"Anakku.... ""Iya, ma. Ini Angga," jawab pemuda itu mendekat. "Astaga ... ini Mas Angga, yang menolong Arum waktu itu. Pemuda itu mengangguk. " Iya, Rum. Akulah kakak kandungmu.""Maksud Papa, jadi papa yang atur semuanya?" Lelaki paruh baya itu mengangguk. "iya Papa tidak benar-benar meninggalkanmu Rum, demi keselamatanmu, Papa selalu menjagamu juga Elang dari jauh. Namun entah Levin sama Zhia. Papa kecolongan." Jelasnya pasa Arum dan istrinya. Arum hanya bisa menangis, karena Angga pernah menolongnya beberapa kali. Arum memeluk kakaknya dengan erat, tak tahu harus bersedih atau apa yang jelas ia sangat bahagia. Begitu pula sang mama menangis dan memeluk tubuh pemuda itu. "Elang, bawalah Naura ke sini untuk sementara waktu. Percayalah Naura aman disini."Sejenak Elang berpikir dan mengangguk. "Baiklah, Pak.""Lebih cepat lebih baik. Jangan sampai kau menyesal kehilangan putrimu," jelas pak Dibyo. "Baik, Pak."Elang menelepon rekan kerjanya secepat mungkin ia menyuruh Bibi juga
Elang menikmati sebatang rokok yang menyala. Langit terlihat mendung, udara masih terasa dingin dan lembab karena hujan dan gerimis yang baru saja mereda. Di taman rumah Arum ia ditemani secangkir kopi hangat juga sebatang rokok ditangan. Namun rasa sesak merelungi jiwanya. Elang menghembuskan asap rokoknya ke udara. Membuat sosok yang baru saja mendekat ke arahnya terbatuk."Elang...." Elang menoleh dan mematikan rokok dan menarunya di dalam asbak. Rengga berjalan menghampiri Elang. "Eh, mas Angga," sapa Elang, buru buru bangkit dari senderan di kursi. Angga yang melihat Elang sedih, lalu ia ikut duduk di sampingnya. "Kenapa, sedih begitu?" celetuk Angga. "Iya, aku lagi tidak baik-baik saja," sahut Elang menatap Angga sekilas lalu kembali lagi menunduk. "Kuatlah demi, Naura." "Iya, kau benar, Mas."Hening, mereka terbungkam dan terdiam sejenak menikmati embusan angin selepas hujan. Menikmati dengan perasaannya juga pikiran mereka masing masing. Elang tak tahu harus berkata apa
Arum memijit pelipis merasakan kepalanya begitu berat saat membuka mata. Mungkin, karena ia kurang tidur. Besarnya kecewa yang kian menumpuk di hatinya, membuat Arum tak sanggup lagi bertahan dari rasa sakit yang menderanya. Jika waktu bisa diulang kembali, tentu tak ada yang perlu Arum sesali.Ingin rasanya dia menjelajah waktu dan berhenti di saat masa kecilnya bersama Elang kakaknya. Telah banyak cobaan yang Arum terima, saat ini Arum sendiri, bahkan Elang telah menghilang beberapa purnama bersama kakaknya Rengga. Mereka bekerja ke luar negeri. Wanita itu ingin menghapus kenangan buruk tentang perjalanan kisah pernikahannya. Ketika semua kisah tentang hal yang begitu menyakitkan Harusnya ia membuang semua tentang kenangan-kenangan buruk tentang masa lalunya. Mungkin benar Tuhan sedang menguji imannya melalui rasa itu. Rasa yang begitu menyakitkan hingga Arum tak mampu lagi untuk menopangnya. "Rum.... " Panggil sang Mama membuat Arum terkejut. Arum menoleh ke arah sang Mama yan
Levin mengempaskan tubuh di atas ranjang kamar dan tak lama dia pun dibuai mimpi. Levin terbangun beberapa saat kemudian karena ketukan di pintu dari luar kamarnya. "Lev, sudah makan apa belum? Mama sudah siapin makan buatmu?" tanya Lastri pada anaknya. "Ya, Ma. Levin mau cuci muka dulu," sahutnya. "Cepat ya, Mama tunggu!""Iya."Wanita paruh baya itu menemani Levin makan malam. Sesaat Levin hanya memandang makanan di piring, tanpa memakannya, ia hanya mengaduk makanan dan pikirannya kosong. Lastri menatap heran Levin. Padahal biasanya anaknya itu langsung memakannya dengan sangat lahab. Wanita paruh baya itu curiga akhir-akhir ini Levin begitu murung. Merasa ada sesuatu yang janggal, wanita paruh baya itu menghela nafas lalu bertanya, "Lev, kamu kenapa? Sakit?" tanyanya cemas. Levin hanya diam lalu menggeleng."Maafkan Mama, Lev," ucapnya lirih."Maaf? Untuk apa, Ma?" "Memisahkanmu dari Arum, Mama tahu kau begitu mencintainya, bukan. Tapi ingatlah tujuan kita menghancurkan kel
