jelas Angkasa seolah segala bentuk perkembangan teknologi patut dibangga-banggakan.
Reandra semakin tidak mengerti saja tentang sikap orang-orang di sekitarnya. Namun, memang benar tentang nilai diri yang dimaksud Angkasa. Pemuda bertelinga unik itu sudah merasakan sendiri bagaimana pandangan aneh orang-orang terhadapnya. Bagaimana orang-orang mencemooh dirinya karena tidak memiliki teknologi mutakhir saat ini. Hanya saja Reandra memilih bungkam dan tidak peduli dengan semua itu. Fokusnya adalah kehidupan pribadi dan menguak setiap pertanyaan yang muncul dalam benaknya.
“Jika aku berkata teknologi itu semakin membodohimu, bagaimana?” Reandra menatap ke arah Angkasa, melayangkan pertanyaan yang bisa saja memicu perdebatan panjang.
“Kau hanya ketinggalan zaman, Rean. Coba deh kau ke pusat perbelanjaan. Beli teknologi paling mutakhir dan kau akan merasakan manfaatnya. Bukan membodohi, tapi memberikan kemudahan untuk kita,” ungkap Angkasa tanpa mengalihkan pandangan dari layar digital di hadapannya.
Pemuda bertelinga unik itu diam sesaat sebelum melukiskan senyuman tipis pada wajah tampannya. Senyuman penuh arti yang mengandung makna tersirat.
“Kau akan merasakannya nanti,” ujar Reandra yang langsung menarik atensi Angkasa menciptakan kernyitan di dahi pemuda pemilik senyum manis itu.
Awan mendung di langit Kota Metrolium menjadi hiasan alami ketika hari mulai beranjak malam. Reandra dan Angkasa masih sibuk dengan pekerjaan mereka setelah menyudahi perbincangan tentang perkembangan teknologi dunia. Di samping itu, di sisi lain perpustakaan, seorang pemuda dengan wajah tegas tampak menatap sendu ke arah tetesan air yang turun. “Apa kabarmu di sana?” gumam pemuda itu. Perlahan tangan pemuda itu meraih selembar foto usang dari dompet. Dia tersenyum getir mengingat semua kenangan pahit yang harus membuat pemuda itu terpisah dengan orang terkasih. Juna Ardian, pemuda yang tengah menatap rintik hujan itu menghela napas untuk membuang sesak di dada. Selain sendu y
“Malam ini, kelompok jaringan ilegal telah diamankan oleh otoritas keamanan. Jaringan ini telah mencoba meretas sistem museum untuk mencuri benda terlarang yang di simpan di dalamnya. Hingga detik ini belum ada keterangan pasti terkait kejadian itu....” Pemuda dengan telinga unik itu mengeryit mendengar seruan pemberitaan yang sudah menggema di tengah pekatnya malam. Tidak dipungkiri bahwa pemberitaan itu cukup memberikan keterkejutan untuk Reandra. “Haish! Aku harus memastikan sesuatu,” ucap Reandra yang langsung beranjak dari pinggiran jendela. Namun, baru beberapa langkah, pemuda itu harus berhenti ketika terdapat pemberitahuan pada sistem jaringannya. Ting&n
Brakkk!!! “Kurang ajar! Cepat bereskan keamanan di wilayah tembok pembatas itu. Aku tidak ingin ada celah yang membuat berandal kecil itu bisa berkomunikasi dengan kota ini,” ujar seorang laki-laki paruh baya dengan wajah yang dingin seolah menggambarkan bahwa memang laki-laki itu tengah menahan amarah. Sedangkan suasana Kota Metrolium sedang dilanda banyak tanda tanya mengenai datangnya gelombang suara berfrekuensi rendah. Para masyarakat berhamburan keluar ruangan hanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tidak jauh berbeda dengan Reandra dan Angkasa yang kini tengah termenung bersama pikiran masing-masing. “Dari mana datangnya gelombang tadi?” tanya Angka
Ruangan yang berupa bangunan toko barang antik di sudut pusat perbelanjaan itu tampak begitu hening. Juna terdiam dengan rasa kalut menyelimuti. Laki-laki paruh baya yang tengah menanti salah satu dari pemuda di hadapannya untuk mengeluar kata-kata. Dan ada Reandra yang tidak mengerti kenapa ketua perpustakaan tempat pemuda itu bekerja terlihat begitu khawatir. Kedua bola mata bulat meruncing milik Reandra mulai menilik sekitar. Pemuda itu baru tersadar bahwa dirinya berada pada sebuah toko yang menjual berbagai barang-barang unik. Laki-laki paruh baya yang menanti adanya perbincangan tersenyum tipis melihat tingkah Reandra. “Apa ada yang membuatmu tertarik, nak?” Akhirnya laki-laki paruh baya itu mengeluarkan suara. &nbs
“Ayahmu berkorban untuk kami semua....” Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu. “Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.&nbs
Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami. "Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa. Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar. Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pem
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat