Terik matahari di Kota Metrolium bersinar dengan redup. Meski bukan musim hujan, tetapi kota itu tetap terlihat sejuk pada setiap sudutnya. Di ruang penjaga perpustakaan, Reandra dan Angkasa masih berkutat pada tugas masing-masing. Sesekali menatap ke arah monitor lebar di hadapan mereka yang menyuguhkan pemandangan para pengunjung perpustakaan.
“Aku rasa perpustakaan memang tempat strategis untuk menjalankan banyak rencana pemberontakan. Bangunan yang tua dengan banyak ruangan cukup menarik minat masyarakat. Pengunjung perpustakaan saja tidak hanya datang untuk membaca atau meminjam buku. Ada juga yang sekadar datang untuk mengabadikan foto mereka,” ucap Reandra.
Setelah mereka memutuskan untuk mengesampingkan masalah peminjam buku yang menghilang, dua pemuda itu larut pada suasana perpustakaan yang terus ramai sepanjang waktu.
“Kau benar, Rean. Ada sudut-sudut bangunan yang begitu unik,” jawab Angkasa.
Dua pemuda itu tersenyum tipis sebelum memilih
Selamat malam, semua... Selamat membaca... Semoga suka ^^
“Cuaca sedikit mendung, sebaiknya sedia pelindung sebelum hujan....” Ting Klik “Perkenalkan teknologi yang akan memberikan kemudahan kepada manusia. Teknologi paling mutakhir yang ada di negeri ini....” Helaan napas terdengar berat keluar dari pembauan seorang pemuda. Menggunakan tangan yang menggenggam sepotong roti panggang dengan olesan selai cokelat, pemuda itu masih memusatkan pandangan pada acara televisi. Setiap harinya penyiar berita selalu menggaungkan tentang perkembangan teknologi di kota dengan kemajuan yang sangat tinggi.&n
Awan mendung di langit Kota Metrolium menjadi hiasan alami ketika hari mulai beranjak malam. Reandra dan Angkasa masih sibuk dengan pekerjaan mereka setelah menyudahi perbincangan tentang perkembangan teknologi dunia. Di samping itu, di sisi lain perpustakaan, seorang pemuda dengan wajah tegas tampak menatap sendu ke arah tetesan air yang turun. “Apa kabarmu di sana?” gumam pemuda itu. Perlahan tangan pemuda itu meraih selembar foto usang dari dompet. Dia tersenyum getir mengingat semua kenangan pahit yang harus membuat pemuda itu terpisah dengan orang terkasih. Juna Ardian, pemuda yang tengah menatap rintik hujan itu menghela napas untuk membuang sesak di dada. Selain sendu y
“Malam ini, kelompok jaringan ilegal telah diamankan oleh otoritas keamanan. Jaringan ini telah mencoba meretas sistem museum untuk mencuri benda terlarang yang di simpan di dalamnya. Hingga detik ini belum ada keterangan pasti terkait kejadian itu....” Pemuda dengan telinga unik itu mengeryit mendengar seruan pemberitaan yang sudah menggema di tengah pekatnya malam. Tidak dipungkiri bahwa pemberitaan itu cukup memberikan keterkejutan untuk Reandra. “Haish! Aku harus memastikan sesuatu,” ucap Reandra yang langsung beranjak dari pinggiran jendela. Namun, baru beberapa langkah, pemuda itu harus berhenti ketika terdapat pemberitahuan pada sistem jaringannya. Ting&n
Brakkk!!! “Kurang ajar! Cepat bereskan keamanan di wilayah tembok pembatas itu. Aku tidak ingin ada celah yang membuat berandal kecil itu bisa berkomunikasi dengan kota ini,” ujar seorang laki-laki paruh baya dengan wajah yang dingin seolah menggambarkan bahwa memang laki-laki itu tengah menahan amarah. Sedangkan suasana Kota Metrolium sedang dilanda banyak tanda tanya mengenai datangnya gelombang suara berfrekuensi rendah. Para masyarakat berhamburan keluar ruangan hanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tidak jauh berbeda dengan Reandra dan Angkasa yang kini tengah termenung bersama pikiran masing-masing. “Dari mana datangnya gelombang tadi?” tanya Angka
Ruangan yang berupa bangunan toko barang antik di sudut pusat perbelanjaan itu tampak begitu hening. Juna terdiam dengan rasa kalut menyelimuti. Laki-laki paruh baya yang tengah menanti salah satu dari pemuda di hadapannya untuk mengeluar kata-kata. Dan ada Reandra yang tidak mengerti kenapa ketua perpustakaan tempat pemuda itu bekerja terlihat begitu khawatir. Kedua bola mata bulat meruncing milik Reandra mulai menilik sekitar. Pemuda itu baru tersadar bahwa dirinya berada pada sebuah toko yang menjual berbagai barang-barang unik. Laki-laki paruh baya yang menanti adanya perbincangan tersenyum tipis melihat tingkah Reandra. “Apa ada yang membuatmu tertarik, nak?” Akhirnya laki-laki paruh baya itu mengeluarkan suara. &nbs
“Ayahmu berkorban untuk kami semua....” Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu. “Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.&nbs
Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami. "Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa. Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar. Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pem
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak