Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami.
"Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa.
Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar.
Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pemuda itu. Bandul liontin itu berbentuk seperti pendar bintang yang indah.
Deg
"Liontin bintang?" gumam Reandra menatap lekat ke arah liontin.
Langkah pemuda itu semakin dipercepat saat telah sampai halaman. Buru-buru Reandra membuka pintu dan menemui Ery, sang robot pengingat yang selalu menyapa pemuda itu setiap kali sampai di rumah.
"Ery, tolong pindai kode akses yang baru saja terbuka dalam sistem jaringanku," ucap Reandra memberikan perintah.
Robot pengingat lantas menjalankan perintah. Mencoba memindai kode akses misterius yang baru saja Reandra dapatkan. Pemuda itu melangkah menuju ruangan kerja sang Ayah sambil menanti Ery memberikan hasil. Pandangan tajam Reandra beralih pada jajaran buku yang tersusun rapi pada rak. Saat ini di Kota Metrolium sudah tidak dapat ditemukan buku cetak sebab semua sistem telah terdigitalisasi. Seperti halnya buku-buku yang ada di perpustakaan.
"Kode akses tidak dapat dipindai ... kode akses tidak dapat dipindai...."
Guratan heran tercetak pada kening Reandra saat mendengar laporan dari Ery. Robot yang biasanya mampu memindai apa pun itu tidak bisa menjangkau isi dari kode akses yang Reandra dapatkan.
"Apa ada yang salah?"
Reandra menarik napas lelah. Pemuda itu memilih mengabaikan sejenak perihal kode akses itu. Tubuh Reandra perlu diistirahatkan dari semua pelik yang ada. Pemuda itu melangkah keluar dari ruangan setelah meletakkan buku yang belum sempat Reandra baca. Pandangannya menatap sebentar ke arah luar jendela sebelum akhirnya melangkah menuju kamar untuk beristirahat. Membiarkan hari berlalu dengan banyak pertanyaan yang masih bersarang.
Namun, yang tidak Reandra sadari, terdapat sosok pemuda berwajah tampan yang terlihat begitu tenang dengan senyuman tipis sedang menatap tembok yang terselimuti lumut. Tangan pemuda itu terulur lalu kedua matanya pun ikut terpejam. Pemuda itu tampak tengah berkonsentrasi. Terbukti bagaimana tenangnya pemuda itu saat tangannya terulur menempel pada tembok.
"Tidak ada. Lagi-lagi dia menghilang setelah membuat kerusuhan," ujar pemuda itu.
"Tuan Bumi, saya sudah melaksanakan apa yang telah Tuan perintahkan." Seorang wanita muda muncul dari arah belakang pemuda itu.
Bumi Chatra, pemuda dengan senyuman tipis itu mengangguk sekilas.
"Tuan, bagaimana jika Tuan Besar tahu mengenai hal ini?" Lagi sang wanita yang berstatus sebagai asisten Bumi itu bersuara dengan nada khawatir.
"Tenang saja. Ayah tidak pernah tahu tentang kode akses itu. Lagi pula kode itu memang bukan hak milikku. Aku sudah melakukan tugasku untuk memberikan kode akses itu kepada pemilik sebenarnya."
"Tapi, Tuan--"
"Eunoia! Jika kamu terus merasa khawatir, aku tidak segan untuk menekan tombol standby pada sistemku." Bumi berucap tegas pada wanita yang bernama Eunoia yang merupakan seorang robot asisten.
Eunoia terdiam tidak dapat membantah. Sebagai robot yang telah diciptakan untuk mengikuti segala perintah dari sang pemilik, Eunoia hanya bisa menurut. Walau demikian, robot wanita itu memiliki keistimewaan yang telah ditambahkan oleh Bumi.
Hela napas begitu terdengar kala Bumi mulai menjauh dari dinding tembok yang menjulang tinggi. Langkah kaki pemuda itu membawa tubuhnya untuk mulai meninggalkan jenggala yang menutupi tembok.
"Eunoia! Cari tahu tentang gadis itu sedang berada di mana. Jangan lupa menggunakan sistem pribadiku. Jangan sampai Ayah kembali curiga dengan apa yang kamu lakukan," ujar Bumi memberikan perintah.
Pemuda itu melangkah dalam diam sebelum akhirnya menghilang di antara lebatnya pepohonan. Meninggalkan banyak rahasia tersimpan dan juga tatapan datar dari seorang gadis yang tengah termenung dalam gelapnya kesendirian.
"Kau sungguh menyebalkan...."
Di sisi lain, saat mentari telah datang menyapa, pemuda jangkung bertelinga unik itu masih saja bergelung dalam tidur. Mungkin memang tubuh dan pikiran Reandra benar-benar sangat lelah. Kejadian juga kenyataan yang sempat diterima oleh pemuda itu memang memberikan pukulan berat kepada hatinya. Tidak hanya itu saja, berbagai pertanyaan yang bersarang juga menjadi salah satu alasan lelahnya tubuh Reandra.
