"Wah, henpon baru ya, Sum?" tanya Mbak Sugi, dia adalah orang Jawa Timur yang kebetulan bekerja di sebelah rumah bosku. Hari ini aku sengaja ambil libur dan minta tolong Sugi untuk mengajariku bagaimana menggunakan F******k karena aku tidak enak kalau harus minta tolong pada Robert.
"Iya, dikasih Robert. Kamu punya F*, Mbak? Apa nama F*-nya kok aku cari ora ketemu?" Mbak Sugi yang sedang meminum es tehnya langsung membanggakan diri. "Yo punyalah, Sum. Arek jaman sekarang, gak ada yang gak punya F*, Sum. Kamu aja itu yang kudet! Orang lain sudah pake android, kamu masih pake hp tulit-tulit." "Ya, mau gimana lagi, Mbak. Hp bagus kan harganya gak murah." "Ah, kamu itu. Buat suami sama anak-anakmu aja loyal, giliran buat diri sendiri pelit! Siniin hp-mu." Mbak Sugi merebut HP dari tanganku. "Oya, semua kontak udah di sini semua?" "Sudah, Mbak. Sudah dibantuin nyimpan semua." Mbak Sugi terlihat mengotak-atik HPku dengan lincahnya. "Kalau udah kesimpen, tinggal aku setting sinkron kontak. Nah, kan. Semua nomor di kontakmu, nama F*-nya langsung muncul di sini," kata Mbak Sugi sambil memberikan hp padaku. "Wah, pinter yo kamu, Mbak. Aku gak perlu nyari namanya satu-satu." "Walah! Nyari nama yo susah ketemu, Sum. Orang di F* kan kalau bikin nama aneh-aneh. Jarang yang pake nama asli!" "Lha terus dikasih nama apa, Mbak?" Wanita berusia lima puluhan itu langsung memperlihatkan ponselnya padaku. Di layar yang berwarna-warni itu ada sebuah akun F* yang namanya sangat bagus. "Ya misalnya kayak punya ini. Sugiati jadi Eliana Sugiarti Pratiwi. Atau namanya Agus jadi Pramana Aditya. Sumi jadi Putri Ariani dan masih banyak lagi." Walah! Ternyata banyak orang aneh-aneh. Pantes saja aku nyari nama F* Mas Patno gak ada. Aku menyodorkan hpku pada Mbak Sugi lagi karena masih bingung. "Mbak, coba cariin yang mana punya suamiku. Bingung sejak tadi mau tak tambah jadi teman, tapi bingung. Potonya cilik-cilik!" "Oalah, Sum ... Sum. Dasar katrok! Kan bisa dilihat profilnya dan dibesarin fotonya. Nih, udah aku tambahin jadi teman!" "Nama F*-nya sopo to, Mbak?" tanyaku penasaran. "Ayahnya Khalisa. Emang anakmu jenenge Khalisa, ya?" Aku merebut ponselku dari tangan Mbak Sugi dan melihat sambil melotot ke arah foto yang ada di layar. Dari fotonya itu memang benar Mas Patno, tetapi siapa anak usia empat tahunan yang ada di gendongannya itu? Dia bukan Risma waktu kecil, bukan pula Restu. Lalu, siapa anak itu? Kenapa juga Mas Patno menamai F*-nya dengan Ayahnya Khalisa? Apakah Khalisa adalah nama anak yang digendong suamiku itu? *** "Suum, come here," panggil Mam Lusi ketika aku sudah ada di dalam kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan semua pekerjaanku sudah selesai. "Yes, Mam!" Aku buru-buru berlari menuju ruang tengah. "Ada apa, Mam Lusi panggil saya?" "Duduk kejap." Mam Lusi memintaku untuk duduk di sebelahnya. "Ini buat kamu," kata wanita itu sambil memberikan amplop berwarna coklat. Alhamdulillah. Dapat bonus hari raya! "Thank you, Mam." Wanita itu tersenyum lalu menggenggam tanganku dan memelukku. "Kami juga terima kasih, ye. Thank you for your hard work and take care my family." "Oya, Mam. Can I ask you something?" "Of course! Do you need something? Bilang aje you mau apa." Aku terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Saya nak pulang kampung, boleh, tak?" Wanita di depanku itu tidak langsung menjawab. Terlihat sekali bahwa dia juga bingung harus menjawab apa. "Gimana, Mam? Boleh, tak?" "Urgent, tak? Pulang cuti, kan? You pasti balik sini, kan?" tanya Mam Lusi nampak kuatir. Seperti biasa dia takut kalau aku tidak balik lagi untuk bekerja. Sekarang giliranku yang terdiam. Sejak aku tahu akun F******k Mas Patno, entah mengapa perasaanku jadi tidak enak. Aku juga jadi teringat kejadian waktu pertama kali melakukan video call dengan suamiku itu. Masih jelas di otakku bagaimana ada gadis kecil yang memanggil 'ayah' yang entah siapa dipanggilnya. Apakah gadis cilik itu adalah anak yang sama di foto profil F* suamiku? Apakah gadis itu yang bernama Khalisa? Lalu, anak siapa sebenarnya dia? Berulang kali aku chat Mas Patno, tetapi tidak juga kunjung dibalas padahal di layar terdapat tanda centang dua. Aku juga berusaha menelepon dan video call, tetapi hasilnya nihil. Padahal aku cuma minta tolong agar permintaan pertemananku di F* diterima. Aku juga menanyakan kenapa nama F*-nya Ayahnya Khalisa? Salahkah aku bertanya seperti itu? Selama duapuluh tahun pernikahan kami, hal ini adalah kejadian langka. Biasanya kalau Mas Patno belum dapat transferan uang, dia akan selalu menghubungiku dan memintaku agar cepat mengirimkannya. Selain Mas Patno, aku juga berusaha menghubungi anak-anakku, tapi sayangnya mereka juga tidak menanggapi. Ya, Allah, sebenarnya ada apa dengan suami dan anak-anakku? Mengapa mereka seolah menghindariku? Aku memang tidak ada di dekat Restu dan Risma, tetapi tidak seharusnya aku diabaikan seperti ini. Aku tetaplah ibu mereka. Demi masa depan kedua anakku, aku rela menjadi TKW dan berjauhan dari orang-orang terkasih, akan tetapi mengapa begini balasannya? "Very very urgent, Mam. Urusan family. Tapi saya tak tahu kapan bisa balik ke sini lagi." Mam Lusi mendesah pasrah lalu menggenggam tanganku. "I think first-a. I perlu bicara dengan Sir. Kalau Sir cakap buleh, I belikan you tiket air plane." "Yes, Mam. Thank you," ujarku singkat lalu kembali ke kamar. Sambil tersenyum aku membuka ang pao pemberian Mam Lusi. Melihat lembaran seratusan dolar berjumlah sepuluh lembar, iseng-aku memotonya dan kukirim foto itu ke Restu, anak pertamaku. "Ibuk barusan dapat rejeki, Nduk. Kamu pengen apa? Biar Ibuk belikan." Tidak seperti yang sudah-sudah, Restu membalas pesanku dengan sangat cepat. Padahal pesan-pesanku yang lain saja dia abaikan dan sama sekali tidak dibalas. "Wah, banyak, Buk. Beliin Restu tas baru ya, Buk?" "Boleh. Memang berapa harga tasnya?" "Gak mahal sih. Cuma 500. Ibuk transfer ke rekening aku aja, ya? Jangan ke Bapak." Aku mengernyitkan dahi. Sejak kapan Restu punya rekening sendiri? Kok aku gak tahu? "Yasudah. Kasih Ibuk nomor rekeningnya. Biar Ibuk minta tolong teman buat transfer." "Sip deh, Buk." Restu membalas pesanku singkat. "Cah Ayu, Ibuk mau tanya. F* Ibuk kok gak di confirm? Telepon sama video call juga gak diangkat. Kenapa?" "Ah, Ibuk kepo, deh! Pokoknya Restu gak mau temenan sama Ibuk di medsos. Selain itu juga aku sibuk kuliah. Capek. Pusing. Jadi Ibuk harus ngerti, dong!" "Iya iya. Maafin Ibuk, ya." Setelah membalas berisi nomor rekening, Restu tidak membalas lagi pesanku padahal aku hanya ingin meminta fotonya. Aku ingin tahu bagaimana wajah putriku sekarang. Apakah anakku itu marah padaku karena aku tidak pernah ada di samping mereka layaknya ibu-ibu lain pada umumnya?Dalam perjalanan ke Changi Airport, Mam Lusi tidak berhenti menangis padahal dia sedang menyetir. Setelah beberapa hari berpikir dan rembukan dengan suaminya, akhirnya mereka memperbolehkan aku untuk pulang. Namun, mereka masih berharap aku bisa kembali lagi bekerja di keluarga mereka. "Kalau nak balik sini, chat I saje. Oke? I, Sir, Robert, and all family selalu welcome.""Baik, Mam. Thank you so much.""Hati-hati bawa duit. Saye tak nak tanya ade ape masalah you and family, tapi I berdoa masalah you cepat selesai.""Terima kasih, Mam." Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mam Lusi sebelum akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di depan terminal 3. Aku memeluknya untuk yang terakhir kali lalu turun dan mengambil tasku yang tak terlalu besar dari bagasi. Begitu Mam Lusi menjalankan mobilnya, aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu hilang di ujung jalan. Kepulanganku kali ini adalah sebuah kejutan. Aku tidak memberitahu siapa pun termasuk suami dan anak-anakku. Kata Mbak
"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku.Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi.Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun be
Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah. "Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. "Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!""Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!"Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali ti
"Ris, kata orang-orang, ibumu pulang, ya?" Tanya Anggun, teman sekelas Risma yang memang terkenal usil. Risma yang masih ngos-ngosan karena jalan kaki pun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih duduk terlebih dahulu lalu meminum air yang dibawanya dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, Risma bisa menempuh jarak yang 1 kilometer itu dengan berjalan kaki, tapi tetap saja dia ingin motor karena anak-anaknya di kelasnya hampir tak ada yang jalan kaki kecuali dirinya. Beberapa kali dia merengek pada bapaknya, tapi jawabannya selalu nanti, nanti, dan nanti. Padahal Risma tahu ibunya yang bekerja sebagai TKW itu selalu kirim uang ke rumah tiap bulan.Selain itu ... Risma juga tidak suka dengan buliknya yang saat ini tinggal bersamanya. Dia merasa sejak bapaknya menikah dan punya anak lagi, tidak ada lagi kasih sayang untuk dirinya. "Ditanyain kok bengong, sih? Berarti dekarang kamu punya dua ibu, dong?" tanya Anggun lagi dengan nada setengah mengejek.
"Mak ... Mak? Siapa yang masuk kamarku?" teriak Sumi ketika melihat kopernya tergeletak di lantai dengan keadaan compang camping bekas dirobek dengan pisau. Dan begitu memeriksanya dengan teliti, uang sejumlah satu juta sudah raib dari sana padahal dia sengaja menyisakan uang di sana untuk membelikan Risma hadiah. Karena Emak tak kunjung menyahut, Sumi berjalan tergopoh-gopoh ke dapur. Ke tempat biasa Emak nongkrong dengan bapak tiri Sumi. "Mak, siapa yang masuk ke kamar Sumi?"Emak yang sedang ngopi membelalak pada anaknya dengan emosi. "Ono opo to kok teriak-teriak?""Siapa yang masuk kamarku dan ngerusak koperku, Mak?""Lha mana aku ngerti to, Sum? Seharian aku di sawah. Justru kamu itu yang seharian ke mana kok malam begini baru pulang?""Semarang, Mak. Ketemu Restu," jawab Sumi ketus lalu meninggalkan dapur. Dia yakin kalau ada orang yang mengambil uang yang dia sembunyikan di dalam koper. Untung saja tadi pagi dia mengambil uang yang lainnya dan membawanya ke bank untuk membuk
"Ngapain Mas Patno di sini?" sentak Sumi kaget ketika dia merasakan seseorang mengelus kakinya. Dengan cepat dia menekuk kakinya dan mundur ke pinggir ranjang. Entah kenapa dia merasa jijik saat kulit lelaki itu menyentuhnya. Patno yang sedang menelan ludah itu pun tersenyum yang membuat Sumi bergidik ngeri. "Jangan gitu dong, Sum. Aku ini kan masih suamimu."Hah, suami? Pikir wanita itu jengkel. Lebih baik aku gak punya suami daripada punya suami iblis macam kamu!"Sekarang pernikahan kita cuma ada di atas kertas, Mas. Cepat atau lambat kita akan bercerai.""Lho, siapa yang ingin bercerai? Aku juga belum bilang talak ke kamu.""Sudahlah, Mas. Pokoknya sekarang aku gak mau jadi istrimu lagi. Jijik!"Patno tersinggung dengan perkataan istrinya itu. Dia mengepalkan tangan lalu menaiki ranjang dan berusaha mendekati Sumi.Dirangkulnya wanita itu dan Patno berusaha mendekatkan bibirnya pada wajah Sumi, tetapi karena Sumi terus memberontak sekuat tenaga, Patno jadi kewalahan. "Diem, Sum.
Setelah mengambil uang satu juta dari ATM, Sumi memasukkan uang itu ke dalam tas dengan hati-hati. Untung saja dia masih memiliki uang gaji, bonus hari raya, dan juga bonus dari majikannya. Jika tidak, dia pasti akan lebih bingung dan pusing karena di kampung sekarang semua serba uang dan serba mahal. Jika dulu Sumi ngojek dari rumah ke pasar, biayanya masih lima ribu. Kalau sekarang, paling tidak empat puluh ribu. Dia berencana memberikan sebagian uang itu pada Legi dan sebagian lainnya dia ingin menggunakan untuk kebutuhannya sendiri. Dia juga ingin mengajak Risma makan dan jalan-jalan. Semoga saja anak itu tidak menolaknya karena tadi saat dia ingin bicara dengannya ketika akan pergi ke sekolah, anak itu langsung lari menghindari Sumi. "Mbak Sumi? Betul Mbak ini Mbak sumi?" tanya seorang pria yang baru saja turun dari mobil ketika melihat Sumi keluar dari bilik ATM. Sumi jadi bingung. Dia tidak mengenali lelaki itu. Dilihat betul-betul wajahnya, tetap saja dia gak kenal. "Siapa
Sumi mendesah pelan ketika akhirnya Budi tidak langsung membawanya ke rumah, tetapi malah ke warung makan. Dan mau tak mau Sumi pun duduk daripada harus ribut dulu. Malu kan kalau jadi tontonan orang-orang?"Ayo Mbak pesen," kata Budi ketika Sumi hanya diam memandangi makanan-makanan itu."Kalau aku yang pesenkan, satu warung nanti tak borong semua, lho," lanjut pria itu sambil memarkan senyum yang memang selalu jadi andalannya.Karena takut Budi akan benar-benar melaksanakan apa yang dikatakannya, Sumi langsung memesan. "Nasi pecel satu, Mbak. Disiram kuah semur, nggih.""Minumnya nopo, Mbak?" tanya penjaga warung itu dengan ramah."Es teh manis mawon."Pandangan mata penjaga warung itu pun langsung berpindah pada Budi yang menyalakan rokoknya. "Mas makannya apa?""Lontong tahu, Mbak. Sama es jeruk," kata Budi santai sambil mengisap dalam-dalam rokok yang tidak pernah absen ketika dia sedang makan.Begitu makanan disajikan, Sumi terlihat sangat menikmati nasi pecel yang dipincuk deng