Suara Zhia begitu keras bertengkar dengan sang Mama, sesaat melirih seiring hembusan angin dingin. Sesekali Levin hembuskan napas dengan kasar. Ia melirik jam, baru jam setengah delapan. Levin menyimpan dagu diantara dua lengan, menikmati keindahan malam dalam kesendirian, duduk menghadap jendela. Purnama yang bersinar ditemani bintang yang sedikit, harusnya menjadi malam yang begitu cantik, tapi malam ini tidak. Mereka bersinar di waktu yang tidak tepat. Menyedihkan untuk hati Levin begitu perih seperti tersayat sembilu. "Levin ... tolong, Mama Levin...." Teriakan sang Mama membuat Levin terperanjat kaget. 'Sepertinya Mama menaggilku, ada apa lagi ini rumah ini serasa bagikan di neraka'"Levinnn...." Teriak Bu Lastri kencang. Levin berlari menuruni tangga sambil menutup dada bergetar ada apa mamanya berteriak histeris. Ia melihat darah segar di lantai dan tubuh adik kesayangananya terkapar lemas tak berdaya. "Astagfirullah ... mama, kenapa dengan Zhia?" tanya Levin panik. "Enta
Wanita itu ketakutan menatap sang mama yang baru datang. Levin yang sedari tadi di situ mencoba menenagkan adiknya. Lalu, setelah memastikan Zhia kembali tertidur Levin turun dari tempat tidur, dan berjalan pelan menemui ibunya di luar, ia melangkah menuju pintu membuka, lalu menutup pintu dan menemui sang mama. "Bagaimana adikmu?" tanya Lastri. "Perasaanku tak enak dari tadi. Ma semoga Zhia baik-baik saja?""Ya, dasar tak mau di kasih tau," jawab sang mama sambil menoleh ke arah putranya. Sejenak terdiam. "Lev?""Iya, Ma?""Apa mama banyak salah, Kalian berhak bahagia, tapi mama mengatur kalian agar jadi manusia yang kuat, sekarang terserah kalian mama susah capek."Levin menggigit bibir, menahan sesak di dada. Sementara, pikirannya semakin tak karuan. Apapun itu Arum tak akan memaafkannya. "Terlambat, Ma, bahkan Levin dan Zhia sudah tidak termaafkan oleh Arum juga Elang bukan."Entah Levin harus senang atau tidak dengan ucapan Ibunya, namun itulah kenyataannya sudah terlambat .
Satu bulan berlalu sejak lamaran itu. Setelah selesai mandi, Arum langsung di dudukkan di depan cermin besar. Hanya dengan waktu satu jam, Arum sudah selesai dengan make up dan juga kebaya putih tulang yang membalut tubuhnya. Perlahan ia membuka mata yang sejak tadi terpejam saat sang MUA memoles bagian kelopak matanya. Senyum terukir menghiasi wajahnya, ia tidak menyangka jika ia juga bisa terlihat seanggun ini, untuk sebuah pernikahan keduanya. "Cantik sekali, Nona. Adalah salah satu pengantin tercantik yang pernah saya rias." Kata perias yang cantik itu. "Memang cantik sahabatku ini, Mbak.""Ya luar biasa, sangat cantik."Arum hanya tersenyum kepada wanita itu. Ia tahu jika kali ini pernikahannya akan berlangsung sederhana. Hanya ada keluarganya saja. Bahkan rekan kerjanya pun tidak di undang. Lestari menggenggam tangan sang sahabat. Mungkin kesedihan itu tidak akan berkurang, namun setidaknya Elang akan menjaganya kali ini. "Kau baik, Rum?" tanya Lestari. Arum mengangguk. "Ya
"Wah indah sekali, kapan mas Elang renovasi ini? Ini rumah yang aku juga Naura suka, mas. Ini indah sekali.""Iya kah, ya lumayan sih biar dekatan sama rumah orang tua kamu. Kan enak tinggal jalan langsung sampai," jawab Elang sambil tersenyum. "Serius ini rumah baru kita, Pa?" tanya Naura tak percaya. "Iya, sayang."Naura dan Arum berpelukan merasai bahagia yang tak terkira. Mereka masuk menelisik setiap sudut ruangan terlihat unik dan cat yang begitu contras dengan disain tata letak. Interior modern dan perlengakapan furnitur dari kayi jati yang berkelas. Sekilas tampak sempurna dimata Naura juga Arum. Meskipun pernikahan mereka tidak menyebar banyak undangan, akan tetapi rasa letih begitu terasa oleh Arum setelah pesta usai. Elang menyadari hal tersebut. Pria itu langsung mengajak wanita cantik yang kini telah sah sebagai istrinya ke dalam sebuah kamar yang luas dengan konsep interior yang wah juga ranjang king size, yang terlihat berkelas. Naura tertegun dan terpana dibuatnya.
