"Boleh."Elang langsung menggendong tubuh mungil Arum dan membawanya ke kamar atas, membuat Arum kasihan karena nafas suaminya yang sedikit tersengal. "Sudah turunkan, aku hanya bercanda tadi, Mas."Elang menggeleng. "Kau pikir, aku tak kuat, tenanglah dan lihatlah aku akan meminta jatahku, malam ini"Arum tersenyum dan menginggat kenangan akan cintanya pada sang kakak kala itu. Lelaki yang terpaut lima tahun darinya. Sosok yang begitu teduh dan lembut. Mampu meredam setiap emosi dari jiwa mudanya Arum yang membangkang bersama Damar kala itu, sekaligus memberikan perhatian yang begitu lebih terhadap dirinya. Elang menidurkan Arum di atas ranjang, dan menatap netra Arum yang begitu indah. Dada Arum bertalu-talu ria mendapati suaminya tak berkedip menatapnya. "Aku mencintaimu." Mata Arum membulat, bulu kuduknya pun sudah berdiri karena bisikan Elang di telinganya. Arum hendak melepaskan tangan Elang namun lagi-lagi ia kalah cepat.Karena suaminya lebih dulu menenggelamkan wajahnya di
Esok paginya"Rum ... aku kok jadi ingin makan yang segar-segar ya. Padahal ini masih pagi." Terdengar suara Elang lirih.Arum yang sedang membersihkan meja selesai mencuci piring di wastafel, menghentikan aktivitasnya dan segera menghampiri sumainya yang begitu manja."Ingin makan apa, Mas?" tanya Arum lembut, sambil membetulkan dasi suaminya yang terlihat belum rapi. "Jeruk, apa apel gitu lah, masih ada kan di kulkas, Rum?" tanya Elang, sambil menatap mata Arum dalam. Arum tersenyum mengenggam tangan Elang lalu menciumnya. "Masih, Mas, sebentar ya aku kupasin. Tapi yakin ga papa pagi-pagi makan buah, sayang?""Ya ga papa, orang sudah sarapan ini," jawab Elang santai. Tangan Arum mengupas apel lalu mencucinya, selesai mengiris di taruh di wadah, selesai ia mengupas jeruk. Tak butuh waktu lama Elang memakannya hingga lahap dan tak tersisa. Mata Elang menatap istrinya penuh dengan cinta. Rasa dalam hati Elang mungkin lebih berat dari rindu. Ya ia sangat mencintai istrinya. "Pa, a
"Sayang, kami pulang dulu ya?" Pamit sang mama. "Kenapa enggak menginap di sini saja, Ma," jawab Arum. "Jangan mau, Ma, nanti ganggu lagi mereka kan lagi honymoon." Angga lagi-lagi menggoda adiknya. Muka Arum berubah menjadi merah. "Ih, apa sih, Mas Angga. Ma lihatlah tuh, Mas Angga nyebelin.""Sudah-sudah lagian benar kata Angga kan, Rum!" sahut Pak Dibyo. Sesaat pipi Arum berubah jadi merah sudah seperti kepiting rebus. "Papa, kok jadi sama sih, godain, Rum.""Kenapa benar kan?""Tau ah." Elang hanya tersenyum melihat keluarga kecil itu saling menjaga juga menggoda Arum. "Elang, Papa tunggu ya! adik buat Naura."Elang tersenyum ramah. "Siap, pa."Mereka semua tertawa mendengar ucapan pak Dibyo. Membuat Arum begitu malu oleh ucapan sang papa yang terus menggodanya. "Pa, sudahlah, kasian, Rum tuh, mukanya merah."Semua tersenyum melihat ke arah Arum. Dan mereka pamit untuk pulang, Arum beruntung karena sedikit capek, seharian bercanda dengan keluarganya membuatnya senang, kare
Embusan napas teratur Elang menerpa kulit leher Arum. Tangan pria itu melingkar erat di pinggang sang istri, sama seperti semalam. Arum sedikit beringsut, kenapa tiba-tiba suaminya bisa memeluknya? Bukankah ada Naura sebagai pembatas diantara dirinya juga suaminya itu. Arum berusaha mencoba melepas belitan tangan Elang. Tapi bukannya mengendur, pelukan itu justru terasa semakin mengencang di perutnya."Biarkan gini, sayang," bisik Elang dengan suara sedikit serak. Ia ingin menjauh, tapi tangan suaminya tepat di atas perut Arum membuatnya merasa begitu nyaman. Keduanya saling diam diselimuti keheningan. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang menempel di dinding, juga detak yang dirasakan Arumi syahilla dari balik punggungnya. Di luar sana, langit masih begitu gelap dan hanya terdengar embusan angin dan mengganti kelam yang sempat menyelimuti malam."Mas...." Arum kembali mencoba melepaskan belitan tangan Elang.Namun, Elang diam tetap tidak bergeming, tak sedikit pun merubah posi
Beberapa bulan kemudian, Zhia mengaduk jus jeruk di depannya untuk yang ke sekian kali. Menekan rasa yang entah sudah seperti apa. Harusnya ia ingat, kafe ini tempat pertama kalinya ia bertemu dengan Elang. karena sejak itu Zhia terpesona dan jatuh cinta kepada Elang pada pandangan pertama. Jadinya saat ini Zhia lah yang menderita dan merana? Apa kabarnya Elang juga putrinya, Naura? Menyebalkan, hidup Zhia benar-benar hancur mencintai lelaki yang ia sakiti. "Zhi? Mas cariin ternyata di sini?" tanyanya. Entah sejak kapan datangnya Levin, bahkan Zhia tak menyadarinya. "Eh, iya, Mas," jawab Zhia tergagap."Sendirian, saja?" Lagi-lagi ia bertanya.Zhia menatap netra kakaknya yang curiga. "Kenapa emangnya? Zhia baik-baik saja, Mas?" Zhia mencoba bergurau.Levin terkekeh. Lalu mengacak rambut adiknya. "Selamat ya sekarang sudah terkenal kamu."Zhia tersenyum ramah. "Ya semuanya berkat, Mas, kan! Terima kasih buat senuanya, Mas.""Sama-sama."Zhia menatap kakaknya. Sesaat netra mereka ber
Levin ingin marah, tapi kemudian merasa tak pantas untuk melakukannya. Karena ia sadar, sejak awal ia sendirilah yang terlalu berani untuk melibatkan diri dalam kehidupan Arum dan ingin menikahi wanita yang sangat baik itu. Wanita yang sudah jelas-jelas tak pernah mencintainya apalagi sudah bersedia dengan tulus menerimanya dan menjadi calon istrinya. Namun, Levin menghancurkan hati Arumi dengan membohonginya. Jadi, ia hanya bisa menyimpan sendiri kemarahannya, tanpa punya kuasa untuk meluapkan kekesalannya. Ia sangat prustasi karena wajah Arum selalu seperti bayangan yang tiap hari melekat diingatannya. Dan tak bisa hilang. Terkadang, Levin menertawakan dirinya sendiri atas segala kenaifannya. Sering kali cinta yang ia punya membuat logikanya tidak dapat mencerna, hingga ia hanya mengedepankan rasa yang kadang justru menjebaknya dalam kubangan kebohongan yang tak berkesudahan. Lelaki itu masih dalam pembatas pagar wajahnya menatap jauh ke arah pantai. Ia memandang ombak-ombak kecil
Angga bermain dengan Naura, sedangkan Arum selesai membantu Bibi merapikan piring di atas meja makan. Dan ia melihat tak jauh dari Angga dan Naura bercanda, lalu berjalan mendekati mereka. "Sayang, Naura makan dulu, Nak.""Iya, Ma.""Mas Angga, makan gih."Angga mengangguk. "Iya, Rum.""Om, menginap di sini saja ya, temani Naura belajar?" pinta Naura pada Angga. "Ya, ga bisa, Nuara. Tapi Om temani nanti sampai selesai ya," jawab Angga membuat Naura mengulas senyimnya. kedua netra Naura berbinar. "Serius?"Angga tersenyum. "Iya, dua rius malah."Naura berdiri dan mencium pipi Angga. "Asyik, makasih, Om."Angga tersenyum ramah. "Sama-sama."Arum berjalan mendekati ruang kerja Elang, dan mengetuk pintu lalu ia membuka knop pintu dan berjalan masuk. Terlihat Elang yang masih sibuk dengan layar laptopnya. "Mas...."Elang menatao Arum dan tersenyum. "Iya, sayang.""Makan dulu sudah ditunggu, Mas Angga juga Nuara."Elang menutup laptopnya. "Iya baiklah, sayang!"Cup! Secepat kilat Elang
"Kamu berlebihan, Arumi sayang ... kita memang membutuhkan materi untuk hidup, itu manusiawi, wajar, bahkan perlu. Tapi ada sesuatu yang lebih berharga dari semua itu." Jelas Angga. "Apa?" "Ya, jadi suami yang akhlaknya baik.""So ... siapa calom mas, Angga?" goda Arum. "Ya aku selalu minta sama Allah hal ini tentang jodoh. Ya, pingin punya pasangan yang baiknya sama kayak kamu.""Hmm ... bisa saja, tapi semoga saja di ijabah sama Allah.""Aamiin, permintaanku sederhana, 'kan?""Segala sesuatu yang berawal dari hal baik InsyaAllah barokah. Mas.""Doa juga kudu sabar dan ikhlas. Baru bentar langsung ngeluh, kok belum dikabulin, ya. Itu namanya nggak tau diri. Contohnya kamu kan? Bahagia usai masalah datang bertubi-tubi.""Iya, Mas Angga. Rum mengerti dan tak akan menyerah."Angga terbahak lalu merangkul tubuh Arum dengan menguntai banyak harapan. Berharap adiknya selalu bahagia dan tak akan pernah lelah memohon, dan Allah berkenan mewujudkan segala keinginannya. Ketika Elang berb