Ruangan yang berupa bangunan toko barang antik di sudut pusat perbelanjaan itu tampak begitu hening. Juna terdiam dengan rasa kalut menyelimuti. Laki-laki paruh baya yang tengah menanti salah satu dari pemuda di hadapannya untuk mengeluar kata-kata. Dan ada Reandra yang tidak mengerti kenapa ketua perpustakaan tempat pemuda itu bekerja terlihat begitu khawatir.
Kedua bola mata bulat meruncing milik Reandra mulai menilik sekitar. Pemuda itu baru tersadar bahwa dirinya berada pada sebuah toko yang menjual berbagai barang-barang unik. Laki-laki paruh baya yang menanti adanya perbincangan tersenyum tipis melihat tingkah Reandra.
“Apa ada yang membuatmu tertarik, nak?” Akhirnya laki-laki paruh baya itu mengeluarkan suara.
Reandra terkejut sejenak sebelum berhasil menetralkan ekspresinya. Pemuda itu menggeleng sekilas dan kemudian menatap ke arah Juna yang masih setia diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Reandra ingin menegur, tetapi urung dilakukan karena dari luar terdengar seseorang yang datang.
Laki-laki paruh baya sekaligus Reandra menatap ke arah sumber suara. Di pintu masuk toko berdiri seseorang yang berpakaian khas seorang dokter. Dengan derap langkah yang pasti, seseorang itu mendekat dan langsung menghampiri Juna.
“Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh adikmu? Apa dia berpikir dengan semua usaha yang dia lakukan akan membuat keadaan membaik? Tidak! Dan kau bisa lihat sendiri apa yang dilakukan oleh otoritas keamanan?” Seseorang berujar dengan keras dengan tangan yang sudah mencengkeram kerah baju Juna.
Melihat keadaan yang tidak kondusif, laki-laki paruh baya itu memilih turun tangan untuk menenangkan seseorang yang datang dan langsung menyerang Juna.
“Zaki, tenanglah. Ini semua juga di luar kehendak. Kita semua tidak tahu apa tujuannya melakukan semua ini,” ujar laki-laki paruh baya.
Seseorang yang diketahui bernama Zaki itu menghela napas sejenak sebelum melepaskan cengkeraman. Pemuda itu menatap lekat ke arah Juna yang masih terdiam. Di samping itu terdapat Reandra yang memandang tidak mengerti dengan keadaan yang terjadi. Siapa itu Zaki? Dan mengapa mereka semua saling mengenal?
“Pemuda ini adalah Zaki, salah satu tim dokter di rumah sakit kota. Dia salah satu sahabat Juna,” ujar laki-laki paruh baya menjelaskan kepada Reandra.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Reandra.
“Ceritanya sangat panjang, nak. Yang jelas gelombang suara itu memang benar berasal dari adik Juna. Dia tidak berada di kota ini. Melainkan disuatu tempat yang tidak mudah dijangkau.” Laki-laki paruh baya itu kembali memberikan menjelasan.
Zaki, pemuda yang diketahui berprofesi sebagai dokter itu masih menunggu Juna untuk menjelaskan keadaan. Meski emosi masih pemuda itu perlihatkan, tetapi sikapnya sudah lebih bersahabat. Deru napas Zaki juga sudah berangsur-angsur mereda.
“Permasalahan jaringan ilegal belum ada keputusan. Namun, sudah ada permasalahan baru. Bahkan otoritas keamanan langsung bertindak dengan cepat. Sebenarnya aku tidak memprediksi bahwa gadis nakal itu akan melakukan semua ini. Apa yang sudah aku lewatkan selama ini?” tanya Zaki dengan nada yang lebih tenang.
Helaan napas terdengar dari pembauan Juna. Pemuda itu menatap di sekelilingnya sebelum memberikan jawaban yang membuat raut khawatir tercipta pada wajah Zaki.
“Aku kehilangan kontak dengannya dua tahun belakangan ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Gelombang suara ini juga membuatku khawatir. Apalagi setelah pemberitahuan tadi. Aku pun takut terjadi sesuatu dengannya,” ucap Juna dengan raut wajah sendu.
“Jika otoritas keamanan telah bertindak, tidak menutup kemungkinan gadis kecilmu akan dalam masalah,” ujar Zaki menimpali.
“Aku tahu....” Juna berkata lirih seolah tidak ada lagi semangat dalam diri pemuda itu.
Reandra yang masih menyimak mencoba memahami keadaan. Secara tidak langsung, gelombang suara yang berasal dari adik Juna membuat pemuda itu terlibat dalam permasalahan. Meski belum mengerti sepenuhnya, Reandra sudah turut merasakan bagaimana rasa khawatir yang memeluk erat tubuh Juna.
“Kita belum bisa melakukan apa pun. Dalam keadaan seperti ini, kita hanya perlu menanti keajaiban. Percayalah Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk kita.” Laki-laki paruh baya itu mencoba menenangkan dua pemuda di hadapannya.
Tidak ada yang keluar selain helaan napas. Memang benar apa yang dikatakan oleh laki-laki paruh baya itu, tidak ada yang bisa dilakukan selain bersabar menanti keajaiban. Jika jalan yang ditemui telah buntu, satu-satunya harapan adalah kehendak dari Tuhan.
“Kalian pulanglah. Tenangkan diri kalian. Dan kau, Juna. Yakinlah bahwa adikmu pasti baik-baik saja,” ucap laki-laki paruh baya itu.
Tanpa mengeluarkan kata, Juna mau pun Zaki memilih beranjak yang diikuti oleh Reandra kemudian. Namun, saat kaki Reandra hampir mencapai pintu keluar, silau cahaya menarik atensi pemuda itu. Seberkas cahaya terang terpantul ke arah Reandra. Pemuda itu mendekat dan menemukan liontin antik yang begitu indah. Jemari pemuda itu meraih liontin itu dan seketika cahaya terangnya meredup.
Dari ruang tengah toko, laki-laki paruh baya itu kembali tersenyum tipis melihat Reandra. Sejak pertama kali pemuda itu menginjakkan kaki di toko barang antik, laki-laki paruh baya itu tidak dapat melepaskan perhatiannya terhadap Reandra.
“Aku memang tidak salah mengira. Pemuda pembawa cahaya harapan telah datang,” ucap lirih laki-laki paruh baya itu sebelum akhirnya memilih beranjak mendekati Reandra.
Pemuda bertelinga unik itu masih sibuk dengan benda di tangannya. Reandra tengah sibuk mengagumi keindahan dari pola bintang pada liontin kalung. Hingga pemuda itu tidak sadar bahwa sang pemilik toko sudah berada di dekatnya. Laki-laki paruh baya yang telah mengamati tingkah Reandra dari dekat mencoba untuk menyapa dengan ramah. Namun, ternyata hal itu mengundang keterkejutan pada diri Reandra.
“Apa ada yang membuatmu tertarik, Nak?” tanya laki-laki paruh baya itu.
Reandra menunjuk liontin yang masih terpajang pada etalase kaca. “Bisakah aku membeli liontin itu?” tanya Reandra.
Laki-laki paruh baya tersenyum tipis. Tangan rentanya meraih liontin yang ditunjuk oleh Reandra. Ada sendu yang terlihat dari pandangan Reandra saat menatap laki-laki paruh baya itu.
“Liontin ini milik putriku. Tapi aku rasa liontin ini telah menemukan pemiliknya yang baru,” ujar laki-laki paruh baya itu. “Ambil saja liontion ini. Putriku akan senang jika ada yang merawat benda kesayangannya,” lanjutnya dengan menyerahkan liontin berbandul bintang bersinar.
Mata bulat meruncing itu terkesiap. Reandra memang tertarik dengan liontin itu, tetapi pemuda itu berniat ingin membelinya bukan menerima cuma-cuma seperti saat ini. Pemuda itu ingin menolak, hanya saja saat akan berucap laki-laki paruh baya itu mengatakan sesuatu yang membuat Reandra semakin terkejut.
