Beberapa bulan kemudian, Zhia mengaduk jus jeruk di depannya untuk yang ke sekian kali. Menekan rasa yang entah sudah seperti apa. Harusnya ia ingat, kafe ini tempat pertama kalinya ia bertemu dengan Elang. karena sejak itu Zhia terpesona dan jatuh cinta kepada Elang pada pandangan pertama. Jadinya saat ini Zhia lah yang menderita dan merana? Apa kabarnya Elang juga putrinya, Naura? Menyebalkan, hidup Zhia benar-benar hancur mencintai lelaki yang ia sakiti. "Zhi? Mas cariin ternyata di sini?" tanyanya. Entah sejak kapan datangnya Levin, bahkan Zhia tak menyadarinya. "Eh, iya, Mas," jawab Zhia tergagap."Sendirian, saja?" Lagi-lagi ia bertanya.Zhia menatap netra kakaknya yang curiga. "Kenapa emangnya? Zhia baik-baik saja, Mas?" Zhia mencoba bergurau.Levin terkekeh. Lalu mengacak rambut adiknya. "Selamat ya sekarang sudah terkenal kamu."Zhia tersenyum ramah. "Ya semuanya berkat, Mas, kan! Terima kasih buat senuanya, Mas.""Sama-sama."Zhia menatap kakaknya. Sesaat netra mereka ber
Levin ingin marah, tapi kemudian merasa tak pantas untuk melakukannya. Karena ia sadar, sejak awal ia sendirilah yang terlalu berani untuk melibatkan diri dalam kehidupan Arum dan ingin menikahi wanita yang sangat baik itu. Wanita yang sudah jelas-jelas tak pernah mencintainya apalagi sudah bersedia dengan tulus menerimanya dan menjadi calon istrinya. Namun, Levin menghancurkan hati Arumi dengan membohonginya. Jadi, ia hanya bisa menyimpan sendiri kemarahannya, tanpa punya kuasa untuk meluapkan kekesalannya. Ia sangat prustasi karena wajah Arum selalu seperti bayangan yang tiap hari melekat diingatannya. Dan tak bisa hilang. Terkadang, Levin menertawakan dirinya sendiri atas segala kenaifannya. Sering kali cinta yang ia punya membuat logikanya tidak dapat mencerna, hingga ia hanya mengedepankan rasa yang kadang justru menjebaknya dalam kubangan kebohongan yang tak berkesudahan. Lelaki itu masih dalam pembatas pagar wajahnya menatap jauh ke arah pantai. Ia memandang ombak-ombak kecil
Angga bermain dengan Naura, sedangkan Arum selesai membantu Bibi merapikan piring di atas meja makan. Dan ia melihat tak jauh dari Angga dan Naura bercanda, lalu berjalan mendekati mereka. "Sayang, Naura makan dulu, Nak.""Iya, Ma.""Mas Angga, makan gih."Angga mengangguk. "Iya, Rum.""Om, menginap di sini saja ya, temani Naura belajar?" pinta Naura pada Angga. "Ya, ga bisa, Nuara. Tapi Om temani nanti sampai selesai ya," jawab Angga membuat Naura mengulas senyimnya. kedua netra Naura berbinar. "Serius?"Angga tersenyum. "Iya, dua rius malah."Naura berdiri dan mencium pipi Angga. "Asyik, makasih, Om."Angga tersenyum ramah. "Sama-sama."Arum berjalan mendekati ruang kerja Elang, dan mengetuk pintu lalu ia membuka knop pintu dan berjalan masuk. Terlihat Elang yang masih sibuk dengan layar laptopnya. "Mas...."Elang menatao Arum dan tersenyum. "Iya, sayang.""Makan dulu sudah ditunggu, Mas Angga juga Nuara."Elang menutup laptopnya. "Iya baiklah, sayang!"Cup! Secepat kilat Elang
"Kamu berlebihan, Arumi sayang ... kita memang membutuhkan materi untuk hidup, itu manusiawi, wajar, bahkan perlu. Tapi ada sesuatu yang lebih berharga dari semua itu." Jelas Angga. "Apa?" "Ya, jadi suami yang akhlaknya baik.""So ... siapa calom mas, Angga?" goda Arum. "Ya aku selalu minta sama Allah hal ini tentang jodoh. Ya, pingin punya pasangan yang baiknya sama kayak kamu.""Hmm ... bisa saja, tapi semoga saja di ijabah sama Allah.""Aamiin, permintaanku sederhana, 'kan?""Segala sesuatu yang berawal dari hal baik InsyaAllah barokah. Mas.""Doa juga kudu sabar dan ikhlas. Baru bentar langsung ngeluh, kok belum dikabulin, ya. Itu namanya nggak tau diri. Contohnya kamu kan? Bahagia usai masalah datang bertubi-tubi.""Iya, Mas Angga. Rum mengerti dan tak akan menyerah."Angga terbahak lalu merangkul tubuh Arum dengan menguntai banyak harapan. Berharap adiknya selalu bahagia dan tak akan pernah lelah memohon, dan Allah berkenan mewujudkan segala keinginannya. Ketika Elang berb
Zhia mengembuskan napas saat terlihat putrinya Naura sedang bermain tak jauh darinya, namun ia sangat takut untuk menghampirinya. Setidaknya satu menit saja ia bisa memeluk putrinya itu, melihat Naura tertawa bahagia membuat Zhia menangis. Bahkan posisinya kini tak lagi ada di hati Zhia. "Ma ... ayo sini," panggil Naura membuat Zhia tersentak kaget. 'Mama siapa dia?' Guman Zhia. Gadis kecil dengan bahagianya sedang bermain sesaat wanita cantik menghampiri dengan kondisi sedang hamil. Bahu Zhia lunglai badannya bergetar hebat tatkala nanar kedua netranya menatap wanita itu. Matanya memerah menahan air mataZhia menarik napas kasar, namun sepertinya ia mengenali wanita itu. "Mama lihatlah Papa, bisa ya, ma. Papa main badminton, bukannya itu susah, Ma?" "Itu kesukaan Papa, sayang, dulu mama dan papa sering main bersama," jawab Arum melihat suaminya bermain dengan tetangga komplek. "Kenapa Mama tak main dengan, Papa!"Arum tertawa renyah sambil mengacak rambut Naura. "Ya ga boleh s
Levin berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Levin di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh vidio yang ia lihat. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya batal dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengan Zhia saat ini, Levin mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. yang lewat atau yang sedang berada di depan rumah. Seperti dulu, saat masih kecil, Levin mencuri waktu untuk bertemu Zhia. Sering bermain dengannya tetanggaku. Dulu, Ibunya sering terlihat marah karena menemui Zhia. Sekarang sudah berbeda sang mama sudah memberi kebebasan, namun Levin dan Zhia sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Levin meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi Arum. Ah, Levin mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadang Levin begitu rindu saat-saat bersama Arum. Mobil berhenti saat tiba di taman
Setiap ibu hamil pasti memiliki ngidam yang berbeda-beda terkadang melaluinya dengan biasa saja atau bahkan sampai tidak mau menyentuh makanan. Naura membolak-balikkan buku yang ada banyak sekali gambar bayi mulai dari merangkak bahkan cara memandikan bayi. sampai memberi makan juga mengompres bayi saat deman. "Ma, lihatlah buku ini, semua komplit lo dari memandikan adik juga memberinya makan." "Mana? Dapat dari mana bukunya, sayang?" tanya Arum mendekati Naura. "Ini, Ma. Entahlah ada di meja, mungkin punya papa, ma," jawab Naura sambil menunjukkan bukunya. "Oh, itu buku mama, Nak. Buat periksa dede yang ada dalam perut, mama.""Oh begitu, Ma."Arum mengusap perutnya dengan pelan. "Iya, sayang."Arum sangat senang bisa mengandung merasakan menjadi seorang wanita hamil tak tahu anaknya nanti cowok atau cewek ia lebih berharap jika kandungannya baik-baik saja. Dan sangat berharap anaknya tumbuh menjadi anak yang baik cantik atau tampan seperti papanya. Segelas susu hangat berada di
Apakah Zhia kuat menjalani hidupnya yang penuh kepura-puraan? Apakah ia sanggup bertahan? Atau ia akhiri saja hidupnya, karena ia tak bisa hidup tanpa Elang. Pikiran-pikiran itu selalu menghantuinya Meski lelah, akankah Zhia bertahan. Apakah ia terlalu bodoh bila memilih berjuang mendapatkan Naura dan juga Elang. Walau ambisi Zhia masih sangat menggebu. Setelah Levin dan sang Mama pergi, ia pun ikut pergi ke apartment yang selama ini ia tempati. Rasa itu sangat sulit. Ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang apartmentnya, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Elang sedang bermesraan dengan Arum juga Naura menari-nari di benak Zhia. Tiap kali ia menututup mata, bayangan itu selalu hadir menghantuinya. Jarum jam sudah menunjukkan angka dua pagi, namun mata Zhia tetap saja enggan terpejam. Sesekali tangannya menutup mulut saat menguap. Mata Zhia sepertinya tak bisa untuk terpejam. Tak peduli jika pagi nanti Zhia ada jadwal pemotretan, tak begitu ia perdulikan pekerjaan yang ada di de