"Wah indah sekali, kapan mas Elang renovasi ini? Ini rumah yang aku juga Naura suka, mas. Ini indah sekali.""Iya kah, ya lumayan sih biar dekatan sama rumah orang tua kamu. Kan enak tinggal jalan langsung sampai," jawab Elang sambil tersenyum. "Serius ini rumah baru kita, Pa?" tanya Naura tak percaya. "Iya, sayang."Naura dan Arum berpelukan merasai bahagia yang tak terkira. Mereka masuk menelisik setiap sudut ruangan terlihat unik dan cat yang begitu contras dengan disain tata letak. Interior modern dan perlengakapan furnitur dari kayi jati yang berkelas. Sekilas tampak sempurna dimata Naura juga Arum. Meskipun pernikahan mereka tidak menyebar banyak undangan, akan tetapi rasa letih begitu terasa oleh Arum setelah pesta usai. Elang menyadari hal tersebut. Pria itu langsung mengajak wanita cantik yang kini telah sah sebagai istrinya ke dalam sebuah kamar yang luas dengan konsep interior yang wah juga ranjang king size, yang terlihat berkelas. Naura tertegun dan terpana dibuatnya.
Arum memakai piyama bahan kaos yang adem, dan berada di depan meja rias yang terlihat baru dengan ukiran kayu jati yang terlihat modern juga ada sisi klasiknya. Arum tersenyum suaminya menyiapkan semua ini untuknya. Ia tahu jika ini adalah kesukaan Arum. Sepasang iris kehitaman itu menyipit melihat kado dari sahabatnya Lestari, Arum mengulas senyum dan mendekati kado yang berada si sofa kamarnya. Terlukis senyuman geli di kedua sudut bibirnya. Menatap kado adalah sebuah shampo juga lingerie merah, membuat Arum tak percaya pikiran Lestari ini. Sesaat ponsel di atas nakas bergetar. Arum berjalan mengambil ponselnya. [Gimana suka, kadonya harus di pake ya malam ini.]Apaan sih ini Tari norak banget, batin Arum. [Awas kalau ga di pakek.][Malu, Tari gila lo ya.][Eh, kali ini pernikahan terakhir ya, jangan biarkan suami lo. Direbut lagi sama Zhia. Ya]Kening Arum berkerut seketika. Detik berikut menghela napas lega.[Iya kah][Ya, makanya pake.]Arum tak mengerti ucapan sahabatnya ini,
Mobil meninggalkan rumah indah milik Elang, menuju mall di pusat perbelanjaan terbesar dikota ini, Arum menatap keluar cendela lalu kembali menatap jalanan. sesaat ia menatap suaminya yang fokus menyetir. "Cantik kamu pagi ini. Sayang" Ucapan itu membuat Arum lagi-lagi terkejut dan tentu menjadikan pipi Arum bersemu merah. Karena jujur Arum merasakan hangatnya."Pagi-pagi aku sudah sarapan pujian, Mas. Sejak kapan sih suka merayu gini jadinya.""Biar nambah semangatnya untuk melewati hari-hari kita selanjutnya. Sayang." Terlihat senyum terukir di bibir Elang yang masih fokus menyetir. Angin pagi mengiringi perjalanan mereka di dalam mobil. Arum melihat beberapa ekor burung hinggap di pepohonan. Mungkin saja sedang mencari makan.'Aku tak tahu kenapa bisa sebahagia ini. Batin Elang'"Rum, terima kasih sudah mengisi hari-hari ku saat ini."Arum mengangguk. "Iya.""Jangan merasa sendiri. Ada aku di samping kamu selamanya.""Iya, Mas. Rum percaya." Arum memegang lengan suaminya lalu me
Zhia menatap dinding putih dalam kamar selama lebih dari satu minggu, ada sesak yang sulit ia ungkapkan. Rindu pada Naura tiap detiknya seperti luka, perih dan menyakitkan. Anak gadisnya itu sudah lama tersakiti olehnya, saat Naura mulai menerimanya Ibunya memisahkannya lagi dengan ank kandungnya. "Mbak, Zhia, sarapannya dihabiskan, ya, Mbak," ucap sang perawat. Hanya Zhia jawab dengan anggukan."Setelah ini mbak minum obat, ya! Ibu harus semangat biar nanti kalau, Mas Levin ke sini, Mbak sudah lebih baik. Akhir-akhir ini, Levin jarang menjenguk karena ia sibuk mengurus perusahaannya. "Saya, permisi, Mbak! "Baiklah, sus."Zhia hanya bisa diam, tak mengikuti keputusan sang Mama. Rasa rindunya pada Naura tak terbendung lagi, bagaimanapun ia adalah putrinya ia yang mengandung. Perlahan Zhia membuka infus dari tangannya. Dan berusaha melepaskannya, ia sudah tak tahan beberapa hari di rumah sakit. Zhia bangkit dan mengganti bajunya, dan mengambil tasnya, mungkin Levin yang membawaka
"Astaga, Zhia." Levin menangkap tubuh Zhia yang mau jatuh dari tempat duduknya. "Zhia ... ku mohon bangunlah." Levin begitu panik. Degan cepat ia menggendong tibuh Zhia, setengah berlari Levin membawa tubuh adiknya menuju ke arah mobil. Dan benar tubuh dingin Zhia sudah berada di mobil Levin. Dengan kecepatan cepat ia membelah jalan raya menuju rumah sakit. Kali ini ia memilih rumah sakit terdekat agar adiknya cepat ditangani. Cemas Levin sangat cemas melihat kondisi adiknya yang drop. Namun, apa yang harus di perbuat Levin, menculik Naura bukankah itu sifat yang keji. Ia mengusap rambutnya dengan kasar, tak berani mengambil langkah tanpa persetujuan Zhia. Satu jam kemudian Zhia membuka mata. Cahaya terang membuat silau pandangannya. Refleks ia melindungi netra dengan sebelah telapak tangannya. Di mana ini? Ini terang sekali namun aroma obat dapat Zhia rasakan jika ini di rumah sakit. Perlahan-lahan Zhia merenggangkan jari tangan yang menutup mata. Lalu ia membuka sinarnya sudah
"Boleh."Elang langsung menggendong tubuh mungil Arum dan membawanya ke kamar atas, membuat Arum kasihan karena nafas suaminya yang sedikit tersengal. "Sudah turunkan, aku hanya bercanda tadi, Mas."Elang menggeleng. "Kau pikir, aku tak kuat, tenanglah dan lihatlah aku akan meminta jatahku, malam ini"Arum tersenyum dan menginggat kenangan akan cintanya pada sang kakak kala itu. Lelaki yang terpaut lima tahun darinya. Sosok yang begitu teduh dan lembut. Mampu meredam setiap emosi dari jiwa mudanya Arum yang membangkang bersama Damar kala itu, sekaligus memberikan perhatian yang begitu lebih terhadap dirinya. Elang menidurkan Arum di atas ranjang, dan menatap netra Arum yang begitu indah. Dada Arum bertalu-talu ria mendapati suaminya tak berkedip menatapnya. "Aku mencintaimu." Mata Arum membulat, bulu kuduknya pun sudah berdiri karena bisikan Elang di telinganya. Arum hendak melepaskan tangan Elang namun lagi-lagi ia kalah cepat.Karena suaminya lebih dulu menenggelamkan wajahnya di
Esok paginya"Rum ... aku kok jadi ingin makan yang segar-segar ya. Padahal ini masih pagi." Terdengar suara Elang lirih.Arum yang sedang membersihkan meja selesai mencuci piring di wastafel, menghentikan aktivitasnya dan segera menghampiri sumainya yang begitu manja."Ingin makan apa, Mas?" tanya Arum lembut, sambil membetulkan dasi suaminya yang terlihat belum rapi. "Jeruk, apa apel gitu lah, masih ada kan di kulkas, Rum?" tanya Elang, sambil menatap mata Arum dalam. Arum tersenyum mengenggam tangan Elang lalu menciumnya. "Masih, Mas, sebentar ya aku kupasin. Tapi yakin ga papa pagi-pagi makan buah, sayang?""Ya ga papa, orang sudah sarapan ini," jawab Elang santai. Tangan Arum mengupas apel lalu mencucinya, selesai mengiris di taruh di wadah, selesai ia mengupas jeruk. Tak butuh waktu lama Elang memakannya hingga lahap dan tak tersisa. Mata Elang menatap istrinya penuh dengan cinta. Rasa dalam hati Elang mungkin lebih berat dari rindu. Ya ia sangat mencintai istrinya. "Pa, a
"Sayang, kami pulang dulu ya?" Pamit sang mama. "Kenapa enggak menginap di sini saja, Ma," jawab Arum. "Jangan mau, Ma, nanti ganggu lagi mereka kan lagi honymoon." Angga lagi-lagi menggoda adiknya. Muka Arum berubah menjadi merah. "Ih, apa sih, Mas Angga. Ma lihatlah tuh, Mas Angga nyebelin.""Sudah-sudah lagian benar kata Angga kan, Rum!" sahut Pak Dibyo. Sesaat pipi Arum berubah jadi merah sudah seperti kepiting rebus. "Papa, kok jadi sama sih, godain, Rum.""Kenapa benar kan?""Tau ah." Elang hanya tersenyum melihat keluarga kecil itu saling menjaga juga menggoda Arum. "Elang, Papa tunggu ya! adik buat Naura."Elang tersenyum ramah. "Siap, pa."Mereka semua tertawa mendengar ucapan pak Dibyo. Membuat Arum begitu malu oleh ucapan sang papa yang terus menggodanya. "Pa, sudahlah, kasian, Rum tuh, mukanya merah."Semua tersenyum melihat ke arah Arum. Dan mereka pamit untuk pulang, Arum beruntung karena sedikit capek, seharian bercanda dengan keluarganya membuatnya senang, kare