Esok paginya"Rum ... aku kok jadi ingin makan yang segar-segar ya. Padahal ini masih pagi." Terdengar suara Elang lirih.Arum yang sedang membersihkan meja selesai mencuci piring di wastafel, menghentikan aktivitasnya dan segera menghampiri sumainya yang begitu manja."Ingin makan apa, Mas?" tanya Arum lembut, sambil membetulkan dasi suaminya yang terlihat belum rapi. "Jeruk, apa apel gitu lah, masih ada kan di kulkas, Rum?" tanya Elang, sambil menatap mata Arum dalam. Arum tersenyum mengenggam tangan Elang lalu menciumnya. "Masih, Mas, sebentar ya aku kupasin. Tapi yakin ga papa pagi-pagi makan buah, sayang?""Ya ga papa, orang sudah sarapan ini," jawab Elang santai. Tangan Arum mengupas apel lalu mencucinya, selesai mengiris di taruh di wadah, selesai ia mengupas jeruk. Tak butuh waktu lama Elang memakannya hingga lahap dan tak tersisa. Mata Elang menatap istrinya penuh dengan cinta. Rasa dalam hati Elang mungkin lebih berat dari rindu. Ya ia sangat mencintai istrinya. "Pa, a
"Sayang, kami pulang dulu ya?" Pamit sang mama. "Kenapa enggak menginap di sini saja, Ma," jawab Arum. "Jangan mau, Ma, nanti ganggu lagi mereka kan lagi honymoon." Angga lagi-lagi menggoda adiknya. Muka Arum berubah menjadi merah. "Ih, apa sih, Mas Angga. Ma lihatlah tuh, Mas Angga nyebelin.""Sudah-sudah lagian benar kata Angga kan, Rum!" sahut Pak Dibyo. Sesaat pipi Arum berubah jadi merah sudah seperti kepiting rebus. "Papa, kok jadi sama sih, godain, Rum.""Kenapa benar kan?""Tau ah." Elang hanya tersenyum melihat keluarga kecil itu saling menjaga juga menggoda Arum. "Elang, Papa tunggu ya! adik buat Naura."Elang tersenyum ramah. "Siap, pa."Mereka semua tertawa mendengar ucapan pak Dibyo. Membuat Arum begitu malu oleh ucapan sang papa yang terus menggodanya. "Pa, sudahlah, kasian, Rum tuh, mukanya merah."Semua tersenyum melihat ke arah Arum. Dan mereka pamit untuk pulang, Arum beruntung karena sedikit capek, seharian bercanda dengan keluarganya membuatnya senang, kare
Embusan napas teratur Elang menerpa kulit leher Arum. Tangan pria itu melingkar erat di pinggang sang istri, sama seperti semalam. Arum sedikit beringsut, kenapa tiba-tiba suaminya bisa memeluknya? Bukankah ada Naura sebagai pembatas diantara dirinya juga suaminya itu. Arum berusaha mencoba melepas belitan tangan Elang. Tapi bukannya mengendur, pelukan itu justru terasa semakin mengencang di perutnya."Biarkan gini, sayang," bisik Elang dengan suara sedikit serak. Ia ingin menjauh, tapi tangan suaminya tepat di atas perut Arum membuatnya merasa begitu nyaman. Keduanya saling diam diselimuti keheningan. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang menempel di dinding, juga detak yang dirasakan Arumi syahilla dari balik punggungnya. Di luar sana, langit masih begitu gelap dan hanya terdengar embusan angin dan mengganti kelam yang sempat menyelimuti malam."Mas...." Arum kembali mencoba melepaskan belitan tangan Elang.Namun, Elang diam tetap tidak bergeming, tak sedikit pun merubah posi
Beberapa bulan kemudian, Zhia mengaduk jus jeruk di depannya untuk yang ke sekian kali. Menekan rasa yang entah sudah seperti apa. Harusnya ia ingat, kafe ini tempat pertama kalinya ia bertemu dengan Elang. karena sejak itu Zhia terpesona dan jatuh cinta kepada Elang pada pandangan pertama. Jadinya saat ini Zhia lah yang menderita dan merana? Apa kabarnya Elang juga putrinya, Naura? Menyebalkan, hidup Zhia benar-benar hancur mencintai lelaki yang ia sakiti. "Zhi? Mas cariin ternyata di sini?" tanyanya. Entah sejak kapan datangnya Levin, bahkan Zhia tak menyadarinya. "Eh, iya, Mas," jawab Zhia tergagap."Sendirian, saja?" Lagi-lagi ia bertanya.Zhia menatap netra kakaknya yang curiga. "Kenapa emangnya? Zhia baik-baik saja, Mas?" Zhia mencoba bergurau.Levin terkekeh. Lalu mengacak rambut adiknya. "Selamat ya sekarang sudah terkenal kamu."Zhia tersenyum ramah. "Ya semuanya berkat, Mas, kan! Terima kasih buat senuanya, Mas.""Sama-sama."Zhia menatap kakaknya. Sesaat netra mereka ber
Levin ingin marah, tapi kemudian merasa tak pantas untuk melakukannya. Karena ia sadar, sejak awal ia sendirilah yang terlalu berani untuk melibatkan diri dalam kehidupan Arum dan ingin menikahi wanita yang sangat baik itu. Wanita yang sudah jelas-jelas tak pernah mencintainya apalagi sudah bersedia dengan tulus menerimanya dan menjadi calon istrinya. Namun, Levin menghancurkan hati Arumi dengan membohonginya. Jadi, ia hanya bisa menyimpan sendiri kemarahannya, tanpa punya kuasa untuk meluapkan kekesalannya. Ia sangat prustasi karena wajah Arum selalu seperti bayangan yang tiap hari melekat diingatannya. Dan tak bisa hilang. Terkadang, Levin menertawakan dirinya sendiri atas segala kenaifannya. Sering kali cinta yang ia punya membuat logikanya tidak dapat mencerna, hingga ia hanya mengedepankan rasa yang kadang justru menjebaknya dalam kubangan kebohongan yang tak berkesudahan. Lelaki itu masih dalam pembatas pagar wajahnya menatap jauh ke arah pantai. Ia memandang ombak-ombak kecil
Angga bermain dengan Naura, sedangkan Arum selesai membantu Bibi merapikan piring di atas meja makan. Dan ia melihat tak jauh dari Angga dan Naura bercanda, lalu berjalan mendekati mereka. "Sayang, Naura makan dulu, Nak.""Iya, Ma.""Mas Angga, makan gih."Angga mengangguk. "Iya, Rum.""Om, menginap di sini saja ya, temani Naura belajar?" pinta Naura pada Angga. "Ya, ga bisa, Nuara. Tapi Om temani nanti sampai selesai ya," jawab Angga membuat Naura mengulas senyimnya. kedua netra Naura berbinar. "Serius?"Angga tersenyum. "Iya, dua rius malah."Naura berdiri dan mencium pipi Angga. "Asyik, makasih, Om."Angga tersenyum ramah. "Sama-sama."Arum berjalan mendekati ruang kerja Elang, dan mengetuk pintu lalu ia membuka knop pintu dan berjalan masuk. Terlihat Elang yang masih sibuk dengan layar laptopnya. "Mas...."Elang menatao Arum dan tersenyum. "Iya, sayang.""Makan dulu sudah ditunggu, Mas Angga juga Nuara."Elang menutup laptopnya. "Iya baiklah, sayang!"Cup! Secepat kilat Elang
"Kamu berlebihan, Arumi sayang ... kita memang membutuhkan materi untuk hidup, itu manusiawi, wajar, bahkan perlu. Tapi ada sesuatu yang lebih berharga dari semua itu." Jelas Angga. "Apa?" "Ya, jadi suami yang akhlaknya baik.""So ... siapa calom mas, Angga?" goda Arum. "Ya aku selalu minta sama Allah hal ini tentang jodoh. Ya, pingin punya pasangan yang baiknya sama kayak kamu.""Hmm ... bisa saja, tapi semoga saja di ijabah sama Allah.""Aamiin, permintaanku sederhana, 'kan?""Segala sesuatu yang berawal dari hal baik InsyaAllah barokah. Mas.""Doa juga kudu sabar dan ikhlas. Baru bentar langsung ngeluh, kok belum dikabulin, ya. Itu namanya nggak tau diri. Contohnya kamu kan? Bahagia usai masalah datang bertubi-tubi.""Iya, Mas Angga. Rum mengerti dan tak akan menyerah."Angga terbahak lalu merangkul tubuh Arum dengan menguntai banyak harapan. Berharap adiknya selalu bahagia dan tak akan pernah lelah memohon, dan Allah berkenan mewujudkan segala keinginannya. Ketika Elang berb
Zhia mengembuskan napas saat terlihat putrinya Naura sedang bermain tak jauh darinya, namun ia sangat takut untuk menghampirinya. Setidaknya satu menit saja ia bisa memeluk putrinya itu, melihat Naura tertawa bahagia membuat Zhia menangis. Bahkan posisinya kini tak lagi ada di hati Zhia. "Ma ... ayo sini," panggil Naura membuat Zhia tersentak kaget. 'Mama siapa dia?' Guman Zhia. Gadis kecil dengan bahagianya sedang bermain sesaat wanita cantik menghampiri dengan kondisi sedang hamil. Bahu Zhia lunglai badannya bergetar hebat tatkala nanar kedua netranya menatap wanita itu. Matanya memerah menahan air mataZhia menarik napas kasar, namun sepertinya ia mengenali wanita itu. "Mama lihatlah Papa, bisa ya, ma. Papa main badminton, bukannya itu susah, Ma?" "Itu kesukaan Papa, sayang, dulu mama dan papa sering main bersama," jawab Arum melihat suaminya bermain dengan tetangga komplek. "Kenapa Mama tak main dengan, Papa!"Arum tertawa renyah sambil mengacak rambut Naura. "Ya ga boleh s
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami