Arum dan Naura melangkahkan kaki menyusuri jalanan komplek perumahan bersama Naura. Angin pagi mengiringi perjalanan mereka, mereka berdua melihat beberapa ekor burung-burung berkicau hinggap di pemohonan yang mungkin saja mencari makan. Mereka melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju pertigaan. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin pagi ini, membuainya. Menebarkan damai di penjuru hati.Mata Arum menyisir sekeliling, mengurutkan nomor rumah yang berukuran besar dan luas. Mungkin karena masih agak jarang penduduknya terlihat pemandangan juga begitu asri. Di ujung sana, rumah yang terletak di pinggir jalan terdapat deretan rumah yang sama, sekilas Arum menatap rumah itu sangat besar dan berlantai dua, terlihat paling bagus. Tiang-tiang yang menjulang tinggi menambah kesan kokoh rumah mewah itu. Sepertinya baru direnovasi, indah sekali. Arum dan Naura terus berjalan menuju taman komplek, Seulas senyum tersungging di bibir Naura saat melihat b
"Tante, Papa vidio call, sini, Tante." Naura terlihat senang dan berjalan mendekat ke arah Arum. Arum tersenyum dan masih membantu sang Mama menyiapkan sarapan. "Tante sibuk sayang. Salam saja ya sama Papa."Terdengar jelas di pendengaran Arum ucapan selamat pagi juga suara lembut yang sangat ia rindukan. [Ya, Tantenya lagi sibuk, Pa, lagi menyiapkan sarapan untuk, Naura.]Ponsel milik Naura diarahlan ke arah Arum, ia tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah ponsel Naura. 'Aku benci wajah itu. Wajah yang selalu membuatku rindu' bisik Arum dalam hati. [Pa, mana om Angga? Hari ini Papa lagi ga kerja?][Masih mandi, sayang. hari ini Papa libur, sayang.][Pa, Naura rindu]Setetes bulir bening keluar dari wajah Naura. [Papa, juga rindu sayang. Sabar ya. Salam buat, Tante Rum, dan Eyang ya.]Naura tersenyum bahagia . [Iya, Papa]Arum hanya tersenyum mendengar suaranya saja sudah membuatnya bahagia. Mungkin ini karena mereka sering bersama saat kecil hingga remaja. Arum ikut merasaka
"Mas Angga.... "Mata Arum sesaat memejam, merasakan denyut yang semakin nyeri di kepala. Segera ia mengusap pelipis yang terasa basah dengan telapak tangan. Lutut Arum seketika lemas saat membuka mata dan mendapati seseorang yang ia rindukan selama ini berada di depannya. Jemari Arum gemetar bersamaan dengan tubuh yang tiba-tiba mematung. "Rum, ini, Mas lo, diam saja, ga kangen apa? Elang saja yang dilihatin dari tadi." Goda Angga pada adikknya. Arum tersenyum. "Iya ... iya kangen kok." Arum memeluk kakaknya. "Mas, kangen. Mana oleh-olehnya?""Oleh-oleh!""Ya, iya lah," jawab Arum memukul lengan kakaknya. "Tuh, oleh-oleh. Cakep lagi." Tujuk Angga ke arah Elang. Arum melotot kaget dan memukul tubuh bidang kakaknya. "Ih, apa sih, Mas, enggak lucu tau.""Tapi suka kan?" goda Qngga lagi. Arum menautkan alisnya. "Tau, ah.""Dih kan, mukanya merah! sudah kayak kepiting rebus.""Mas, Angga, ish!" Arum mencebik.Angga tertawa. Sejak saat itu, sikap manja Arum ke Angga memang berlebihan.
Suara Zhia begitu keras bertengkar dengan sang Mama, sesaat melirih seiring hembusan angin dingin. Sesekali Levin hembuskan napas dengan kasar. Ia melirik jam, baru jam setengah delapan. Levin menyimpan dagu diantara dua lengan, menikmati keindahan malam dalam kesendirian, duduk menghadap jendela. Purnama yang bersinar ditemani bintang yang sedikit, harusnya menjadi malam yang begitu cantik, tapi malam ini tidak. Mereka bersinar di waktu yang tidak tepat. Menyedihkan untuk hati Levin begitu perih seperti tersayat sembilu. "Levin ... tolong, Mama Levin...." Teriakan sang Mama membuat Levin terperanjat kaget. 'Sepertinya Mama menaggilku, ada apa lagi ini rumah ini serasa bagikan di neraka'"Levinnn...." Teriak Bu Lastri kencang. Levin berlari menuruni tangga sambil menutup dada bergetar ada apa mamanya berteriak histeris. Ia melihat darah segar di lantai dan tubuh adik kesayangananya terkapar lemas tak berdaya. "Astagfirullah ... mama, kenapa dengan Zhia?" tanya Levin panik. "Enta
Wanita itu ketakutan menatap sang mama yang baru datang. Levin yang sedari tadi di situ mencoba menenagkan adiknya. Lalu, setelah memastikan Zhia kembali tertidur Levin turun dari tempat tidur, dan berjalan pelan menemui ibunya di luar, ia melangkah menuju pintu membuka, lalu menutup pintu dan menemui sang mama. "Bagaimana adikmu?" tanya Lastri. "Perasaanku tak enak dari tadi. Ma semoga Zhia baik-baik saja?""Ya, dasar tak mau di kasih tau," jawab sang mama sambil menoleh ke arah putranya. Sejenak terdiam. "Lev?""Iya, Ma?""Apa mama banyak salah, Kalian berhak bahagia, tapi mama mengatur kalian agar jadi manusia yang kuat, sekarang terserah kalian mama susah capek."Levin menggigit bibir, menahan sesak di dada. Sementara, pikirannya semakin tak karuan. Apapun itu Arum tak akan memaafkannya. "Terlambat, Ma, bahkan Levin dan Zhia sudah tidak termaafkan oleh Arum juga Elang bukan."Entah Levin harus senang atau tidak dengan ucapan Ibunya, namun itulah kenyataannya sudah terlambat .
Satu bulan berlalu sejak lamaran itu. Setelah selesai mandi, Arum langsung di dudukkan di depan cermin besar. Hanya dengan waktu satu jam, Arum sudah selesai dengan make up dan juga kebaya putih tulang yang membalut tubuhnya. Perlahan ia membuka mata yang sejak tadi terpejam saat sang MUA memoles bagian kelopak matanya. Senyum terukir menghiasi wajahnya, ia tidak menyangka jika ia juga bisa terlihat seanggun ini, untuk sebuah pernikahan keduanya. "Cantik sekali, Nona. Adalah salah satu pengantin tercantik yang pernah saya rias." Kata perias yang cantik itu. "Memang cantik sahabatku ini, Mbak.""Ya luar biasa, sangat cantik."Arum hanya tersenyum kepada wanita itu. Ia tahu jika kali ini pernikahannya akan berlangsung sederhana. Hanya ada keluarganya saja. Bahkan rekan kerjanya pun tidak di undang. Lestari menggenggam tangan sang sahabat. Mungkin kesedihan itu tidak akan berkurang, namun setidaknya Elang akan menjaganya kali ini. "Kau baik, Rum?" tanya Lestari. Arum mengangguk. "Ya
"Wah indah sekali, kapan mas Elang renovasi ini? Ini rumah yang aku juga Naura suka, mas. Ini indah sekali.""Iya kah, ya lumayan sih biar dekatan sama rumah orang tua kamu. Kan enak tinggal jalan langsung sampai," jawab Elang sambil tersenyum. "Serius ini rumah baru kita, Pa?" tanya Naura tak percaya. "Iya, sayang."Naura dan Arum berpelukan merasai bahagia yang tak terkira. Mereka masuk menelisik setiap sudut ruangan terlihat unik dan cat yang begitu contras dengan disain tata letak. Interior modern dan perlengakapan furnitur dari kayi jati yang berkelas. Sekilas tampak sempurna dimata Naura juga Arum. Meskipun pernikahan mereka tidak menyebar banyak undangan, akan tetapi rasa letih begitu terasa oleh Arum setelah pesta usai. Elang menyadari hal tersebut. Pria itu langsung mengajak wanita cantik yang kini telah sah sebagai istrinya ke dalam sebuah kamar yang luas dengan konsep interior yang wah juga ranjang king size, yang terlihat berkelas. Naura tertegun dan terpana dibuatnya.
Arum memakai piyama bahan kaos yang adem, dan berada di depan meja rias yang terlihat baru dengan ukiran kayu jati yang terlihat modern juga ada sisi klasiknya. Arum tersenyum suaminya menyiapkan semua ini untuknya. Ia tahu jika ini adalah kesukaan Arum. Sepasang iris kehitaman itu menyipit melihat kado dari sahabatnya Lestari, Arum mengulas senyum dan mendekati kado yang berada si sofa kamarnya. Terlukis senyuman geli di kedua sudut bibirnya. Menatap kado adalah sebuah shampo juga lingerie merah, membuat Arum tak percaya pikiran Lestari ini. Sesaat ponsel di atas nakas bergetar. Arum berjalan mengambil ponselnya. [Gimana suka, kadonya harus di pake ya malam ini.]Apaan sih ini Tari norak banget, batin Arum. [Awas kalau ga di pakek.][Malu, Tari gila lo ya.][Eh, kali ini pernikahan terakhir ya, jangan biarkan suami lo. Direbut lagi sama Zhia. Ya]Kening Arum berkerut seketika. Detik berikut menghela napas lega.[Iya kah][Ya, makanya pake.]Arum tak mengerti ucapan sahabatnya ini,