“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan.
Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan.
“Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh.
Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan.
“Setidak
Halo semua... Maaf ya Sabitah baru bisa lanjut kembali setelah minggu lalu terpaksa hiatus. Semoga kalian suka dengan cerita ini. Selamat membaca ^^
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Reandra tersenyum tipis setelah mengucapkan terima kasih kepada Zaki yang telah mengantarkan pemuda itu pulang. Namun, Reandra tidak sepenuhnya pulang. Pemuda itu berhenti di halte yang dekat dengan rumahnya untuk menunggu Angkasa. Pemuda pemuja teknologi itu baru saja menghubungi untuk mengajak Reandra makan bersama. “Kamu bersama siapa tadi?” tanya Angkasa saat baru saja pemuda itu memarkirkan kendaraan terbang miliknya. “Kenalanku,” jawab Reandra. “Ada apa? Tumben sekali kamu mengajakku untuk makan bersama?" tanya pemuda itu. Angkasa hanya tersenyum penuh arti sebelum menggiring Reandra untuk memasuki kendaraan terbang. Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, begitu pula dengan Reandra. “Aku yakin pasti ada apa-apa melihatmu yang diam seperti sekarang ini,” ucap Reandra memecah keheningan. Tatapan tajam pemuda itu menghunus tepat ke arah Angkasa. Namun, lagi-lagi Angkasa hanya tersenyum penuh makna. Tidak memberikan jawaban yang Reandra in
Gaduh. Kota Metrolium benar-benar tampak kacau setelah pemberitahuan dari otoritas keamanan pemerintah masuk pada sistem jaringan masyarakat. Semua orang tampak semakin geram dengan banyaknya larangan yang mulai mengikat. Tidak hanya itu saja, orang-orang juga mulai tampak lelah dengan kekangan yang dilakukan oleh pemerintah. “Sepertinya masyarakat mulai menyadari ada hal yang salah dengan pemerintahan ini,” ujar Reandra saat pemuda itu melihat sekelilingnya. Angkasa mengangguk setuju. Pemuda pemuja teknologi itu menghela napas sebentar sebelum melanjutkan langkah. Dua pemuda itu sudah selesai dengan urusan pembicaraan pribadi mereka. Namun, ternyata saat mereka berdua sedang fokus berbincang, pemberitahuan tidak menyenangkan itu datang. “Menurutmu apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Angkasa kepada Reandra. Pemuda yang lebih tinggi dari Angkasa itu menoleh sebentar sebelum menunjuk ke arah papan hologram yang baru saja mengganti saluran iklan.
Reandra duduk termenung pada meja yang berada di perpustakaan kecil miliknya. Di tangan pemuda itu telah ada sebuah buku catatan peninggalan kedua orang tuanya yang berisi tentang teka-teki Kota Metrolium. Buku itu hanya berisi gambaran kota yang tidak menyeluruh. “Aku tidak mengerti pesan apa yang ingin Ayah sampaikan kepadaku. Selama ini aku sudah berkeliling ke penjuru kota, tapi tidak pernah sedikit pun aku menjumpai suasana kota seperti dalam buku ini,” ujar Reandra. Mata bulat meruncing pemuda itu terpejam. Reandra mencoba mengingat apa yang terlewat dalam hidupnya. Namun, pemuda itu sama sekali tidak menemui satu pun memori saat dia kecil. Helaan napas terhembus begitu saja dari pembauan Reandra. Pemuda itu merasa sedikit lelah dengan semua kejadian tidak terduga dalam beberapa hari ini. “Aku merindukan Ayah dan Ibu. Biasanya jika aku tengah berada pada jalan buntu, Ayah dan Ibu selalu bisa memberikan pendapat juga pencerahan untukku.” Reandra menidurk
Kota Metrolium yang indah adalah impian setiap orang. Kota yang diliputi dengan banyak hal dan tentu saja berjalan secara seimbang. Perkembangan zaman boleh menjadi faktor yang membuat perubahan, tetapi tidak untuk mengikis sejarah Kota Metrolium. Itulah keinginan setiap peneliti saat berusaha semaksimal mungkin menciptakan teknologi yang seimbang. Namun, di tengah perjalanan mereka tentu banyak kerikil yang menghadang. Penolakan, pengkhianatan, dan keegoisan menjadi hal yang membuat semua terpecah belah. “Aku tidak menyetujui ide milikmu itu, Arya,” ujar seorang laki-laki paruh baya yang masih terlihat rupawan, Soka Chivalry. “Ayolah, Soka. Ide ini bisa membawa kejayaan untuk Kota Metrolium. Bisa kau bayangkan bagaimana kota ini akan menjadi pusat peradaban paling maju di dunia? Pasti semua akan mengagumi Kota Metrolium,” ujar Arya Bahtera. “Peradaban tetap harus berjalan dengan seimbang, Arya. Kita bisa mencip
Langit cerah membentang dalam kubah wilayah yang semakin hari luasnya semakin menyusut. Gumpalan awan putih menghiasi langit yang menjadi pemandangan indah di wilayah itu. Di atas sebuah gedung yang telah hancur, seorang gadis bermata bulat tengah memandang jauh ke arah area pertanian. Melihat para warga saling bahu membahu memanen hasil pertanian mereka, ada gurat senang sekaligus sedih terpancar pada raut wajah gadis itu. “Seharusnya mereka tidak mengalami kesulitan seperti saat ini jika mereka mengikuti pilihan yang pemerintah berikan. Tapi, mereka tetap di sini berjuang bersama-sama untuk peradaban yang lebih baik,” ujar gadis itu. Dari balik reruntuhan seorang pemuda berwajah pucat muncul dan menghampiri gadis itu. Merangkulnya dan memberikan kekuatan agar membuat gadis itu menjadi lebih tenang. Banyaknya tekanan yang diberikan otoritas keamanan cukup membuat gadis itu hampir kehilangan kepercayaan diri. “Semua pasti akan indah pada waktunya. Otoritas ke