“Liontin ini akan membantu menjawab pertanyaanmu selama ini,” ucap laki-laki paruh baya itu.
“Sebenarnya Paman ini siapa?” tanya Reandra. Pemuda itu belum mengambil liontin yang diserahkan oleh laki-laki paruh baya itu.
“Apa Juna tidak pernah menceritakan orang tuanya kepadamu?” Laki-laki paruh baya itu memilih kembali bertanya.
Reandra hanya memberikan jawaban berupa gelengan kepala.
“Aku pikir anak itu akan terbuka banyak hal kepadamu. Aku lihat kalian cukup dekat. Tapi ternyata Juna masih menjadi sosok yang suka menyimpan semua sendiri. Aku Ayah dari rekan kerjamu itu. Kau bisa memanggilku Amerta,” ucap laki-laki paruh baya itu dengan senyuman tipis.
Tubuh jangkung itu mematung saat mendengar nama Amerta disebutkan. Reandra tidak bodoh untuk menyadari siapa sosok di hadapan pemuda itu. Degup jantung pemuda itu terpacu menatap tidak percaya. Di hadapan Reandra adalah Profesor Amerta, salah satu rekan kerja dari sang Ayah.
“Bagaimana mungkin Paman masih hidup? Bukankah semua tidak ada yang selamat dari ledakan itu?” tanya Reandra dengan deru napas tidak teratur. Tubuh pemuda itu bahkan sudah bergetar hebat bersiap untuk tumbang. Namun, ada sebuah fakta yang cukup memukul hati pemuda itu.
“Ayahmu berkorban untuk kami semua....”
“Ayahmu berkorban untuk kami semua....” Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu. “Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.&nbs
Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami. "Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa. Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar. Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pem
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Reandra tersenyum tipis setelah mengucapkan terima kasih kepada Zaki yang telah mengantarkan pemuda itu pulang. Namun, Reandra tidak sepenuhnya pulang. Pemuda itu berhenti di halte yang dekat dengan rumahnya untuk menunggu Angkasa. Pemuda pemuja teknologi itu baru saja menghubungi untuk mengajak Reandra makan bersama. “Kamu bersama siapa tadi?” tanya Angkasa saat baru saja pemuda itu memarkirkan kendaraan terbang miliknya. “Kenalanku,” jawab Reandra. “Ada apa? Tumben sekali kamu mengajakku untuk makan bersama?" tanya pemuda itu. Angkasa hanya tersenyum penuh arti sebelum menggiring Reandra untuk memasuki kendaraan terbang. Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, begitu pula dengan Reandra. “Aku yakin pasti ada apa-apa melihatmu yang diam seperti sekarang ini,” ucap Reandra memecah keheningan. Tatapan tajam pemuda itu menghunus tepat ke arah Angkasa. Namun, lagi-lagi Angkasa hanya tersenyum penuh makna. Tidak memberikan jawaban yang Reandra in
Gaduh. Kota Metrolium benar-benar tampak kacau setelah pemberitahuan dari otoritas keamanan pemerintah masuk pada sistem jaringan masyarakat. Semua orang tampak semakin geram dengan banyaknya larangan yang mulai mengikat. Tidak hanya itu saja, orang-orang juga mulai tampak lelah dengan kekangan yang dilakukan oleh pemerintah. “Sepertinya masyarakat mulai menyadari ada hal yang salah dengan pemerintahan ini,” ujar Reandra saat pemuda itu melihat sekelilingnya. Angkasa mengangguk setuju. Pemuda pemuja teknologi itu menghela napas sebentar sebelum melanjutkan langkah. Dua pemuda itu sudah selesai dengan urusan pembicaraan pribadi mereka. Namun, ternyata saat mereka berdua sedang fokus berbincang, pemberitahuan tidak menyenangkan itu datang. “Menurutmu apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Angkasa kepada Reandra. Pemuda yang lebih tinggi dari Angkasa itu menoleh sebentar sebelum menunjuk ke arah papan hologram yang baru saja mengganti saluran iklan.