Brakkk!!!
“Kurang ajar! Cepat bereskan keamanan di wilayah tembok pembatas itu. Aku tidak ingin ada celah yang membuat berandal kecil itu bisa berkomunikasi dengan kota ini,” ujar seorang laki-laki paruh baya dengan wajah yang dingin seolah menggambarkan bahwa memang laki-laki itu tengah menahan amarah.
Sedangkan suasana Kota Metrolium sedang dilanda banyak tanda tanya mengenai datangnya gelombang suara berfrekuensi rendah. Para masyarakat berhamburan keluar ruangan hanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tidak jauh berbeda dengan Reandra dan Angkasa yang kini tengah termenung bersama pikiran masing-masing.
“Dari mana datangnya gelombang tadi?” tanya Angkasa.
Reandra sendiri masih terdiam. Pemuda itu tengah memikirkan suara samar yang dia tangkap ketika gelombang suara itu merambat melalui udara. Meski tidak terdengar jelas, tetapi Reandra yakin bahwa itu adalah suara seorang perempuan.
“Rean, kau sedang memikirkan apa?” Angkasa melihat gelagat aneh dari Reandra.
“Apa tadi kau mendengar sesuatu?” tanya Reandra.
“Tidak. Aku hanya mendengar suara dengingan,” jawab Angkasa.
Pemuda itu semakin bingung dengan asal usul pesan samar itu. Kenapa tidak semua orang bisa mendengarkannya? Atau memang pesan itu sengaja dikirim hanya untuk Reandra?
“Ada apa?” tanya Angkasa saat melihat raut wajah Reandra
“Aku seperti mendengar sesuatu bersamaan dengan datangnya gelombang suara. Seperti seseorang mengucapkan kalimat ‘tolong aku’, hanya saja itu terdengar begitu samar,” ujar Reandra menjelaskan.
“Hah? Kau serius? Tidak mudah bagi manusia menciptakan gelombang suara berfrekuensi sangat rendah untuk menyampaikan pesan. Dan kita sendiri juga memiliki batas frekuensi yang bisa kita dengar.” Angkasa menatap Reandra tidak percaya.
Reandra sangat paham tentang teori itu. Namun, pemuda itu juga tidak berbohong tentang suara sama yang dia dengar. Pemuda bertelinga unik itu mengusap wajahnya dengan kasar. Reandra masih menerka pemilik suara samar yang dia dengar.
Di sisi lain dari Kota Metrolium, Juna Ardian juga tengah merasa tidak tenang setelah gelombang suara itu menyapa. Pemuda itu sangat tahu siapa yang berusaha mengirimkan pesan melalui rambatan udara. Tidak dipungkiri di hati Juna tercipta rasa khawatir yang begitu besar.
“Kenapa kau melakukan semua ini? Apa kau di sana tidak baik-baik saja?” gumam Juna dengan raut wajah sendu.
Pemuda itu terus mondar-mandir di ruang apartemennya. Juna memikirkan kemungkinan yang akan terjadi setelah kejadian ini. Permasalahan jaringan ilegal saja belum usai, tetapi sekarang sudah ada permasalahan yang baru. Dan kali ini dapat dipastikan otoritas keamanan pemerintah akan bertindak lebih cepat.
“Aku harus ke pusat perbelanjaan,” ujar Juna yang langsung menyambar jaket dan bergegas pergi.
Sedangkan di rumah minimalis Reandra, pemuda itu juga tengah bersiap untuk pergi bersama rekan kerjanya, Angkasa. Beberapa menit yang lalu setelah tidak mendapatkan titik terang tentang suara samar itu, Reandra dan Angkasa memutuskan untuk melihat kondisi di luar. Barangkali di luaran sana mereka akan menemukan orang lain yang juga mendengar pesan yang merambat melalui gelombang suara tadi.
Reandra telah meluncur dengan papan kayu usang yang telah menemani perjalanannya, sedangkan Angkasa mengendarai skuter terbang miliknya. Sepanjang jalan, mereka bisa menangkap beberapa obrolan masyarakat yang juga heran dengan datangnya gelombang suara tadi. Bahkan beberapa orang bercerita dengan heboh saat denging dari gelombang suara tadi hampir memecahkan gendang telinga.
“Itu sangat mengejutkan. Dengingnya seperti akan membuatku tidak bisa mendengar suara.”
“Gelombang suara yang sangat tinggi tidak mudah diciptakan begitu saja. Siapa kira-kira yang melakukan semua itu?”
“Aku hampir kehilangan pendengaranku karena denging tadi.”
Itu sebagian percakapan yang Reandra dan Angkasa dengarkan. Masih dengan kendaraan masing-masing, mereka tanpa sadar telah melesat menuju pusat perbelanjaan. Reandra bahkan sampai menghentikan laju papan luncurnya saat pemuda itu telah berhenti di depan gedung yang memilih puluhan lantai.
“Apa kau mau masuk?” tanya Angkasa kepada Reandra. Pemuda pemuja teknologi itu sangat tahu bahwa Reandra biasanya akan enggan untuk memasuki gedung yang memiliki puluhan lantai.
Namun, sepertinya Reandra memang sedang kerasukan sesuatu. Pemuda itu mengangguk sekilas kemudian melangkah menuju ke arah pintu masuk pusat perbelanjaan meninggalkan Angkasa yang menatap Reandra tidak percaya. Langkah Reandra terhenti saat robot pemeriksaan menghadang langkahnya. Sensor pemindaian mulai berjalan dari layar kecil robot itu. Sebuah sistem pemeriksaan mutakhir tanpa harus menggunakan tenaga manusia. Sistem itu lebih akurat dalam melakukan pemeriksaan daripada hanya menggunakan metal detector.
“Benda yang Anda bawa tidak dapat dibawa masuk. Silakan simpan melalui kode jaringan berikut ini,” ujar robot pemeriksaan dengan suara khasnya.
Reandra, pemuda itu memilih menuruti permintaan dari robot pemeriksaan. Setelah menitipkan papan luncurnya, Reandra dan Angkasa segera memasuki pusat perbelanjaan yang tampak tidak begitu ramai. Mungkin karena masih hari kerja, jadi orang-orang masih berkutat pada pekerjaan mereka.
“Tidak pernah ada yang berubah. Oh lihatlah semua ini, sungguh membuat mata menjadi segar kembali,” ucap Angkasa mengagumi betapa banyak teknologi yang ditawarkan di pusat perbelanjaan.
Reandra hanya mendengkus menanggapi rekan kerjanya. Pemuda pemilik telinga unik itu memilih berkeliling dan meninggalkan Angkasa dengan dunianya sendiri. Di pusat perbelanjaan, sistem jaringan yang digunakan sangatlah berbeda. Bangunan dengan puluhan lantai ini memiliki sistem keamanan tinggi juga jaringan yang begitu rumit sehingga sangat sulit untuk dijangkau. Sistem jaringan pada pusat perbelanjaan memiliki jalur tersendiri, berbeda dengan sistem jaringan yang digunakan oleh para masyarakat kota.
Langkah kaki Reandra mulai memasuki bagian awal dari bangunan. Pandangan pemuda itu menelisik sekitar mencari hal menarik untuk diteliti. Hingga kedua bola mata meruncingnya menangkap sosok yang begitu Reandra kenal. Pemuda itu memicing heran dan mencoba meyakinkan diri bahwa pemuda itu tidak salah lihat.
“Bukankah itu Juna? Sedang apa dia di sana?” ujar Reandra lirih.
Jauh di hadapan pemuda itu, memang terlihat Juna tengah berbincang serius dengan seorang laki-laki paruh baya. Sesekali Reandra juga melihat jika laki-laki paruh baya itu seperti sedang menenangkan Juna.
Reandra mencoba melangkah mendekat untuk menyapa ketua perpustakaan yang juga merupakan rekan kerjanya. Pemuda itu masih melangkah dengan tenang. Semakin mendekat ke arah Juna, perlahan Reandra juga bisa mendengarkan percakapan dua orang yang berbeda usia itu.
“Dia mengirimkan pesan. Apa dia akan baik-baik saja?” ujar Juna.
Laki-laki paruh baya itu hanya menghela napas memaklumi.
“Apa itu tidak akan apa-apa?” Juna kembali bertanya. Pemuda itu tidak bisa berbohong bahwa dia tengah dilanda rasa khawatir.
“Adikmu pasti akan baik-baik saja. Tenangkan dirimu. Pasti ada alasan kenapa adikmu mencoba menyampaikan pesan itu,” ujar laki-laki paruh baya.
Juna menghela napas sejenak mencoba menghilangkan rasa khawatir dalam hati. Pemuda itu terlalu menyayangi adiknya yang terpisah akibat ketamakan pemerintahan Kota Metrolium.
Reandra terdiam sesaat. Pemuda bertelinga unik itu memang tidak tahu menahu bahwa ketua perpustakaan yang selama ini Reandra kenal memiliki keluarga. Namun, beberapa detik kemudian Reandra tersadar akan kata-kata yang dikeluarkan oleh laki-laki paruh baya itu.
“Pesan? Atau jangan-jangan?” gumam Reandra lantas bergegas mendekati Juna.
Derap kaki Reandra yang sedikit menggema menarik atensi laki-laki paruh baya saat akan kembali memberikan kalimat penenang kepada Juna. Ada gurat senyuman tipis yang laki-laki paruh baya itu berikan saat tubuh Reandra semakin mendekat.
“Sepertinya pesan adikmu juga sampai kepada orang lain,” ujar laki-laki paruh baya dengan pandangan mengarah ke arah Reandra.
Juna yang mengikuti arah pandang laki-laki paruh baya itu tentu terkejut menatap kedatangan Reandra. Pemuda jangkung bertelinga unik itu tampak mengatur napas sebelum menatap penuh tanya ke arah Juna.
“Jadi, pesan melalui gelombang itu memang dari seseorang. Dan pengirimnya adalah adikmu, Ketua?” tanya Reandra.
Sedangkan Juna hanya terdiam. Pemuda itu tidak tahu apa yang harus dia katakan untuk menjelaskan semua kepada Reandra. Sebenarnya Juna cukup terheran kenapa Reandra juga bisa mendengar pesan itu. Pemuda itu menatap lekat ke arah Reandra, sebelum menjawab pertanyaan dari rekan kerjanya itu.
Juna menghela napas sejenak, “Iya. Sebenarnya—“
“Otoritas keamanan pemerintah telah memberikan keterangan mengenai gelombang suara berfrekuensi rendah yang menyebabkan dengingan keras. Ketua otoritas keamanan akan memastikan bahwa gelombang suara tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam sistem jaringan pemerintah....”
Ucapan Juna terpotong oleh suara penyiar berita. Raut wajah pemuda itu langsung memucat seketika.
“Naya....”
Ruangan yang berupa bangunan toko barang antik di sudut pusat perbelanjaan itu tampak begitu hening. Juna terdiam dengan rasa kalut menyelimuti. Laki-laki paruh baya yang tengah menanti salah satu dari pemuda di hadapannya untuk mengeluar kata-kata. Dan ada Reandra yang tidak mengerti kenapa ketua perpustakaan tempat pemuda itu bekerja terlihat begitu khawatir. Kedua bola mata bulat meruncing milik Reandra mulai menilik sekitar. Pemuda itu baru tersadar bahwa dirinya berada pada sebuah toko yang menjual berbagai barang-barang unik. Laki-laki paruh baya yang menanti adanya perbincangan tersenyum tipis melihat tingkah Reandra. “Apa ada yang membuatmu tertarik, nak?” Akhirnya laki-laki paruh baya itu mengeluarkan suara. &nbs
“Ayahmu berkorban untuk kami semua....” Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu. “Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.&nbs
Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami. "Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa. Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar. Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pem
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Reandra tersenyum tipis setelah mengucapkan terima kasih kepada Zaki yang telah mengantarkan pemuda itu pulang. Namun, Reandra tidak sepenuhnya pulang. Pemuda itu berhenti di halte yang dekat dengan rumahnya untuk menunggu Angkasa. Pemuda pemuja teknologi itu baru saja menghubungi untuk mengajak Reandra makan bersama. “Kamu bersama siapa tadi?” tanya Angkasa saat baru saja pemuda itu memarkirkan kendaraan terbang miliknya. “Kenalanku,” jawab Reandra. “Ada apa? Tumben sekali kamu mengajakku untuk makan bersama?" tanya pemuda itu. Angkasa hanya tersenyum penuh arti sebelum menggiring Reandra untuk memasuki kendaraan terbang. Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, begitu pula dengan Reandra. “Aku yakin pasti ada apa-apa melihatmu yang diam seperti sekarang ini,” ucap Reandra memecah keheningan. Tatapan tajam pemuda itu menghunus tepat ke arah Angkasa. Namun, lagi-lagi Angkasa hanya tersenyum penuh makna. Tidak memberikan jawaban yang Reandra in