Awan mendung di langit Kota Metrolium menjadi hiasan alami ketika hari mulai beranjak malam. Reandra dan Angkasa masih sibuk dengan pekerjaan mereka setelah menyudahi perbincangan tentang perkembangan teknologi dunia. Di samping itu, di sisi lain perpustakaan, seorang pemuda dengan wajah tegas tampak menatap sendu ke arah tetesan air yang turun.
“Apa kabarmu di sana?” gumam pemuda itu.
Perlahan tangan pemuda itu meraih selembar foto usang dari dompet. Dia tersenyum getir mengingat semua kenangan pahit yang harus membuat pemuda itu terpisah dengan orang terkasih.
Juna Ardian, pemuda yang tengah menatap rintik hujan itu menghela napas untuk membuang sesak di dada. Selain sendu yang terlukis pada wajah tampannya, pemuda itu juga menyimpan kemarahan pada Kota Metrolium. Selepas menatap foto itu, gurat wajah Juna menjadi dingin. Pemuda itu mengepalkan tangannya erat sebelum beranjak dari ruangannya.
“Tunggulah sebentar lagi. Aku janji akan membawamu kembali,” ucap Juna dalam hati.
Perpustakaan mulai sepi dan hanya menyisakan beberapa orang yang masih tertahan di halaman depan. Gedung besar dengan dua belas lantai itu memang menjadi pusat pembelajaran di Kota Metrolium. Pemerintah melakukan pembatasan penyebaran buku kepada masyarakat agar membuat mereka mengunjungi perpustakaan kota.
“Tidak pulang?” tanya Juna saat melihat dua rekan kerjanya masih sibuk berkutat dengan layar digital.
“Hujan,” jawab Reandra singkat.
“Semua orang tahu bahwa sedang hujan saat ini,” ujar Juna sambil menggelengkan kepada. “Mau ikut pulang bersamaku? Aku bawa mobil,” ajaknya.
“Hei, Ketua Perpustakaan. Kau mengajak bocah itu untuk naik mobil terbangmu? Dia tidak akan mau.” Angkasa mencibir. Pemuda itu memang senang mencari masalah dengan Reandra.
Juna yang memiliki posisi sebagai ketua perpustakaan tersenyum tipis. Sedangkan Reandra, pemuda itu memilih tidak peduli.
“Bagaimana?” Juna kembali memberikan tawaran.
Namun, Reandra menanggapinya dengan gelengan. Dia tidak ingin merepotkan orang lain. Lagi pula dalam penyimpanan digitalnya juga ada jas hujan yang bisa digunakan. Pemuda bertelinga unik itu memang tengah ingin menikmati setiap tetes hujan yang turun.
“Ya sudah. Aku pulang dulu. Jangan lupa kunci perpustakaan sebelum kalian pulang,” titah Juna sebelum beranjak meninggalkan Reandra dan Angkasa.
“Kau tidak mau pulang?” tanya Angkasa kepada Reandra.
“Pulanglah dulu. Aku masih nyaman di sini.” Reandra menjawab dengan tatapan fokus ke arah layar digital.
“Baiklah kalau kau masih betah di sini. Aku pulang dulu.” Angkasa mulai beranjak. Namun, pemuda itu tiba-tiba berhenti dan memandangan ke arah Reandra. “Carilah folder rahasia dalam sistem jaringanku. Itu mungkin akan membantu risetmu,” ujarnya kemudian.
Reandra hanya tersenyum tipis. Meski rekan kerjanya itu menyebalkan, tetapi Angkasa memiliki cara tersendiri dalam menggali informasi.
“Dasar pencuri kecil,” ejek Reandra saat pemuda itu mulai mengunjungi folder yang disebutkan Angkasa. Namun, pemuda itu tersenyum tipis saat beberapa informasi tentang perkembangan teknologi dia dapatkan dari folder itu. “Tidak salah aku menyebutnya pemuja teknologi,” ujarnya.
Meski telah mendapatkan informasi tambahan dari folder rahasia milik Angkasa, Reandra tetap berselancar pada sistem jaringan pemerintah. Kegiatan itu tentu memiliki risiko mengenai otoritas keamanan. Namun, Reandra tetap melakukannya demi setitik informasi untuk mengungkap setiap pertanyaan yang muncul di kepala pemuda itu.
“Peringatan ... peringatan! Anda telah melanggar wilayah akses yang diperkenankan oleh otoritas keamanan pemerintah. Silakan kembali kepada menu awal....”
Reandra menyandarkan tubuhnya pada kursi. Raut lelah pada wajah pemuda itu begitu terlihat. Reandra bukan lelah karena pekerjaannya, melainkan karena setiap usaha yang pemuda itu lakukan untuk mencari informasi pada sistem jaringan kota, pasti tidak akan menemui hasil.
“Bagaimana mungkin sistem jaringan yang begitu luas tidak memiliki satu pun informasi akurat? Bahkan dalam mesin pencarian tidak muncul ketika aku mengetikkan papan luncur kayu.” Reandra mengusak pelan rambutnya.
Hujan di luar masih terdengar. Bukan hal yang mengherankan jika hujan selalu bertahan selama berjam-jam, bahkan bisa seharian penuh. Hal itu pun mengundang tanda tanya bagi Reandra. Musim pada dunia ini seperti dapat dipermainkan. Seolah pergantian musim adalah perihal keinginan. Jika dirimu menginginkan musim panas, maka dalam sekejap matahari akan bersinar dengan hangat. Atau dirimu menginginkan musim dingin, maka keesokan harinya salju akan turun padahal itu sangat mustahil bagi daerah khatulistiwa yang seharusnya memiliki suhu hangat.
“Andai kematian Ayah dan Ibu karena sesuatu yang wajar, mungkin aku tidak akan berusaha sekeras ini untuk mengungkap semuanya,” ujar Reandra lirih.
Pemuda tinggi bertelinga unik itu akhirnya memilih beranjak untuk pulang. Setelah memanggil menu jas hujan pada jaringan penyimpanan, Reandra mulai melangkah keluar. Terlihat jalanan yang basah dengan genangan air menghiasi dan hujan juga tinggal menyisakan rintik. Namun, beberapa orang memilih bertahan untuk berteduh walau sebenarnya mereka memiliki teknologi mutakhir agar tidak perlu takut dengan basahnya air hujan. Misalnya, baju anti air yang bisa menyesuaikan dengan suhu lingkungan. Atau payung hologram yang bisa melindungi keseluruhan tubuh walau terlihat begitu transparan.
Reandra mulai meluncur dengan papan usangnya. Menikmati waktu menjelang malam yang seolah tidak pernah ada lelah. Kota Metrolium memang begitu ramai dan entah bisa dikatakan damai atau tidak. Walau nyatanya kejahatan tidak ada lagi di kota ini. Ruang penjara hanya berisikan orang-orang ilegal yang entah berasal dari negara mana. Mereka tidak memiliki kode keanggotaan yang terhubung ke seluruh benua di bumi ini.
Klik
“Selamat datang. Apakah harimu menyenangkan?....”
Begitulah suara robot pengingat saat menyambut kedatangan Reandra.
“Ery, tampilkan data pemberitaan hari ini,” ujar Reandra kepada robot pengingat.
Ketahuilah, pemuda itu tidak benar-benar mengabaikan kemudahan teknologi. Reandra hanya menggunakan teknologi yang benar-benar pemuda itu butuhkan saja. Setelah memberikan perintah, robot pengingat mulai mengirimkan data ke dalam sistem jaringan pribadi milik Reandra.
“Tidak ada yang menarik. Oh apa ini?” seru Reandra saat mendapati beberapa artikel tentang persoalan lubang ozon yang muncul di wilayah pegunungan sebelah barat. “Wah! Ini pemerintah serius mengabaikan persoalan itu? Padahal itu bukan masalah ringan. Jika lubang ozon semakin meluas juga akan berdampak pada kesehatan masyarakat,” lanjutnya.
Pemuda itu masih berlanjut memeriksa beberapa artikel. Namun, semua informasi itu tidak bisa memberikan sedikit saja kesimpulan dari setiap rasa penasaran Reandra.
