“Malam ini, kelompok jaringan ilegal telah diamankan oleh otoritas keamanan. Jaringan ini telah mencoba meretas sistem museum untuk mencuri benda terlarang yang di simpan di dalamnya. Hingga detik ini belum ada keterangan pasti terkait kejadian itu....”
Pemuda dengan telinga unik itu mengeryit mendengar seruan pemberitaan yang sudah menggema di tengah pekatnya malam. Tidak dipungkiri bahwa pemberitaan itu cukup memberikan keterkejutan untuk Reandra.
“Haish! Aku harus memastikan sesuatu,” ucap Reandra yang langsung beranjak dari pinggiran jendela. Namun, baru beberapa langkah, pemuda itu harus berhenti ketika terdapat pemberitahuan pada sistem jaringannya.
Ting
“Sistem keamanan pada jaringan Anda telah ditingkatkan sesuai dengan peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh otoritas keamanan pemerintah. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan....”
“Tidak ada 24 jam dan sudah ditingkatkan keamanan jaringan? Kasus kali pasti benar-benar berat,” ucap Reandra.
Pemuda itu diam sesaat sebelum membolakan matanya dan segera mengakses sistem penyimpanannya. Tidak dipungkiri bahwa peningkatan sistem jaringan juga bisa memengaruhi file data yang belum disimpan dengan baik. Tentu Reandra tidak ingin kehilangan seluruh data yang telah dia peroleh selama ini.
“Semoga peningkatan ini tidak membawa pengaruh pada data-dataku,” ujar Reandra dengan sedikit gugup.
Tidak sampai lima menit berlalu, akhirnya pemuda itu bisa bernapas lega. Data-datanya masih aman. Otoritas keamanan pemerintah tidak mencurigai data itu sebagai sesuatu yang janggal. Meski demikian, Reandra perlu berhati-hati kembali agar tidak berurusan dengan otoritas keamanan yang bisa melakukan apa pun untuk membuat semua masyarakat tunduk.
Ting
“Satu pesan masuk dari Pemuja Teknologi....”
Atensi Reandra teralih ketika notifikasi di sistem jaringannya berbunyi. Angkasa, pemuda yang begitu mencintai teknologi mengirimkan pesan. Sebuah layar muncul ketika Reandra mengetuk notifikasi. Wajah rupawan Angkasa muncul dengan membawa pembahasan tentang masalah yang baru saja terjadi di kota ini.
“Rean, kau sudah tahu? Perpustakaan akan ditutup sementara sampai penyelidikan kasus selesai. Rumornya ada salah satu petugas pengawas yang ikut tergabung dalam jaringan ilegal itu. Dan satu lagi, berhati-hatilah dengan risetmu. Aku tidak tahu kenapa kau mencari semua itu, tapi aku rasa itu adalah hal penting untukmu. Otoritas keamanan bukan tandingan masyarakat biasa seperti kita....”
Pip
Pesan berakhir. Pemuda dengan telinga unik itu menghela napas setelah mendengarkan kalimat terakhir dari Angkasa. Mungkin memang Reandra harus mulai berhati-hati dengan otoritas keamanan. Lebih baik mencari aman daripada harus kehilangan semua kebenaran yang belum terungkap.
Reandra, pemuda itu memilih untuk merebahkan diri di sofa ruang tengah. Dia menatap langit-langit ruang sambil memikirkan berbagai hal. Malam telah larut walau nyatanya gelap malam terkalahkan oleh lampu-lampu kota yang begitu menyilaukan.
“Sepertinya aku harus melihat lebih dekat teknologi saat ini dan berkunjung ke pusat kota. Barangkali aku bisa menemukan sedikit informasi dari sana,” ujar pemuda itu lirih dengan pandangan yang enggan beralih dari langit-langit ruang.
Reandra tersenyum tipis mengingat bagaimana tekad sang Ayah ketika menyelesaikan misi penelitian. Itu sungguh sangat menarik untuk pemuda itu. Namun sayangnya, sang ayah tidak pernah menceritakan banyak hal tentang setiap penelitian yang dilakukan. Hanya sebatas memberitahu bahwa suatu saat Reandra akan mengerti kenapa sang Ayah melakukan semua itu hingga harus mengorbankan nyawanya.
“Aku tidak mengerti kenapa dulu Ayah begitu memperjuangkan penelitian itu. Bahkan ayah sampai harus meninggalkanku seorang diri di kota yang penuh misteri ini. Apa aku bisa memahami semua ini seperti yang Ayah harapkan?” ujar Reandra lirih.
Pemuda itu memilih menutup mata. Menyelami mimpi dengan banyak harapan yang melambung tinggi. Berharap saat mentari menyapa kembali, Kota Metrolium telah menjadi baik. Walau pada kenyataannya saat fajar telah mengintip dari balik pegunungan wilayah timur, kota dengan kemajuan sangat tinggi itu masihlah kota yang penuh dengan kebohongan besar.
“Selamat pagi ... saatnya bangun. Hari yang cerah telah menantimu.”
Klip
Pemuda bertelinga unik itu mengerjap perlahan setelah mematikan alarm pengingat yang terus berbunyi mengucapkan kata-kata yang sama. Mengumpulkan energi dan mencoba bangkit dari kursi sofa tempat pemuda itu menghabiskan malam.
Suara robot telah berdesing mengelilingi rumah untuk melakukan tugas kebersihan. Namun, hanya sebatas membersihkan debu dan sisanya semua dilakukan oleh Reandra sendiri. Pemuda itu seperti manusia yang ketinggalan zaman yang masih memanfaatkan alat-alat kebersihan yang menguras tenaga.
“Tubuh akan terasa lebih sehat jika sering digunakan untuk banyak aktivitas.” Itu ucapan Reandra yang pemuda itu lontarkan saat rekan kerjanya selalu memberikan cibiran.
Di Kota Metrolium sendiri sebenarnya memiliki teknologi mutakhir yang bisa ditanamkan pada sistem jaringan rumah. Teknologi pembersihan otomatis yang telah dimanfaatkan oleh banyak orang.
“Pemerintah Kota Metrolium telah mengumumkan terkait jaringan ilegal yang telah diamankan oleh otoritas keamanan. Untuk saat ini para anggota tersebut tengah menjalani pemeriksaan....”
Suara penyiar TV menggema di rumah minimalis Reandra. Meski layar sebesar 61 inci itu sebelumnya mati, tidak menghalangi pemerintah menyiarkan berita yang tentu menarik hampir semua atensi masyarakat. Jaringan di Kota Metrolium seluruhnya dikuasai oleh otoritas keamanan. Jadi mudah saja bagi pemerintah untuk menyalakan secara otomatis seluruh saluran informasi agar berita besar dapat tersebar dengan cepat.
Ting
Tong
“Pemuja Teknologi sedang berdiri di depan rumah....”
Pemuda yang tengah menyibukkan diri dengan bersih-bersih rumah akhirnya mengalihkan atensi ketika suara robot menggema di ruangan.
Ceklek
“Ada apa?” Tanpa basi-basi Reandra langsung menanyai maksud kedatangan Angkasa.
Terlihat jelas wajah rupawan Angkasa terganti dengan rasa lelah. Apa yang terjadi dengan pemuda pemuja teknologi itu?
“Aku semalam harus mengikuti diskusi dengan ketua perpustakaan gara-gara kau tidak dapat dihubungi. Kau ke mana saja? Kau tahu, aku kewalahan harus menghadapi setiap ocehan ketua. Dan lihat sekarang, wajah tampanku jadi buruk rupa,” protes Angkasa setelah Reandra mengizinkan dia masuk.
“Aku sepertinya sudah tidur. Memangnya ada apa?” Reandra memilih duduk berseberangan dengan Angkasa. Melupakan sejenak soal kegiatan bersih-bersih rumah.
“Petugas pengawas yang aku katakan semalam benar terlibat dengan jaringan ilegal. Saat ini perpustakaan tengah dilakukan penyelidikan untuk mengetahui data apa saja yang telah dicuri dan diretas oleh jaringan itu. Selain berdiskusi dengan ketua, aku juga sibuk memindahkan data agar terhindar dari pemeriksaan. Padahal penyimpanan perpustakaan itu yang terbaik,” ujar Angkasa dengan mimik wajah serius.
“Kau juga melakukan hal sama sepertiku? Atau jangan-jangan kau?” Reandra menatap Angkasa dengan penuh selidik.
“Aku bukan bagian dari mereka. Aku memiliki kepentingan dengan data-data itu. Kau tahu sendiri mendapatkan uang tidak mudah di kota ini,” ucap Angkasa dengan santai.
“Terima kasih untuk data-datamu itu. Informasi di dalamnya cukup membantuku.” Reandra tersenyum tipis ke arah Angkasa.
“Aku tahu dan sangat paham apa yang kau butuhkan. Tapi seperti apa yang aku ucapkan dalam pesan. Tetaplah berhati-hati. Meski Kota Metrolium dipimpin oleh seorang gubernur, tapi pengendali utama tetap berada pada otoritas keamanan. Pusat pimpinan penelitian ada di sana. Jelas sekali bahwa Kota Metrolium ini bukan berdiri seperti sebelum-sebelumnya,” ucap Angkasa.
Reandra mengangguk setuju. Memang Kota Metrolium ini seperti sangat tunduk pada otoritas keamanan pemerintah. Tidak jarang gubernur Kota Metrolium hanya mengangguk dan langsung menyetujui setiap usulan kebijakan yang disampaikan oleh pimpinan otoritas keamanan. Semua kendali terpusat pada satu titik dan tidak dapat dibantah dengan begitu mudah.
“Kau harus—“ Ucapan Angkasa terpotong saat tiba-tiba gelombang suara dengan frekuensi rendah membuat dengingan yang begitu menyakitkan telinga. Reandra dan Angkasa sampai menutup kedua telinga dengan erat. Bahkan raut kedua pemuda tampan itu sangat menyiratkan rasa sakit yang begitu terlihat.
“To—long a—ku....”
Brakkk!!! “Kurang ajar! Cepat bereskan keamanan di wilayah tembok pembatas itu. Aku tidak ingin ada celah yang membuat berandal kecil itu bisa berkomunikasi dengan kota ini,” ujar seorang laki-laki paruh baya dengan wajah yang dingin seolah menggambarkan bahwa memang laki-laki itu tengah menahan amarah. Sedangkan suasana Kota Metrolium sedang dilanda banyak tanda tanya mengenai datangnya gelombang suara berfrekuensi rendah. Para masyarakat berhamburan keluar ruangan hanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tidak jauh berbeda dengan Reandra dan Angkasa yang kini tengah termenung bersama pikiran masing-masing. “Dari mana datangnya gelombang tadi?” tanya Angka
Ruangan yang berupa bangunan toko barang antik di sudut pusat perbelanjaan itu tampak begitu hening. Juna terdiam dengan rasa kalut menyelimuti. Laki-laki paruh baya yang tengah menanti salah satu dari pemuda di hadapannya untuk mengeluar kata-kata. Dan ada Reandra yang tidak mengerti kenapa ketua perpustakaan tempat pemuda itu bekerja terlihat begitu khawatir. Kedua bola mata bulat meruncing milik Reandra mulai menilik sekitar. Pemuda itu baru tersadar bahwa dirinya berada pada sebuah toko yang menjual berbagai barang-barang unik. Laki-laki paruh baya yang menanti adanya perbincangan tersenyum tipis melihat tingkah Reandra. “Apa ada yang membuatmu tertarik, nak?” Akhirnya laki-laki paruh baya itu mengeluarkan suara. &nbs
“Ayahmu berkorban untuk kami semua....” Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu. “Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.&nbs
Reandra melangkah pelan membawa tubuh lelahnya untuk mencapai ke rumah. Pemuda itu hanya berdiam diri sejak turun dari bus terbang. Pikiran Reandra masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja pemuda itu alami. "Kode akses apa itu tadi?" ucap lirih Reandra pada hembusan angin yang menyapa. Pemuda itu menatap gelapnya langit malam tanpa bintang. Reandra seolah sedang menjadi satu titik terang yang akan membawa dirinya menuju kepada setiap jawaban. Namun, pendar bintang memang tidak pernah lagi menyapa Kota Metrolium karena setiap cahaya lampu senantiasa menghalangi para bintang untuk bersinar. Atensi Reandra teralihkan pada liontin dalam genggaman. Ada senyuman tipis tersemat pada wajah tampan pem
“Ada apa?” tegur Angkasa saat melihat Reandra termenung di ruang rapat perpustakaan. Reandra yang tersadar dari lamunan mendengkus sebal sebelum melemparkan penghapus papan ke arah Angkasa. Reandra masih menyimpan rasa kesal kepada pemuda pemuja teknologi itu. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu, ketika Reandra baru saja sampai di perpustakaan, pemuda itu bergegas menuju ke ruang rapat karena memang dia telah terlambat. Namun, yang Reandra temukan bukan para petugas perpustakaan yang tengah rapat melainkan ruang kosong tanpa kehidupan. “Jangan berbicara kepadaku. Aku masih kesal denganmu. Jika tahu tidak benar-benar ada rapat hari ini, aku lebih memilih selimut di rumah daripada harus mendengarkan dirimu curhat tanpa kenal waktu.” Reandra menatap sebal ke arah Angkasa yang saat ini tengah terkekeh. Pemuda pemuja teknologi itu memang sengaja mengundang Reandra untuk datang ke perpustakaan saat gedung itu bahkan masih dalam masa penutupan. “Setidak
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Terik matahari di Kota Metrolium bersinar dengan redup. Meski bukan musim hujan, tetapi kota itu tetap terlihat sejuk pada setiap sudutnya. Di ruang penjaga perpustakaan, Reandra dan Angkasa masih berkutat pada tugas masing-masing. Sesekali menatap ke arah monitor lebar di hadapan mereka yang menyuguhkan pemandangan para pengunjung perpustakaan. “Aku rasa perpustakaan memang tempat strategis untuk menjalankan banyak rencana pemberontakan. Bangunan yang tua dengan banyak ruangan cukup menarik minat masyarakat. Pengunjung perpustakaan saja tidak hanya datang untuk membaca atau meminjam buku. Ada juga yang sekadar datang untuk mengabadikan foto mereka,” ucap Reandra. Setelah mereka memutuskan untuk mengesampingkan masalah peminjam buku yang menghilang, dua pemuda itu larut pada suasana perpustakaan yang terus ramai sepanjang waktu. “Kau benar, Rean. Ada sudut-sudut bangunan yang begitu unik,” jawab Angkasa. Dua pemuda itu tersenyum tipis sebelum memilih
Langit cerah membentang dalam kubah wilayah yang semakin hari luasnya semakin menyusut. Gumpalan awan putih menghiasi langit yang menjadi pemandangan indah di wilayah itu. Di atas sebuah gedung yang telah hancur, seorang gadis bermata bulat tengah memandang jauh ke arah area pertanian. Melihat para warga saling bahu membahu memanen hasil pertanian mereka, ada gurat senang sekaligus sedih terpancar pada raut wajah gadis itu. “Seharusnya mereka tidak mengalami kesulitan seperti saat ini jika mereka mengikuti pilihan yang pemerintah berikan. Tapi, mereka tetap di sini berjuang bersama-sama untuk peradaban yang lebih baik,” ujar gadis itu. Dari balik reruntuhan seorang pemuda berwajah pucat muncul dan menghampiri gadis itu. Merangkulnya dan memberikan kekuatan agar membuat gadis itu menjadi lebih tenang. Banyaknya tekanan yang diberikan otoritas keamanan cukup membuat gadis itu hampir kehilangan kepercayaan diri. “Semua pasti akan indah pada waktunya. Otoritas ke
Kota Metrolium yang indah adalah impian setiap orang. Kota yang diliputi dengan banyak hal dan tentu saja berjalan secara seimbang. Perkembangan zaman boleh menjadi faktor yang membuat perubahan, tetapi tidak untuk mengikis sejarah Kota Metrolium. Itulah keinginan setiap peneliti saat berusaha semaksimal mungkin menciptakan teknologi yang seimbang. Namun, di tengah perjalanan mereka tentu banyak kerikil yang menghadang. Penolakan, pengkhianatan, dan keegoisan menjadi hal yang membuat semua terpecah belah. “Aku tidak menyetujui ide milikmu itu, Arya,” ujar seorang laki-laki paruh baya yang masih terlihat rupawan, Soka Chivalry. “Ayolah, Soka. Ide ini bisa membawa kejayaan untuk Kota Metrolium. Bisa kau bayangkan bagaimana kota ini akan menjadi pusat peradaban paling maju di dunia? Pasti semua akan mengagumi Kota Metrolium,” ujar Arya Bahtera. “Peradaban tetap harus berjalan dengan seimbang, Arya. Kita bisa mencip
Reandra duduk termenung pada meja yang berada di perpustakaan kecil miliknya. Di tangan pemuda itu telah ada sebuah buku catatan peninggalan kedua orang tuanya yang berisi tentang teka-teki Kota Metrolium. Buku itu hanya berisi gambaran kota yang tidak menyeluruh. “Aku tidak mengerti pesan apa yang ingin Ayah sampaikan kepadaku. Selama ini aku sudah berkeliling ke penjuru kota, tapi tidak pernah sedikit pun aku menjumpai suasana kota seperti dalam buku ini,” ujar Reandra. Mata bulat meruncing pemuda itu terpejam. Reandra mencoba mengingat apa yang terlewat dalam hidupnya. Namun, pemuda itu sama sekali tidak menemui satu pun memori saat dia kecil. Helaan napas terhembus begitu saja dari pembauan Reandra. Pemuda itu merasa sedikit lelah dengan semua kejadian tidak terduga dalam beberapa hari ini. “Aku merindukan Ayah dan Ibu. Biasanya jika aku tengah berada pada jalan buntu, Ayah dan Ibu selalu bisa memberikan pendapat juga pencerahan untukku.” Reandra menidurk
Gaduh. Kota Metrolium benar-benar tampak kacau setelah pemberitahuan dari otoritas keamanan pemerintah masuk pada sistem jaringan masyarakat. Semua orang tampak semakin geram dengan banyaknya larangan yang mulai mengikat. Tidak hanya itu saja, orang-orang juga mulai tampak lelah dengan kekangan yang dilakukan oleh pemerintah. “Sepertinya masyarakat mulai menyadari ada hal yang salah dengan pemerintahan ini,” ujar Reandra saat pemuda itu melihat sekelilingnya. Angkasa mengangguk setuju. Pemuda pemuja teknologi itu menghela napas sebentar sebelum melanjutkan langkah. Dua pemuda itu sudah selesai dengan urusan pembicaraan pribadi mereka. Namun, ternyata saat mereka berdua sedang fokus berbincang, pemberitahuan tidak menyenangkan itu datang. “Menurutmu apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Angkasa kepada Reandra. Pemuda yang lebih tinggi dari Angkasa itu menoleh sebentar sebelum menunjuk ke arah papan hologram yang baru saja mengganti saluran iklan.
Reandra tersenyum tipis setelah mengucapkan terima kasih kepada Zaki yang telah mengantarkan pemuda itu pulang. Namun, Reandra tidak sepenuhnya pulang. Pemuda itu berhenti di halte yang dekat dengan rumahnya untuk menunggu Angkasa. Pemuda pemuja teknologi itu baru saja menghubungi untuk mengajak Reandra makan bersama. “Kamu bersama siapa tadi?” tanya Angkasa saat baru saja pemuda itu memarkirkan kendaraan terbang miliknya. “Kenalanku,” jawab Reandra. “Ada apa? Tumben sekali kamu mengajakku untuk makan bersama?" tanya pemuda itu. Angkasa hanya tersenyum penuh arti sebelum menggiring Reandra untuk memasuki kendaraan terbang. Sepanjang perjalanan Angkasa hanya diam, begitu pula dengan Reandra. “Aku yakin pasti ada apa-apa melihatmu yang diam seperti sekarang ini,” ucap Reandra memecah keheningan. Tatapan tajam pemuda itu menghunus tepat ke arah Angkasa. Namun, lagi-lagi Angkasa hanya tersenyum penuh makna. Tidak memberikan jawaban yang Reandra in
Ruangan dengan nuansa gelap dan dilengkapi teknologi mutakhir itu tampak hening. Hanya terdengar suara deru mesin yang tengah bekerja. Di dekat layar hologram yang menampilkan data berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman mengerikan. Laki-laki itu tampak menatap tajam ke arah layar yang kini telah berganti menampilkan citra dari wilayah yang baru saja dia eksekusi. “Wilayah utara dari kawasan itu telah berhasil kami persempit, Tuan,” ujar seorang petugas yang mengantarkan informasi. Arya Bahtera, laki-laki paruh baya itu semakin tersenyum puas. “Lanjutkan rencana selanjutnya. Dan segera tangkap tikus kecil itu.” “Bai
Reandra menapaki jalanan setapak yang menghubungkan setiap sektor pada kawasan laboratorium. Pemuda itu tidak menyadari jika dari kejauhan seseorang tampak memperhatikannya. Bahkan sosok itu tampak menatap lekat ke arah Reandra. "Apa yang kamu dapatkan?" tanya seseorang itu. "Ada gelombang interaksi yang diberikan oleh gadis itu, Tuan," ucap robot wanita yang tidak lain Eunoia, asisten kepercayaan Bumi Chatra. Sosok yang menatap lekat ke arah Reandra memang Bumi. Pemuda itu tidak sengaja melihat Reandra saat pemuda jangkung itu berdiri pada pintu masuk sektor 12. "Jadi kamu sudah tahu keberadaan gadis itu?" Bumi kembali bertanya kepada Eunoia. Namun, robot wanita itu hanya diam menandakan bahwa lagi-lagi tidak ada hasil yang didapatkan. "Gadis itu terlalu cepat membaca keadaan, Tuan. Bahkan gelombang interakti hanya terjadi beberapa detik saja sebelum akhirnya lenyap kembali." Bumi memejamkan mata merasa lelah. Sebenarnya pemuda itu su
Suasana hening menyelimuti ruang rapat perpustakaan sejak Juna memilih mengakhiri perdebatan dengan Reandra. Pemuda bertelinga unik itu masih terpaku di tempat. Mencoba mencerna apa yang baru saja pemuda itu dengar. “Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan?” gumam Reandra lirih. Tubuh pemuda itu seperti tidak memiliki energi ketika Reandra memilih untuk duduk pada bangku ruang rapat. Pemuda itu mengusak kasar rambutnya tidak mengerti. Entah kenapa Reandra merasa banyak memori yang terlewat begitu saja. “Kamu kenapa, Rean?” tanya Angkasa. Pemuda itu kembali ke ruang rapat karena ada barang yang tertinggal. Reandra menatap ke arah Angkasa sekilas sebelum pemuda itu beranjak. Namun, langkah Reandra terhenti saat Angkasa mencekal lengan pemuda itu. “Ada apa?” Angkasa kembali bertanya. “Aku sempat mendengarmu ribut dengan ketua,” lanjutnya. Memang benar saat Angkasa mengingat bahwa ada benda yang dia tinggalkan, pemuda itu sempat