Arum dan Naura melangkahkan kaki menyusuri jalanan komplek perumahan bersama Naura. Angin pagi mengiringi perjalanan mereka, mereka berdua melihat beberapa ekor burung-burung berkicau hinggap di pemohonan yang mungkin saja mencari makan. Mereka melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju pertigaan. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin pagi ini, membuainya. Menebarkan damai di penjuru hati.Mata Arum menyisir sekeliling, mengurutkan nomor rumah yang berukuran besar dan luas. Mungkin karena masih agak jarang penduduknya terlihat pemandangan juga begitu asri. Di ujung sana, rumah yang terletak di pinggir jalan terdapat deretan rumah yang sama, sekilas Arum menatap rumah itu sangat besar dan berlantai dua, terlihat paling bagus. Tiang-tiang yang menjulang tinggi menambah kesan kokoh rumah mewah itu. Sepertinya baru direnovasi, indah sekali. Arum dan Naura terus berjalan menuju taman komplek, Seulas senyum tersungging di bibir Naura saat melihat b
"Tante, Papa vidio call, sini, Tante." Naura terlihat senang dan berjalan mendekat ke arah Arum. Arum tersenyum dan masih membantu sang Mama menyiapkan sarapan. "Tante sibuk sayang. Salam saja ya sama Papa."Terdengar jelas di pendengaran Arum ucapan selamat pagi juga suara lembut yang sangat ia rindukan. [Ya, Tantenya lagi sibuk, Pa, lagi menyiapkan sarapan untuk, Naura.]Ponsel milik Naura diarahlan ke arah Arum, ia tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah ponsel Naura. 'Aku benci wajah itu. Wajah yang selalu membuatku rindu' bisik Arum dalam hati. [Pa, mana om Angga? Hari ini Papa lagi ga kerja?][Masih mandi, sayang. hari ini Papa libur, sayang.][Pa, Naura rindu]Setetes bulir bening keluar dari wajah Naura. [Papa, juga rindu sayang. Sabar ya. Salam buat, Tante Rum, dan Eyang ya.]Naura tersenyum bahagia . [Iya, Papa]Arum hanya tersenyum mendengar suaranya saja sudah membuatnya bahagia. Mungkin ini karena mereka sering bersama saat kecil hingga remaja. Arum ikut merasaka
"Mas Angga.... "Mata Arum sesaat memejam, merasakan denyut yang semakin nyeri di kepala. Segera ia mengusap pelipis yang terasa basah dengan telapak tangan. Lutut Arum seketika lemas saat membuka mata dan mendapati seseorang yang ia rindukan selama ini berada di depannya. Jemari Arum gemetar bersamaan dengan tubuh yang tiba-tiba mematung. "Rum, ini, Mas lo, diam saja, ga kangen apa? Elang saja yang dilihatin dari tadi." Goda Angga pada adikknya. Arum tersenyum. "Iya ... iya kangen kok." Arum memeluk kakaknya. "Mas, kangen. Mana oleh-olehnya?""Oleh-oleh!""Ya, iya lah," jawab Arum memukul lengan kakaknya. "Tuh, oleh-oleh. Cakep lagi." Tujuk Angga ke arah Elang. Arum melotot kaget dan memukul tubuh bidang kakaknya. "Ih, apa sih, Mas, enggak lucu tau.""Tapi suka kan?" goda Qngga lagi. Arum menautkan alisnya. "Tau, ah.""Dih kan, mukanya merah! sudah kayak kepiting rebus.""Mas, Angga, ish!" Arum mencebik.Angga tertawa. Sejak saat itu, sikap manja Arum ke Angga memang berlebihan.
Suara Zhia begitu keras bertengkar dengan sang Mama, sesaat melirih seiring hembusan angin dingin. Sesekali Levin hembuskan napas dengan kasar. Ia melirik jam, baru jam setengah delapan. Levin menyimpan dagu diantara dua lengan, menikmati keindahan malam dalam kesendirian, duduk menghadap jendela. Purnama yang bersinar ditemani bintang yang sedikit, harusnya menjadi malam yang begitu cantik, tapi malam ini tidak. Mereka bersinar di waktu yang tidak tepat. Menyedihkan untuk hati Levin begitu perih seperti tersayat sembilu. "Levin ... tolong, Mama Levin...." Teriakan sang Mama membuat Levin terperanjat kaget. 'Sepertinya Mama menaggilku, ada apa lagi ini rumah ini serasa bagikan di neraka'"Levinnn...." Teriak Bu Lastri kencang. Levin berlari menuruni tangga sambil menutup dada bergetar ada apa mamanya berteriak histeris. Ia melihat darah segar di lantai dan tubuh adik kesayangananya terkapar lemas tak berdaya. "Astagfirullah ... mama, kenapa dengan Zhia?" tanya Levin panik. "Enta