Arum memakai piyama bahan kaos yang adem, dan berada di depan meja rias yang terlihat baru dengan ukiran kayu jati yang terlihat modern juga ada sisi klasiknya. Arum tersenyum suaminya menyiapkan semua ini untuknya. Ia tahu jika ini adalah kesukaan Arum. Sepasang iris kehitaman itu menyipit melihat kado dari sahabatnya Lestari, Arum mengulas senyum dan mendekati kado yang berada si sofa kamarnya. Terlukis senyuman geli di kedua sudut bibirnya. Menatap kado adalah sebuah shampo juga lingerie merah, membuat Arum tak percaya pikiran Lestari ini. Sesaat ponsel di atas nakas bergetar. Arum berjalan mengambil ponselnya. [Gimana suka, kadonya harus di pake ya malam ini.]Apaan sih ini Tari norak banget, batin Arum. [Awas kalau ga di pakek.][Malu, Tari gila lo ya.][Eh, kali ini pernikahan terakhir ya, jangan biarkan suami lo. Direbut lagi sama Zhia. Ya]Kening Arum berkerut seketika. Detik berikut menghela napas lega.[Iya kah][Ya, makanya pake.]Arum tak mengerti ucapan sahabatnya ini,
Mobil meninggalkan rumah indah milik Elang, menuju mall di pusat perbelanjaan terbesar dikota ini, Arum menatap keluar cendela lalu kembali menatap jalanan. sesaat ia menatap suaminya yang fokus menyetir. "Cantik kamu pagi ini. Sayang" Ucapan itu membuat Arum lagi-lagi terkejut dan tentu menjadikan pipi Arum bersemu merah. Karena jujur Arum merasakan hangatnya."Pagi-pagi aku sudah sarapan pujian, Mas. Sejak kapan sih suka merayu gini jadinya.""Biar nambah semangatnya untuk melewati hari-hari kita selanjutnya. Sayang." Terlihat senyum terukir di bibir Elang yang masih fokus menyetir. Angin pagi mengiringi perjalanan mereka di dalam mobil. Arum melihat beberapa ekor burung hinggap di pepohonan. Mungkin saja sedang mencari makan.'Aku tak tahu kenapa bisa sebahagia ini. Batin Elang'"Rum, terima kasih sudah mengisi hari-hari ku saat ini."Arum mengangguk. "Iya.""Jangan merasa sendiri. Ada aku di samping kamu selamanya.""Iya, Mas. Rum percaya." Arum memegang lengan suaminya lalu me
Zhia menatap dinding putih dalam kamar selama lebih dari satu minggu, ada sesak yang sulit ia ungkapkan. Rindu pada Naura tiap detiknya seperti luka, perih dan menyakitkan. Anak gadisnya itu sudah lama tersakiti olehnya, saat Naura mulai menerimanya Ibunya memisahkannya lagi dengan ank kandungnya. "Mbak, Zhia, sarapannya dihabiskan, ya, Mbak," ucap sang perawat. Hanya Zhia jawab dengan anggukan."Setelah ini mbak minum obat, ya! Ibu harus semangat biar nanti kalau, Mas Levin ke sini, Mbak sudah lebih baik. Akhir-akhir ini, Levin jarang menjenguk karena ia sibuk mengurus perusahaannya. "Saya, permisi, Mbak! "Baiklah, sus."Zhia hanya bisa diam, tak mengikuti keputusan sang Mama. Rasa rindunya pada Naura tak terbendung lagi, bagaimanapun ia adalah putrinya ia yang mengandung. Perlahan Zhia membuka infus dari tangannya. Dan berusaha melepaskannya, ia sudah tak tahan beberapa hari di rumah sakit. Zhia bangkit dan mengganti bajunya, dan mengambil tasnya, mungkin Levin yang membawaka
"Astaga, Zhia." Levin menangkap tubuh Zhia yang mau jatuh dari tempat duduknya. "Zhia ... ku mohon bangunlah." Levin begitu panik. Degan cepat ia menggendong tibuh Zhia, setengah berlari Levin membawa tubuh adiknya menuju ke arah mobil. Dan benar tubuh dingin Zhia sudah berada di mobil Levin. Dengan kecepatan cepat ia membelah jalan raya menuju rumah sakit. Kali ini ia memilih rumah sakit terdekat agar adiknya cepat ditangani. Cemas Levin sangat cemas melihat kondisi adiknya yang drop. Namun, apa yang harus di perbuat Levin, menculik Naura bukankah itu sifat yang keji. Ia mengusap rambutnya dengan kasar, tak berani mengambil langkah tanpa persetujuan Zhia. Satu jam kemudian Zhia membuka mata. Cahaya terang membuat silau pandangannya. Refleks ia melindungi netra dengan sebelah telapak tangannya. Di mana ini? Ini terang sekali namun aroma obat dapat Zhia rasakan jika ini di rumah sakit. Perlahan-lahan Zhia merenggangkan jari tangan yang menutup mata. Lalu ia membuka sinarnya sudah