Share

3

"Wah, henpon baru ya, Sum?" tanya Mbak Sugi, dia adalah orang Jawa Timur yang kebetulan bekerja di sebelah rumah bosku. Hari ini aku sengaja ambil libur dan minta tolong Sugi untuk mengajariku bagaimana menggunakan F******k karena aku tidak enak kalau harus minta tolong pada Robert.

"Iya, dikasih Robert. Kamu punya F*, Mbak? Apa nama F*-nya kok aku cari ora ketemu?"

Mbak Sugi yang sedang meminum es tehnya langsung membanggakan diri. "Yo punyalah, Sum. Arek jaman sekarang, gak ada yang gak punya F*, Sum. Kamu aja itu yang kudet! Orang lain sudah pake android, kamu masih pake hp tulit-tulit."

"Ya, mau gimana lagi, Mbak. Hp bagus kan harganya gak murah."

"Ah, kamu itu. Buat suami sama anak-anakmu aja loyal, giliran buat diri sendiri pelit! Siniin hp-mu." Mbak Sugi merebut HP dari tanganku.

"Oya, semua kontak udah di sini semua?"

"Sudah, Mbak. Sudah dibantuin nyimpan semua."

Mbak Sugi terlihat mengotak-atik HPku dengan lincahnya. "Kalau udah kesimpen, tinggal aku setting sinkron kontak. Nah, kan. Semua nomor di kontakmu, nama F*-nya langsung muncul di sini," kata Mbak Sugi sambil memberikan hp padaku.

"Wah, pinter yo kamu, Mbak. Aku gak perlu nyari namanya satu-satu."

"Walah! Nyari nama yo susah ketemu, Sum. Orang di F* kan kalau bikin nama aneh-aneh. Jarang yang pake nama asli!"

"Lha terus dikasih nama apa, Mbak?"

Wanita berusia lima puluhan itu langsung memperlihatkan ponselnya padaku. Di layar yang berwarna-warni itu ada sebuah akun F* yang namanya sangat bagus.

"Ya misalnya kayak punya ini. Sugiati jadi Eliana Sugiarti Pratiwi. Atau namanya Agus jadi Pramana Aditya. Sumi jadi Putri Ariani dan masih banyak lagi."

Walah! Ternyata banyak orang aneh-aneh. Pantes saja aku nyari nama F* Mas Patno gak ada.

Aku menyodorkan hpku pada Mbak Sugi lagi karena masih bingung. "Mbak, coba cariin yang mana punya suamiku. Bingung sejak tadi mau tak tambah jadi teman, tapi bingung. Potonya cilik-cilik!"

"Oalah, Sum ... Sum. Dasar katrok! Kan bisa dilihat profilnya dan dibesarin fotonya. Nih, udah aku tambahin jadi teman!"

"Nama F*-nya sopo to, Mbak?" tanyaku penasaran.

"Ayahnya Khalisa. Emang anakmu jenenge Khalisa, ya?"

Aku merebut ponselku dari tangan Mbak Sugi dan melihat sambil melotot ke arah foto yang ada di layar. Dari fotonya itu memang benar Mas Patno, tetapi siapa anak usia empat tahunan yang ada di gendongannya itu? Dia bukan Risma waktu kecil, bukan pula Restu. Lalu, siapa anak itu? Kenapa juga Mas Patno menamai F*-nya dengan Ayahnya Khalisa? Apakah Khalisa adalah nama anak yang digendong suamiku itu?

***

"Suum, come here," panggil Mam Lusi ketika aku sudah ada di dalam kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan semua pekerjaanku sudah selesai. 

"Yes, Mam!" Aku buru-buru berlari menuju ruang tengah. "Ada apa, Mam Lusi panggil saya?"

"Duduk kejap." Mam Lusi memintaku untuk duduk di sebelahnya. "Ini buat kamu," kata wanita itu sambil memberikan amplop berwarna coklat. 

Alhamdulillah. Dapat bonus hari raya!

"Thank you, Mam."

Wanita itu tersenyum lalu menggenggam tanganku dan memelukku. "Kami juga terima kasih, ye. Thank you for your hard work and take care my family."

"Oya, Mam. Can I ask you something?"

"Of course! Do you need something? Bilang aje you mau apa."

Aku terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Saya nak pulang kampung, boleh, tak?" 

Wanita di depanku itu tidak langsung menjawab. Terlihat sekali bahwa dia juga bingung harus menjawab apa. 

"Gimana, Mam? Boleh, tak?"

"Urgent, tak? Pulang cuti, kan? You pasti balik sini, kan?" tanya Mam Lusi nampak kuatir. Seperti biasa dia takut kalau aku tidak balik lagi untuk bekerja.

Sekarang giliranku yang terdiam. Sejak aku tahu akun F******k Mas Patno, entah mengapa perasaanku jadi tidak enak. Aku juga jadi teringat kejadian waktu pertama kali melakukan video call dengan suamiku itu. Masih jelas di otakku bagaimana ada gadis kecil yang memanggil 'ayah' yang entah siapa dipanggilnya.

Apakah gadis cilik itu adalah anak yang sama di foto profil F* suamiku? Apakah gadis itu yang bernama Khalisa? Lalu, anak siapa sebenarnya dia?

Berulang kali aku chat Mas Patno, tetapi tidak juga kunjung dibalas padahal di layar terdapat tanda centang dua. Aku juga berusaha menelepon dan video call, tetapi hasilnya nihil. Padahal aku cuma minta tolong agar permintaan pertemananku di F* diterima. Aku juga menanyakan kenapa nama F*-nya Ayahnya Khalisa? Salahkah aku bertanya seperti itu?

Selama duapuluh tahun pernikahan kami, hal ini adalah kejadian langka. Biasanya kalau Mas Patno belum dapat transferan uang, dia akan selalu menghubungiku dan memintaku agar cepat mengirimkannya. 

Selain Mas Patno, aku juga berusaha menghubungi anak-anakku, tapi sayangnya mereka juga tidak menanggapi. 

Ya, Allah, sebenarnya ada apa dengan suami dan anak-anakku? Mengapa mereka seolah menghindariku? Aku memang tidak ada di dekat Restu dan Risma, tetapi tidak seharusnya aku diabaikan seperti ini. Aku tetaplah ibu mereka. Demi masa depan kedua anakku, aku rela menjadi TKW dan berjauhan dari orang-orang terkasih, akan tetapi mengapa begini balasannya?

"Very very urgent, Mam. Urusan family. Tapi saya tak tahu kapan bisa balik ke sini lagi."

Mam Lusi mendesah pasrah lalu menggenggam tanganku. "I think first-a. I perlu bicara dengan Sir. Kalau Sir cakap buleh, I belikan you tiket air plane."

"Yes, Mam. Thank you," ujarku singkat lalu kembali ke kamar. Sambil tersenyum aku membuka ang pao pemberian Mam Lusi. Melihat lembaran seratusan dolar berjumlah sepuluh lembar, iseng-aku memotonya dan kukirim foto itu ke Restu, anak pertamaku.

"Ibuk barusan dapat rejeki, Nduk. Kamu pengen apa? Biar Ibuk belikan."

Tidak seperti yang sudah-sudah, Restu membalas pesanku dengan sangat cepat. Padahal pesan-pesanku yang lain saja dia abaikan dan sama sekali tidak dibalas. 

"Wah, banyak, Buk. Beliin Restu tas baru ya, Buk?"

"Boleh. Memang berapa harga tasnya?"

"Gak mahal sih. Cuma 500. Ibuk transfer ke rekening aku aja, ya? Jangan ke Bapak."

Aku mengernyitkan dahi. Sejak kapan Restu punya rekening sendiri? Kok aku gak tahu?

"Yasudah. Kasih Ibuk nomor rekeningnya. Biar Ibuk minta tolong teman buat transfer."

"Sip deh, Buk." Restu membalas pesanku singkat.

"Cah Ayu, Ibuk mau tanya. F* Ibuk kok gak di confirm? Telepon sama video call juga gak diangkat. Kenapa?"

"Ah, Ibuk kepo, deh! Pokoknya Restu gak mau temenan sama Ibuk di medsos. Selain itu juga aku sibuk kuliah. Capek. Pusing. Jadi Ibuk harus ngerti, dong!"

"Iya iya. Maafin Ibuk, ya."

Setelah membalas berisi nomor rekening, Restu tidak membalas lagi pesanku padahal aku hanya ingin meminta fotonya. Aku ingin tahu bagaimana wajah putriku sekarang. Apakah anakku itu marah padaku karena aku tidak pernah ada di samping mereka layaknya ibu-ibu lain pada umumnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status