"Selamat pagi para masyarakat Kota Metrolium yang megah. Otoritas keamanan pemerintah telah mengambil tindakan kepada jaringan ilegal yang telah berhasil ditangkap. Pimpinan tertinggi otoritas keamanan telah menjatuhkan hukuman kurungan pada penjara bawah tanah seumur hidup bagi para tersangka...."
Gema pemberitaan di pagi hari mengusik tidur Reandra. Perlahan pemuda itu membuka kedua mata dan menghela napas sejenak. Meski telah tidur cukup panjang, nyatanya Reandra masih tidak bisa melupakan kejadian yang akhir-akhir ini pemuda itu lalui.
"Selamat pagi, Tuan. Si Pemuja Teknologi telah menunggu di ruang bicara pada sistem jaringan pribadi. Akan tersambung beberapa saat lagi jika Tuan berkenan...."
Ery, robot itu mengantarkan pesan sekaligus menyambungkan Reandra pada ruang bicara yang berbentuk hologram. Ruang bicara itu adalah sistem jaringan pribadi yang dimiliki oleh para petugas perpustakaan.
"Yak! Kamu belum bangun? Hei, kamu tidak lupa jika harus datang ke perpustakaan kan?" Angkasa, pemuda pemuja teknologi itu langsung meneriaki Reandra saat melihat bahwa pemuda jangkung itu baru saja bangun tidur.
"Tolong izinkan aku hari ini. Bilang pada Ketua jika aku sedang sakit," ucap Reandra santai.
"Tidak bisa. Kamu harus datang ke perpustakaan. Hari ini Ketua akan mengadakan rapat darurat mengenai petugas yang terlibat dalam jaringan ilegal. Pokoknya sebelum jam sembilan pagi kamu harus sudah berada di ruang rapat perpustakaan. Oh iya, rapat kali ini akan diadakan tatap muka. Jadi, jangan sampai terlambat." Setelah mengucapkan kalimat panjang itu, Angkasa menutup ruang bicara.
Reandra sendiri mengusak rambutnya pelan. Pemuda itu memilih bangkit dari pemiliki gravitasi yang membuatnya malas untuk beranjak. Namun, Reandra juga tidak bisa lari dari kegiatan rapat darurat petugas perpustakaan.
"Ery, tolong panggangkan roti untukku sarapan...."
"Baik, Tuan...."
Pemuda itu beranjak untuk membersihkan diri lantas menyiapkan keperluan untuk pembahasan rapat. Setelahnya, Reandra mengambil roti panggang dan kemudian meluncur menuju ke perpustakaan dengan papan luncur usang miliknya.
Semilir angin menyapa selama Reandra dalam perjalanan. Papan luncur yang pemuda itu kendarai bergerak stabil. Sesekali kaki Reandra bergerak untuk menambah laju dari papan luncur. Walau demikian, pemuda itu tetap merasa nyaman mengendarai teknologi lampau yang sudah terlupakan begitu saja.
Brukkk
"Ah, maafkan saya. Saya sedang buru-buru dan tidak melihat jalanan," ujar seorang pemuda yang tanpa sengaja tertabrak oleh papan luncur Reandra saat melintas.
Reandra mencoba menetralkan rasa terkejutnya sebelum menjawab. "Tidak apa-apa. Lain kali cukup hati-hati saja saat melangkah," ujarnya.
"Baiklah. Sekali lagi saya minta maaf." Pemuda itu membungkukkan badan sebentar. Sedangkan Reandra hanya menanggapi dengan anggukan.
Merasa tidak ada lagi yang perlu dibahas, Reandra memilih undur diri untuk menuju ke perpustakaan. Namun, belum sempat Reandra kembali menaiki papan luncurnya, sebuah pertanyaan terlontar dari pemuda yang masih berdiri di pinggir pertokoan.
"Maaf, bolehkah saya tahu nama Anda? Saya merasa pernah melihat Anda, tapi saya lupa di mana," ucap pemuda itu.
Reandra tampak berpikir sebentar dengan menatap pemuda itu. Reandra merasa tidak pernah bertemu dengan pemuda yang parasnya tampak seperti perempuan walau kenyataannya otot lengan pemuda itu tidak bisa membohongi bahwa dirinya adalah laki-laki.
"Reandra Chan," ucap Reandra pada akhirnya.
Pemuda itu tersenyum lembut hingga mengundang rasa heran dalam diri Reandra. "Ada apa dengan pemuda itu?" ujar Reandra membatin.
"Tidak salah lagi. Ini benar-benar dirimu. Hai, Rean, kamu masih mengingatku?"
Kerutan kebingunan mulai tercetak pada dahi Reandra. Pemuda jangkung itu mencoba mengingat wajah pemuda itu, tetapi tetap nihil. Tidak ada satu memori yang membawa Reandra pada ingatan tentang pemuda di hadapannya.
"Kamu lupa padaku?" Pemuda itu kembali berujar.
"Maaf, siapa ya?" tanya Reandra.
"Aku, Bumi Chatra, sahabat masa kecilmu...."
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Reandra tersenyum tipis setelah mengucapkan terima kasih kepada Zaki yang telah mengantarkan pemuda itu pulang. Namun, Reandra tidak sepenuhnya pulang. Pemuda itu berhenti di halte yang dekat dengan rumahnya untuk menunggu Angkasa. Pemuda pemuja teknologi itu baru saja menghubungi untuk mengajak Reandra makan bersama. “Kamu bersama siapa tadi?” tanya Angkasa saat baru saja pemuda itu memarkirkan kendaraan terbang miliknya. “Kenalanku,” jawab Reandra. “Ada apa? Tumben sekali kamu mengajakku untuk makan bersama?" tanya pemuda itu. Angkasa hanya tersenyum penuh arti sebelum menggiring Reandra untuk memasuki kendaraan terbang. Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, begitu pula dengan Reandra. “Aku yakin pasti ada apa-apa melihatmu yang diam seperti sekarang ini,” ucap Reandra memecah keheningan. Tatapan tajam pemuda itu menghunus tepat ke arah Angkasa. Namun, lagi-lagi Angkasa hanya tersenyum penuh makna. Tidak memberikan jawaban yang Reandra in
Gaduh. Kota Metrolium benar-benar tampak kacau setelah pemberitahuan dari otoritas keamanan pemerintah masuk pada sistem jaringan masyarakat. Semua orang tampak semakin geram dengan banyaknya larangan yang mulai mengikat. Tidak hanya itu saja, orang-orang juga mulai tampak lelah dengan kekangan yang dilakukan oleh pemerintah. “Sepertinya masyarakat mulai menyadari ada hal yang salah dengan pemerintahan ini,” ujar Reandra saat pemuda itu melihat sekelilingnya. Angkasa mengangguk setuju. Pemuda pemuja teknologi itu menghela napas sebentar sebelum melanjutkan langkah. Dua pemuda itu sudah selesai dengan urusan pembicaraan pribadi mereka. Namun, ternyata saat mereka berdua sedang fokus berbincang, pemberitahuan tidak menyenangkan itu datang. “Menurutmu apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Angkasa kepada Reandra. Pemuda yang lebih tinggi dari Angkasa itu menoleh sebentar sebelum menunjuk ke arah papan hologram yang baru saja mengganti saluran iklan.
Reandra duduk termenung pada meja yang berada di perpustakaan kecil miliknya. Di tangan pemuda itu telah ada sebuah buku catatan peninggalan kedua orang tuanya yang berisi tentang teka-teki Kota Metrolium. Buku itu hanya berisi gambaran kota yang tidak menyeluruh. “Aku tidak mengerti pesan apa yang ingin Ayah sampaikan kepadaku. Selama ini aku sudah berkeliling ke penjuru kota, tapi tidak pernah sedikit pun aku menjumpai suasana kota seperti dalam buku ini,” ujar Reandra. Mata bulat meruncing pemuda itu terpejam. Reandra mencoba mengingat apa yang terlewat dalam hidupnya. Namun, pemuda itu sama sekali tidak menemui satu pun memori saat dia kecil. Helaan napas terhembus begitu saja dari pembauan Reandra. Pemuda itu merasa sedikit lelah dengan semua kejadian tidak terduga dalam beberapa hari ini. “Aku merindukan Ayah dan Ibu. Biasanya jika aku tengah berada pada jalan buntu, Ayah dan Ibu selalu bisa memberikan pendapat juga pencerahan untukku.” Reandra menidurk
Kota Metrolium yang indah adalah impian setiap orang. Kota yang diliputi dengan banyak hal dan tentu saja berjalan secara seimbang. Perkembangan zaman boleh menjadi faktor yang membuat perubahan, tetapi tidak untuk mengikis sejarah Kota Metrolium. Itulah keinginan setiap peneliti saat berusaha semaksimal mungkin menciptakan teknologi yang seimbang. Namun, di tengah perjalanan mereka tentu banyak kerikil yang menghadang. Penolakan, pengkhianatan, dan keegoisan menjadi hal yang membuat semua terpecah belah. “Aku tidak menyetujui ide milikmu itu, Arya,” ujar seorang laki-laki paruh baya yang masih terlihat rupawan, Soka Chivalry. “Ayolah, Soka. Ide ini bisa membawa kejayaan untuk Kota Metrolium. Bisa kau bayangkan bagaimana kota ini akan menjadi pusat peradaban paling maju di dunia? Pasti semua akan mengagumi Kota Metrolium,” ujar Arya Bahtera. “Peradaban tetap harus berjalan dengan seimbang, Arya. Kita bisa mencip