“Bagaimana mungkin setiap informasi tentang ilmu alam tidak ada? Bahkan perihal tumbuhan pun seolah tenggelam dengan pengetahuan tentang teknologi. Setiap hari laman pemberitaan selalu dipenuhi dengan informasi teknologi terbaru. Sebenarnya ke mana semua peradaban lama di Kota Metrolium ini?” ucap Reandra dengan kedua bola matanya masih menatap lekat ke arah artikel yang dia baca.
Reandra menelisik ruangan yang ada di dalam rumah. Pemuda itu mendekati rak di dekat meja dan mengambil sebuah buku. Pemuda itu membaca setiap kata yang ada, tetapi lagi-lagi dia tidak mengerti kenapa di dalam buku itu menjelaskan hal berbeda dengan kenyataan.
“Tanah hijau? Hutan hujan? Bahkan savana? Apa maksudnya? Apa seperti hamparan rumput sintetis yang dibentang dari ujung pusat kota hingga monumen negara? Aku tidak mengerti ini. Kenapa Ayah mencatat semua hal yang tidak bisa aku temui di kota ini?” Reandra memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja terasa pusing.
Pemuda itu memilih untuk menutup buku lantas berjalan menuju ke dekat jendela. Menyelami malam yang semakin ramai dengan sisa-sisa air hujan. Lalu lalang kendaraan terbang pun masih begitu bising memenuhi jalanan.
“Apa mereka tidak lelah?” tanya Reandra ketika melihat pemandangan yang setiap hari dia lalui.
Kota Metrolium memang seperti tidak pernah tidur. Kesibukan selalu menjadi penghias setiap harinya. Bahkan hingga pagi menjelang, kendaraan-kendaraan terbang itu masih sibuk memenuhi setiap ruas jalan.
Reandra semakin dibuat bimbang. Di dunia ini tidak ada selain teknologi yang dikembangkan. Di sekolah pun pelajaran yang diberikan hanya seputar teknologi dan sejarah kota dengan penggambaran mengagumkan. Hingga semua itu membuat banyak orang semakin tergiur dengan teknologi dan melupakan bencana apa yang dapat mereka jumpai di kemudian hari.
Pemuda dengan sorot mata bulat meruncing itu memindai sekitar. Kernyitan di dahinya tiba-tiba muncul ketika melihat berbondong-bondong petugas otoritas keamanan melalui jalanan di dekat rumahnya. Biasanya jika otoritas keamanan bertindak, maka telah terjadi pelanggaran berat terkait jaringan keamanan pemerintah.
Ting
“Sistem keamanan pada jaringan Anda telah ditingkatkan sesuai dengan peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh otoritas keamanan pemerintah. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan....”
“Malam ini, kelompok jaringan ilegal telah diamankan oleh otoritas keamanan. Jaringan ini telah mencoba meretas sistem museum untuk mencuri benda terlarang yang di simpan di dalamnya. Hingga detik ini belum ada keterangan pasti terkait kejadian itu....” Pemuda dengan telinga unik itu mengeryit mendengar seruan pemberitaan yang sudah menggema di tengah pekatnya malam. Tidak dipungkiri bahwa pemberitaan itu cukup memberikan keterkejutan untuk Reandra. “Haish! Aku harus memastikan sesuatu,” ucap Reandra yang langsung beranjak dari pinggiran jendela. Namun, baru beberapa langkah, pemuda itu harus berhenti ketika terdapat pemberitahuan pada sistem jaringannya. Ting&n
Brakkk!!! “Kurang ajar! Cepat bereskan keamanan di wilayah tembok pembatas itu. Aku tidak ingin ada celah yang membuat berandal kecil itu bisa berkomunikasi dengan kota ini,” ujar seorang laki-laki paruh baya dengan wajah yang dingin seolah menggambarkan bahwa memang laki-laki itu tengah menahan amarah. Sedangkan suasana Kota Metrolium sedang dilanda banyak tanda tanya mengenai datangnya gelombang suara berfrekuensi rendah. Para masyarakat berhamburan keluar ruangan hanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tidak jauh berbeda dengan Reandra dan Angkasa yang kini tengah termenung bersama pikiran masing-masing. “Dari mana datangnya gelombang tadi?” tanya Angka
Ruangan yang berupa bangunan toko barang antik di sudut pusat perbelanjaan itu tampak begitu hening. Juna terdiam dengan rasa kalut menyelimuti. Laki-laki paruh baya yang tengah menanti salah satu dari pemuda di hadapannya untuk mengeluar kata-kata. Dan ada Reandra yang tidak mengerti kenapa ketua perpustakaan tempat pemuda itu bekerja terlihat begitu khawatir. Kedua bola mata bulat meruncing milik Reandra mulai menilik sekitar. Pemuda itu baru tersadar bahwa dirinya berada pada sebuah toko yang menjual berbagai barang-barang unik. Laki-laki paruh baya yang menanti adanya perbincangan tersenyum tipis melihat tingkah Reandra. “Apa ada yang membuatmu tertarik, nak?” Akhirnya laki-laki paruh baya itu mengeluarkan suara. &nbs
“Ayahmu berkorban untuk kami semua....” Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu. “Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.&nbs
Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami. "Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa. Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar. Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pem
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Terik matahari di Kota Metrolium bersinar dengan redup. Meski bukan musim hujan, tetapi kota itu tetap terlihat sejuk pada setiap sudutnya. Di ruang penjaga perpustakaan, Reandra dan Angkasa masih berkutat pada tugas masing-masing. Sesekali menatap ke arah monitor lebar di hadapan mereka yang menyuguhkan pemandangan para pengunjung perpustakaan. “Aku rasa perpustakaan memang tempat strategis untuk menjalankan banyak rencana pemberontakan. Bangunan yang tua dengan banyak ruangan cukup menarik minat masyarakat. Pengunjung perpustakaan saja tidak hanya datang untuk membaca atau meminjam buku. Ada juga yang sekadar datang untuk mengabadikan foto mereka,” ucap Reandra. Setelah mereka memutuskan untuk mengesampingkan masalah peminjam buku yang menghilang, dua pemuda itu larut pada suasana perpustakaan yang terus ramai sepanjang waktu. “Kau benar, Rean. Ada sudut-sudut bangunan yang begitu unik,” jawab Angkasa. Dua pemuda itu tersenyum tipis sebelum memilih
Langit cerah membentang dalam kubah wilayah yang semakin hari luasnya semakin menyusut. Gumpalan awan putih menghiasi langit yang menjadi pemandangan indah di wilayah itu. Di atas sebuah gedung yang telah hancur, seorang gadis bermata bulat tengah memandang jauh ke arah area pertanian. Melihat para warga saling bahu membahu memanen hasil pertanian mereka, ada gurat senang sekaligus sedih terpancar pada raut wajah gadis itu. “Seharusnya mereka tidak mengalami kesulitan seperti saat ini jika mereka mengikuti pilihan yang pemerintah berikan. Tapi, mereka tetap di sini berjuang bersama-sama untuk peradaban yang lebih baik,” ujar gadis itu. Dari balik reruntuhan seorang pemuda berwajah pucat muncul dan menghampiri gadis itu. Merangkulnya dan memberikan kekuatan agar membuat gadis itu menjadi lebih tenang. Banyaknya tekanan yang diberikan otoritas keamanan cukup membuat gadis itu hampir kehilangan kepercayaan diri. “Semua pasti akan indah pada waktunya. Otoritas ke
Kota Metrolium yang indah adalah impian setiap orang. Kota yang diliputi dengan banyak hal dan tentu saja berjalan secara seimbang. Perkembangan zaman boleh menjadi faktor yang membuat perubahan, tetapi tidak untuk mengikis sejarah Kota Metrolium. Itulah keinginan setiap peneliti saat berusaha semaksimal mungkin menciptakan teknologi yang seimbang. Namun, di tengah perjalanan mereka tentu banyak kerikil yang menghadang. Penolakan, pengkhianatan, dan keegoisan menjadi hal yang membuat semua terpecah belah. “Aku tidak menyetujui ide milikmu itu, Arya,” ujar seorang laki-laki paruh baya yang masih terlihat rupawan, Soka Chivalry. “Ayolah, Soka. Ide ini bisa membawa kejayaan untuk Kota Metrolium. Bisa kau bayangkan bagaimana kota ini akan menjadi pusat peradaban paling maju di dunia? Pasti semua akan mengagumi Kota Metrolium,” ujar Arya Bahtera. “Peradaban tetap harus berjalan dengan seimbang, Arya. Kita bisa mencip
Reandra duduk termenung pada meja yang berada di perpustakaan kecil miliknya. Di tangan pemuda itu telah ada sebuah buku catatan peninggalan kedua orang tuanya yang berisi tentang teka-teki Kota Metrolium. Buku itu hanya berisi gambaran kota yang tidak menyeluruh. “Aku tidak mengerti pesan apa yang ingin Ayah sampaikan kepadaku. Selama ini aku sudah berkeliling ke penjuru kota, tapi tidak pernah sedikit pun aku menjumpai suasana kota seperti dalam buku ini,” ujar Reandra. Mata bulat meruncing pemuda itu terpejam. Reandra mencoba mengingat apa yang terlewat dalam hidupnya. Namun, pemuda itu sama sekali tidak menemui satu pun memori saat dia kecil. Helaan napas terhembus begitu saja dari pembauan Reandra. Pemuda itu merasa sedikit lelah dengan semua kejadian tidak terduga dalam beberapa hari ini. “Aku merindukan Ayah dan Ibu. Biasanya jika aku tengah berada pada jalan buntu, Ayah dan Ibu selalu bisa memberikan pendapat juga pencerahan untukku.” Reandra menidurk
Gaduh. Kota Metrolium benar-benar tampak kacau setelah pemberitahuan dari otoritas keamanan pemerintah masuk pada sistem jaringan masyarakat. Semua orang tampak semakin geram dengan banyaknya larangan yang mulai mengikat. Tidak hanya itu saja, orang-orang juga mulai tampak lelah dengan kekangan yang dilakukan oleh pemerintah. “Sepertinya masyarakat mulai menyadari ada hal yang salah dengan pemerintahan ini,” ujar Reandra saat pemuda itu melihat sekelilingnya. Angkasa mengangguk setuju. Pemuda pemuja teknologi itu menghela napas sebentar sebelum melanjutkan langkah. Dua pemuda itu sudah selesai dengan urusan pembicaraan pribadi mereka. Namun, ternyata saat mereka berdua sedang fokus berbincang, pemberitahuan tidak menyenangkan itu datang. “Menurutmu apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Angkasa kepada Reandra. Pemuda yang lebih tinggi dari Angkasa itu menoleh sebentar sebelum menunjuk ke arah papan hologram yang baru saja mengganti saluran iklan.
Reandra tersenyum tipis setelah mengucapkan terima kasih kepada Zaki yang telah mengantarkan pemuda itu pulang. Namun, Reandra tidak sepenuhnya pulang. Pemuda itu berhenti di halte yang dekat dengan rumahnya untuk menunggu Angkasa. Pemuda pemuja teknologi itu baru saja menghubungi untuk mengajak Reandra makan bersama. “Kamu bersama siapa tadi?” tanya Angkasa saat baru saja pemuda itu memarkirkan kendaraan terbang miliknya. “Kenalanku,” jawab Reandra. “Ada apa? Tumben sekali kamu mengajakku untuk makan bersama?" tanya pemuda itu. Angkasa hanya tersenyum penuh arti sebelum menggiring Reandra untuk memasuki kendaraan terbang. Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, begitu pula dengan Reandra. “Aku yakin pasti ada apa-apa melihatmu yang diam seperti sekarang ini,” ucap Reandra memecah keheningan. Tatapan tajam pemuda itu menghunus tepat ke arah Angkasa. Namun, lagi-lagi Angkasa hanya tersenyum penuh makna. Tidak memberikan jawaban yang Reandra in
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat