“Ayahmu berkorban untuk kami semua....”
Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu.
“Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.
Hela napas terhembus dari Profesor Amerta melihat bagaimana Reandra masih membeku. Laki-laki paruh baya itu sadar bahwa tidak mudah menerima kenyataan yang ada. Namun, tetap saja, kenyataan pahit itu harus diterima oleh Reandra.
“Nak, percayalah setiap pengorbanan Ayah dan Ibumu tidak akan sia-sia. Mereka masih memiliki dirimu yang merupakan cahaya harapan bagi semua.” Profesor Amerta kembali mencoba memberikan ketenangan kepada Reandra.
“Ke—kenapa Ayah melakukan semua itu? Kenapa Ayah dan Ibu tidak memikirkan aku? Kenapa mereka malah memilih berkorban untuk kota yang semakin membuat semua hancur?” Reandra menunjukkan emosinya saat mulai tersadar. Perlahan pemuda itu juga mulai terisak.
“Tidak, Nak. Kedua orang tuamu tentu sangat memikirkan dirimu. Bahkan mereka begitu menyayangimu. Oleh karena itu, mereka telah menyiapkan banyak hal untuk kehidupanmu,” ucap Profesor Amerta.
Reandra mengusak kasar rambutnya. Pemuda itu bangkit dan pergi begitu saja dengan emosi yang belum mereda. Kaki jenjang Reandra membawa tubuh tingginya keluar menjauh dari bangunan yang merupakan salah satu toko di pusat perbelanjaan. Hati pemuda itu hancur bahkan sebelum semua luka lama mengering. Kenyataan yang baru saja Reandra terima sungguh memberikan pukulan yang amat menyakitkan pada hatinya.
Langit mulai berhias jingga yang menenangkan. Menjadi panorama indah yang sering dinanti masyarakat Kota Metrolium saat tengah menikmati hari di alun-alun kota. Seperti apa yang Reandra lakukan. Pemuda itu berakhir duduk termenung di salah satu sudut alun-alun kota. Menatap kosong ke arah senja dengan pikiran berkeliling ke mana-mana.
“Aku tidak tahu apa yang Ayah dan Ibu pikirkan. Penelitian apa yang kalian lakukan hingga harus meninggalkanku untuk selamanya? Apa Ayah dan Ibu tahu jika setelah kepergian yang menyakitkan itu hidupku tidak mudah? Aku terbangun di rumah sakit tanpa satu orang pun yang datang menunggui. Kenapa Ayah dan Ibu begitu tega kepadaku?” Air mata Reandra mulai menetes kembali. Bahkan semburat jingga tidak bisa membuat suasana hati pemuda itu membaik.
“Reandra!” seru seseorang dari kejauhan. Namun, hal itu tidak membuat atensi Reandra teralihkan.
Angkasa, pemuda yang berteriak memanggil Reandra itu mulai mendekat. Setelah beberapa saat berkeliling ke pusat perbelanjaan, pemuda itu tersadar bahwa rekan kerjanya menghilang entar ke mana. Dan berakhir dengan Angkasa melacak keberadaan Reandra menggunakan izin otoritasi untuk mengetahui lokasi seseorang.
“Heh! Kamu jahat ya. Kenapa meninggalkanku di sana sendirian?” Angkasa protes. Namun, sayangnya Reandra lagi-lagi tidak peduli. “Kamu kenapa, Rean?” tanya pemuda itu saat melihat raut sedih rekan kerjanya.
“Hanya sedang meratapi kepedihan tidak berujung,” ucap Reandra.
Angkasa mengernyit heran, tidak mengerti apa yang Reandra ucapkan. Pemuda itu mencoba berpikir, tetapi tidak menemukan apa pun yang dapat menjelaskan ucapan Reandra.
“Kamu sedih karena tidak bisa mendapatkan informasi di pusat perbelanjaan?” tanya Angkasa.
Reandra hanya menghela napas sebelum beranjak dan mengabaikan Angkasa. Pemuda yang lebih pendek dari Reandra itu menggeram kesal karena tidak dipedulikan. Angkasa pun turut beranjak untuk menyamai langkah Reandra yang mulai menjauh. Berjalan dalam keheningan nyatanya membuat atensi Angkasa tidak mau terlepas dari sikap Reandra yang berubah.
“Apa terjadi sesuatu tadi?” Angkasa mencoba kembali bertanya.
Pemuda bertelinga unik itu hanya berdiam diri membuat Angkasa semakin emosi. Dengan kepalan tangan dibuat sekeras mungkin, pemuda pemuja teknologi itu memukul lengan Reandra. Pemuda jangkung itu terhenyak sesaat sebelum akhirnya tersadar dan melayangkan pukulan balasan ke arah Angkasa dengan lebih keras.
“Kurang ajar! Aku tadi memukulnya tidak sekeras ini ... auh....” Angkasa memegangi pipinya yang berdenyut akibat pukulan Reandra.
“Salahmu sendiri,” ujar Reandra.
Angkasa mendengkus sebal. “Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu?”
“Aku baru saja mendapatkan kabar yang menyakitkan tentang orang tuaku. Aku tidak ingin percaya, tapi orang itu adalah sahabat dekat Ayah.” Akhirnya Reandra mengatakan apa yang membuat pemuda itu bersedih.
Angkasa tahu bagaimana perjalanan hidup Reandra. Namun, pemuda itu tidak tahu tentang alasan kematian kedua orang tua rekan kerjanya itu. Yang Angkasa tahu, Reandra sudah yatim piatu sejak kecil.
“Maksudmu?” tanya Angkasa.
Pemuda bertelinga unik memilik bungkam dan terus melangkah menuju halte. Tubuh Reandra sudah terlalu lelah setelah menerima banyak hal yang tidak terduga. Dari fakta dengan gelombang suara itu hingga berita paling menyakitkan tentang kedua orang tua Reandra. Pemuda itu membutuhkan istirahat agar bisa kembali menghadapi semua dengan tenang.
Tangan besar Reandra disembunyikan pada kantong jaket dan tidak sengaja menyentuh liontin yang terbawa dari toko milik Profesor Amerta. Pemuda itu menarik keluar liontin itu. Pendar warna jingga tampak terpantul dari liontin berbandul batu aquamarine itu.
“Dari mana kamu mendapatkan benda itu?” tanya Angkasa saat melihat sebuat liontin tengah dipedang oleh Reandra.
“Bukan apa-apa,” jawab Reandra kemudian menyimpan liontin itu kembali. Pemuda itu mempercepat langkah agar segera sampai ke halte.
“Kamu mau pulang?” Angkasa kembali bertanya.
“Iya. Aku ingin istirahat. Jika kamu ingin pulang juga, pulanglah. Kita bisa berpisah di halte sana.” Reandra menunjuk halte yang sudah terlihat di depan mata.
“Hah! Baiklah. Oh iya, aku sudah mengirimkan beberapa informasi yang aku dapatkan di pusat perbelanjaan tadi. Barangkali akan dirimu butuhkan untuk memecahkan asal gelombang suara yang muncul di Kota Metrolium,” ucap Angkasa.
Reandra mengangguk sekilas sebelum mengatakan terima kasih untuk informasi yang Angkasa berikan. Walau sebenarnya pemuda bertelinga unik itu sudah mengetahui dari mana sumber gelombang suara itu. Tepat saat langkah kaki mereka sampai ke halte, Angkasa berpamitan setelah memanggil kendaraan terbang pemuda itu.
Reandra masih menunggu sejenak sebelum bus terbang datang membawa pemuda itu untuk pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Reandra terus termenung memikirkan banyak hal.
“Jika kenyataan seperti ini, maka aku tidak akan berhenti untuk mencari jawaban atas semua ini,” ucap Reandra dalam hati.
Tepat saat bus terbang itu hampir sampai pada halte bus berikutnya, tiba-tiba kendaraan besar itu oleng dan terjatuh dari lantasan. Bus terbang itu kehilangan daya terbang secara tiba-tiba membuat seluruh penumpang histeris tidak terkecuali Reandra. Pemuda itu berpegang kuat pada besi penyangga agar tidak terhempas. Mata bulat meruncing Readra memindai sekitar dan menemukan hampir seluruh kendaraan terbang tampak tidak memiliki daya untuk mengangkat tubuh.
“Apa yang terjadi?” ujar Reandra lirih.
Pemuda itu tampak kembali serius memindai hingga telinganya kembali menangkap gelombang suara yang tidak terlalu jelas. Dengingan yang terdengar sangat berbeda dengan yang sebelumnya terjadi. Bahkan tampak hanya Reandra yang bisa mendengarkan gelombang itu. Namun, rambatan suara yang mengikuti gelombang itu sama sekali tidak dapat Reandra mengerti dengan jelas.
“Sial! Apalagi sekarang? Dan tadi itu apa?” Reandra kembali berujar lirih. Pemuda itu sebenarnya cukup terganggu dengan teriakan histeris penumpang yang terjebak dalam bus.
Saat semua masih menjadi misteri untuk Reandra, sistem teknologi yang sempat lumpuh sejenak telah kembali berfungsi. Bus terbang yang sebelumnya ambruk terjatuh sudah kembali melayang.
Sedangkan di sudut Kota Metrolium, seorang gadis bersurai hitam tampak menghela napas lelah. Dan di sudut lainnya, seorang laki-laki dengan pakaian rapi juga tengah menggeram kesal.
“Kurang ajar! Berandal kecil itu benar-benar ingin dimusnahkan dengan segera.” Laki-laki itu tampak menahan emosi dengan mengepalkan tangan. “Kalian ... cepat bereskan berandal kecil itu. Aku tidak mau tahu. Pokoknya dia harus mendapatkan peringatan keras karena sudah mengusik kehidupan tenang Kota Metrolium,” lanjutnya.
Di samping itu, Reandra sudah kembali dalam perjalanan pulang. Namun, raut wajah Reandra tampak penuh rasa heran setelah membaca pemberitahuan yang baru saja pemuda itu terima. Sebuah akses rahasia tiba-tiba saja terbuka untuk Reandra bersama dengan pesan yang menyertainya.
“A—k—u ... su—du—t k—o—ta ... d—d—ind—ing....”
Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami. "Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa. Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar. Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pem
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Reandra tersenyum tipis setelah mengucapkan terima kasih kepada Zaki yang telah mengantarkan pemuda itu pulang. Namun, Reandra tidak sepenuhnya pulang. Pemuda itu berhenti di halte yang dekat dengan rumahnya untuk menunggu Angkasa. Pemuda pemuja teknologi itu baru saja menghubungi untuk mengajak Reandra makan bersama. “Kamu bersama siapa tadi?” tanya Angkasa saat baru saja pemuda itu memarkirkan kendaraan terbang miliknya. “Kenalanku,” jawab Reandra. “Ada apa? Tumben sekali kamu mengajakku untuk makan bersama?" tanya pemuda itu. Angkasa hanya tersenyum penuh arti sebelum menggiring Reandra untuk memasuki kendaraan terbang. Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, begitu pula dengan Reandra. “Aku yakin pasti ada apa-apa melihatmu yang diam seperti sekarang ini,” ucap Reandra memecah keheningan. Tatapan tajam pemuda itu menghunus tepat ke arah Angkasa. Namun, lagi-lagi Angkasa hanya tersenyum penuh makna. Tidak memberikan jawaban yang Reandra in
Gaduh. Kota Metrolium benar-benar tampak kacau setelah pemberitahuan dari otoritas keamanan pemerintah masuk pada sistem jaringan masyarakat. Semua orang tampak semakin geram dengan banyaknya larangan yang mulai mengikat. Tidak hanya itu saja, orang-orang juga mulai tampak lelah dengan kekangan yang dilakukan oleh pemerintah. “Sepertinya masyarakat mulai menyadari ada hal yang salah dengan pemerintahan ini,” ujar Reandra saat pemuda itu melihat sekelilingnya. Angkasa mengangguk setuju. Pemuda pemuja teknologi itu menghela napas sebentar sebelum melanjutkan langkah. Dua pemuda itu sudah selesai dengan urusan pembicaraan pribadi mereka. Namun, ternyata saat mereka berdua sedang fokus berbincang, pemberitahuan tidak menyenangkan itu datang. “Menurutmu apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Angkasa kepada Reandra. Pemuda yang lebih tinggi dari Angkasa itu menoleh sebentar sebelum menunjuk ke arah papan hologram yang baru saja mengganti saluran iklan.
Reandra duduk termenung pada meja yang berada di perpustakaan kecil miliknya. Di tangan pemuda itu telah ada sebuah buku catatan peninggalan kedua orang tuanya yang berisi tentang teka-teki Kota Metrolium. Buku itu hanya berisi gambaran kota yang tidak menyeluruh. “Aku tidak mengerti pesan apa yang ingin Ayah sampaikan kepadaku. Selama ini aku sudah berkeliling ke penjuru kota, tapi tidak pernah sedikit pun aku menjumpai suasana kota seperti dalam buku ini,” ujar Reandra. Mata bulat meruncing pemuda itu terpejam. Reandra mencoba mengingat apa yang terlewat dalam hidupnya. Namun, pemuda itu sama sekali tidak menemui satu pun memori saat dia kecil. Helaan napas terhembus begitu saja dari pembauan Reandra. Pemuda itu merasa sedikit lelah dengan semua kejadian tidak terduga dalam beberapa hari ini. “Aku merindukan Ayah dan Ibu. Biasanya jika aku tengah berada pada jalan buntu, Ayah dan Ibu selalu bisa memberikan pendapat juga pencerahan untukku.” Reandra menidurk