Bahkan rasa itu masih sama serapi dulu. Hanya saja jika dulu hal paling membahagiakan, sekarang terasa makin membuat perih. Terlebih saat menyadari rasanya masih sama dan tak pernah berkurang."Mas, Rum ke toilet dulu ya." Arum pamit pada suaminya. "Iya, sayang. Hati-hati ya, apa perlu aku antar?"Arum tersenyum. "Tidak, Mas, sebentar saja kok.""Baiklah."Levin menatap Arum yang beranjak pergi ke toilet. 'Aku takkan bisa melupakannya jika aku sendiri tidak ingin meminta maaf, aku akan menyelesaikan masalahku agar hidupku tenang.' Batin Levin. "Aku ke toilet sebentar." Pamit Levin pada asistennya. "Baik, Pak."Tak bisa dipungkiri, rasanya masih tetap sama. Sesungging senyum miris terukir dari sudut bibir Levin, Setelah berbagai pertimbangan akhirnya ia melangkah juga mengikuti Arum. Levin bersandar di tembok. Menatap Arum yang tengah berada di toilet, saat Arum keluar Levin pura-pura berjalan. Arum terbelalak langkahnya semakin pelan saat menatap Levin berjalan ke arahnya, Arum me
Elang menepikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengajak turun istrinya dan berjalan menuju warung rawon yang diinginkan Arum. Tak butuh waktu lama pramusaji datang membawakan dua mangkuk Rawon daging dengan sambal terasi juga kerupuk udang. "Wah, kayaknya enak ini, Mas."Elang tersenyum. "Iya makanlah, sayang."Arum mengangguk dan menghabiskan satu mangkuk rawon, rasanya sangat enak sekali. Elang hanya tersenyum menatap istrinya sesekali Arum mengelap keringat dipelipisnya. Membuat Elang tertawa geli melihat tingkah Arum yang tidak seperti biasanya. Arum mengaduk jeruk hangat lalu meneguknya, ia tersenyum menatap suaminya yang sedari tadi memperhatikannya. "Mas, maaf ya. Habisnya ini enak," seru Arum malu. Elang menggangguk. "Enggak papa, sayang. Mau pulang sekarang, apa mau tambah lagi di bungkus?""Iya boleh, buat Naura dan Bibi, Mas.""Baiklah."Selesai mereka pulang, mobil membawa mereka melaju membelah jalan raya menuju rumah mereka. mobul membelah jalan raya menuju rumah m
Arum tak menggubris pertanyaan maaf Levin. laki-laki itu diam seribu bahasa. Arum malah menghindar saat Levin mencoba menatapnya. Bukan apa-apa, hanya sekedar memastikan. Bukankah tatapan mata tak pernah bisa berbohong? Sayangnya Levin tak mendapatkan apa pun, laki-laki itu hanya menggeleng. Seperti yang sudah ia bayangkan sebelumnya. Arum tidak berani membalas tatapan Levin. Levin makin yakin, pasti Arum tak akan pernah memaafkannya. Levin melangkah keluar dan membating pintu tempat kerjanya, serta membawa mobilnya, ia menginjak gas pikirannya kalut. Karma kah ini jika hidupnya sekarang dikendalikan oleh egonya sendiri. Rasa sesal di dalam hatinya masih hinggap dan tak kunjung pergi. Levin memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang sepi dan keluar mobil. Tubuhnya lunglai ke aspal yang berselimut kan debu. Hujan air mata membasahi pipinya, ia tak sanggup menahan beban yang menghimpit hidupnya. "Aghhh ... tidak. Arum maafkan aku ... kumohon kembalilah." Teriak Levin histeris. Tang
Levin berjalan mendekati jenasah Bu Lastri yang terbujur kaku, ia menangis histeris bersama Simbok. Entah kenapa takdir bisa bicara seperti ini, entah kenapa takdir merenggut nyawa mamanya dari sisi mereka, tubuh yang sudah terbujur kaku, Levin memeluk jenazah sang mama dengan perasaan entah. 'Maafkan Levin, Ma.'Zhia yang baru datang menangis histeris, padahal baru kemarin mama memintanya untuk makan bersama. "Tidak, mas itu tidak mungkin." Sesaat Zhia terjatuh dan pingsan. "Aduh, Tuan bagaimana ini, Non Zhia pingsan, Tuan."Simbok mencoba memberi minyak pada hidung, tengkuk, dan kening Zhia. Levin mengangkat tubuh Zhia di sofa rumah sakit. "Tuan, Nyonya...?""Iya, Mbok Nyonya sudah tiada."Simbok menutup mulutnya dan terkejut, "Innalillahiwainnaillahiroji'un, Nyonya." Si Mbok ikut menangis. Zhia menggerakkan tangannya lalu menangis, dan memeluk erat tubuh kakaknya Levin. "Zhia belum minta maaf, Mas, Zhia banyak salah, Zhi enggak rela.""Sabar, Zhi sudahlah."Zhia mengoyang-goya
Tatapan Levin memindai beberapa kotak besar dalam kardus juga beberapa travel bag, yang diletakkan di depan teras rumah, serta sebuah mobil pick up yang berhenti tepat di depan halaman rumah sederhana namun begitu indah, almarhum sang mama membelinya kala itu dan ini di berikan kepada Levin juga Zhia. Dua orang laki-laki tampak menurunkan beberapa barang lainnya dari mobil ke halaman. Lalu memindahkannya ke dalam ruangan rumah. Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil pick up tersebut kemudian berlalu pergi. Levin, si Mbok dan Zhia memutuskan keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah yang sangat indah juga. "Emm, lumayan bagus, Mas.""Iya, kau suka?""Iya, Mas, suka."Senja merona telah tiba Levin bersiap ke rumah pak Dibyo, Levin mendapat amanah dari almarhum sang mama untuk menyerahkan perusahaan milik pak Dibyo lagi, entah nanti beliau akan mencaci makinya atau memukulnya sekalipun namun Levin akan berusaha menerima semua hukuman apapun itu. "Zhi, Mas keluar senbentar ya, tolong
Elang yang melihat kondisi Arum, berdiri dan langsung mendorong tubuh Zhia hingga membentur dinding dan mencekik lehernya. "Jangan main-main denganku, jika terjadi apa-apa dengan Arum. Aku tak akan melepasmu." ucap Elang kasar. "Aghh, lepaskan...." teriak Zhia. "Jangan pernah berurusan denganku, kau pernah menjebakku dan kini kau berusaha menyakiti istriku. Hah.""Lepaskan, sakit," pekik Zhia. "Mas, sudahlah. Ini sakit sekali." Rintih Arum kesakitan. Elang panik dan langsung menyuruh satpam menangkap Zhia, dan menggendong tubuh Arum ke dalam mobil. "Ya, Allah ini sakit, tolong selamatkan anakku ya Allah."Elang tak tahan melihat istrinya menjerit kesakitan, abu anyir darah mulai menyeruak di dalam mobil, sepertinya darah banyak keluar, terlihat baju berwarna cokelat muda berubah menjadi merah darah. Dengan cepat Elang menancap gas mobilnya menuju rumah sakit bersalin terdekat. "Aku mohon bertahanlah, sayang.""Aghhh sakit."Bau anyir semakin pekat, membuat Elang bernafsu untuk
Bara kecemburuan seketika berkobar menjadi api, saat Zhia melihat kemesraan Arum dan sang mantan suami membuat emosi Zhia berada di tingkat tinggi. Panas dan sesak bersamaan menyeruak, mendesak berebut ingin segera ditumpahkan. Semakin tersiksa karena bisa melampiaskannya, dengan mendorong tubuh Arum tadi. "Zhia, kau ini. ada apa denganmu, bukankah tadi kamu bilang akan di rumah saja. Hah." Levin memarahi Zhia kali ini kelakuan Zhia benar-benar diluar batas. Diam. Seketika suasana mejadi hening sampai Satpam menelepon pihak yang berwajib. Sejenak Levin memejamkan mata untuk meredam amarah. "Apa yang adikku lakukan, Pak?" tanya Levin pada satpam. "Wanita ini, mendorong tubuh wanita hamil, hingga wanita itu pendarahan hebat, Pak." jelas lelaki yang menyqndang gelar sebagai Satpam itu. "Astaqfirullah. Zhia kenapa kau menjadi liar dan bar-bar begini, hah. Jangan bilang wanita itu adalah Arum?" tanya Levin curiga. Sorot mata Zhia tajam menghujam setelah teriakan sang kakak, Zhia ter
Elang terbangun, saat mencium aroma minyak kayu putih di hidung. Perlahan matanya terbuka. Kepalanya terasa berat dengan samar-samar ia melihat Angga dan pak Dibyo mertuanya menemainya ia tetidur di bangkar. Elang merasakan kepalanya berdenyut luar biasa, ia berusaha beranjak, tapi badan terasa sangat lemas. Elang pegangi kepala yang luar biasa pusing. Sesaat ia sadar bahwa bagaimana keadaan sang istri. "Astaqfirullah, Arum.... " teriak Elang saat sudah kembali tersadar dari pingsannya. "Syukurlah kamu sudah bangun, Lang," ucap Angga, seraya menutup tutup minyak kayu putih. Aroma minyak kayu putih menguar dipenciuman Elang. "Bagaimana, Arum, Mas?" tanya Elang lirih, merasakan denyutan kepala yang belum membaik.Pak Dibyo tersenyum. "Arum dan anakmu baik-baik saja, Lang.""Alhamdulillah ... apa papa serius?" tanya Elang bahagia. "Iya, selamat ya sudah menjadi papa lagi." Jelas Pak Dibyo. Elang memeluk tubuh papa mertuanya. "Iya, Pa.""Sabar-sabar, karena sabar juga do'amu yang me
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami