"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.
Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku. Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi. Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun bercerita tentang kekasihnya. Saat itu juga dia tidak terlihat sedang hamil. Apakah karena tubuhnya yang kurus dan mungil, jadi dia tidak terlihat sedang mengandung? Aku termenung sesaat dan langsung ingat nama itu. Khalisa. Nama yang sama dan digunakan sebagai akun F******k suamiku. Kini perlahan tabir itu telah terbuka. Apakah Khalisa adalah anak Mas Patno dari hasil penyelewengannya dengan adikku sendiri? Sejak kapan mereka mulai tertarik satu sama lain? Sejak kapan mereka berdua memadu kasih? Ya, Allah. Rasanya aku tak sanggup lagi menghadapi semua ini. "Jelaskanlah, Mas. Kamu memang berutang itu padaku!" kataku sinis sambil melirik Santi. Aku tidak menyangka bahwa adik yang kubesarkan dengan tanganku tega mengkhianati dan tidur dengan suamiku."Kalian benar-benar memalukan! Zina di rumahku di siang bolong begini!" "Siapa yang zina, Mbak? Aku dan Mas Patno sudah menikah!" bantah adikku dengan cepat. Hah! Rupanya dia punya nyali juga padahal sejak tadi dia hanya diam dan menunduk. "Semua orang tahu kami sudah menikah. Dan kami juga sudah punya anak." "Anakmu anak haram!" sahutku jengkel. "Dia ada sebelum kalian menikah! Sampai kapan pun anakmu adalah anak hasil zina!" "Tidaaak!" Santi berteriak. "Khalisa bukan anak haram!" "Suatu saat anakmu akan merasakan apa yang aku rasakan, San! Suaminya akan direbut oleh perempuan lain!" "Tidak! Aku tidak pernah merebut Mas Patno! Aku tidak pernah merebut suami siapa pun! Buktinya sampai sekarang Mas Patno masih jadi suami Mbak Sumi." "Kalau bukan merebut, lalu apa perbuatan kalian ini, San? Aku jadi bertanya-tanya, sejak kapan kalian berbuat zina?" Wanita itu diam lagi dan aku memalingkan pandanganku pada suamiku. "Sejak kapan kamu naksir adikku, Mas? Sejak kapan kalian bercumbu di rumahku? Mas yang menggodanya atau dia yang menggodamu? Atau jangan-jangan kalian sama-sama gatal, itu sebabnya kalian saling menggaruk!" "Rumahmu?" Tanpa rasa bersaah sedikit pun Mas Patno berkata seperti itu. "Siapa bipang ini rumahmu, Sum? Ini adalah rumahku. Aku membangunnya sendiri. Semua orang juga tahu kalau ini rumahku!" "Heh? Dasar laki-laki tidak tahu malu! Sejak kapan kamu punya duit, Mas? Selama menikah denganku, kamu cuma pengangguran dan kamu bilang ini rumahmu?" Lelaki itu berdiri lalu masuk ke dalam kamar. Dan begitu dia kembali, dia membawa sebuah amplop coklat dan langsung ditaruh ke atas meja. "Bukalah," katanya tegas tanpa gentar sedikit pun. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka amplop coklat itu dan setelah membaca semua isinya, lututku terasa lemas dan mulai kehilangan keseimbangan. Tanah tetangga yang kubeli dengan jerih payahku untuk membangun rumah, rumahku, ternyata semua sertifikat itu bukan atas namaku melainkan atas nama suamiku. Aku juga melihat di sana ada BPKB mobil atas nama adikku Susi Susanti. "Di mana sertifikat sawah yang kubeli, Mas?" "Sejak kapan kamu beli sawah? Duit saja gak punya!" "Mas! Dulu kamu bilang katanya mau beli sawah seratus limapuluh juta! Aku pinjam ke bosku untuk membeli sawah itu." "Mana? Aku tidak pernah menerima uang seperak pun! Kamu pasti mimpi!" Dadaku kembang kempis menahan marah. Jelas-jelas saat itu aku memohon pada bosku agar mau meminjamkan uang. Sebagai gantinya, aku tidak mendapat bayaran selama kurang lebih dua tahun. Dasar iblis! Akhirnya aku melihat lagi BPKB mobil di tanganku dan melihat kapan pembelian mobil itu. Sekarang, aku tahu ke mana uang seratus lima puluh juta itu. Rupanya pria tak tahu diri itu membeli mobil dan mengatas namakan Santi. Hah, benar-benar ular berbisa! "Sekarang kamu lihat sendiri, kan? Kamu tidak punya apa-apa di sini dan tidak berhak satu sen pun!" ucap Mas Patno seolah-olah dialah pemenangnya. "Jangan senang dulu, Mas. Kamu pikir Tuhan tidak melihat perbuatanmu yang keji itu? Aku masih menyimpan semua bukti transfer ke rekeningmu dan aku bisa menuntutnya kalau mau. Dan Ibu ... Ibu juga pasti mau jadi saksi kalau aku menuntut kalian ke pengadilan!" "Tuntut saja!" balas Mas Patno seperti orang kesetanan. "Kita lihat siapa yang akan membelamu di sini!"Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah. "Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. "Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!""Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!"Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali ti
"Ris, kata orang-orang, ibumu pulang, ya?" Tanya Anggun, teman sekelas Risma yang memang terkenal usil. Risma yang masih ngos-ngosan karena jalan kaki pun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih duduk terlebih dahulu lalu meminum air yang dibawanya dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, Risma bisa menempuh jarak yang 1 kilometer itu dengan berjalan kaki, tapi tetap saja dia ingin motor karena anak-anaknya di kelasnya hampir tak ada yang jalan kaki kecuali dirinya. Beberapa kali dia merengek pada bapaknya, tapi jawabannya selalu nanti, nanti, dan nanti. Padahal Risma tahu ibunya yang bekerja sebagai TKW itu selalu kirim uang ke rumah tiap bulan.Selain itu ... Risma juga tidak suka dengan buliknya yang saat ini tinggal bersamanya. Dia merasa sejak bapaknya menikah dan punya anak lagi, tidak ada lagi kasih sayang untuk dirinya. "Ditanyain kok bengong, sih? Berarti dekarang kamu punya dua ibu, dong?" tanya Anggun lagi dengan nada setengah mengejek.
"Mak ... Mak? Siapa yang masuk kamarku?" teriak Sumi ketika melihat kopernya tergeletak di lantai dengan keadaan compang camping bekas dirobek dengan pisau. Dan begitu memeriksanya dengan teliti, uang sejumlah satu juta sudah raib dari sana padahal dia sengaja menyisakan uang di sana untuk membelikan Risma hadiah. Karena Emak tak kunjung menyahut, Sumi berjalan tergopoh-gopoh ke dapur. Ke tempat biasa Emak nongkrong dengan bapak tiri Sumi. "Mak, siapa yang masuk ke kamar Sumi?"Emak yang sedang ngopi membelalak pada anaknya dengan emosi. "Ono opo to kok teriak-teriak?""Siapa yang masuk kamarku dan ngerusak koperku, Mak?""Lha mana aku ngerti to, Sum? Seharian aku di sawah. Justru kamu itu yang seharian ke mana kok malam begini baru pulang?""Semarang, Mak. Ketemu Restu," jawab Sumi ketus lalu meninggalkan dapur. Dia yakin kalau ada orang yang mengambil uang yang dia sembunyikan di dalam koper. Untung saja tadi pagi dia mengambil uang yang lainnya dan membawanya ke bank untuk membuk
"Ngapain Mas Patno di sini?" sentak Sumi kaget ketika dia merasakan seseorang mengelus kakinya. Dengan cepat dia menekuk kakinya dan mundur ke pinggir ranjang. Entah kenapa dia merasa jijik saat kulit lelaki itu menyentuhnya. Patno yang sedang menelan ludah itu pun tersenyum yang membuat Sumi bergidik ngeri. "Jangan gitu dong, Sum. Aku ini kan masih suamimu."Hah, suami? Pikir wanita itu jengkel. Lebih baik aku gak punya suami daripada punya suami iblis macam kamu!"Sekarang pernikahan kita cuma ada di atas kertas, Mas. Cepat atau lambat kita akan bercerai.""Lho, siapa yang ingin bercerai? Aku juga belum bilang talak ke kamu.""Sudahlah, Mas. Pokoknya sekarang aku gak mau jadi istrimu lagi. Jijik!"Patno tersinggung dengan perkataan istrinya itu. Dia mengepalkan tangan lalu menaiki ranjang dan berusaha mendekati Sumi.Dirangkulnya wanita itu dan Patno berusaha mendekatkan bibirnya pada wajah Sumi, tetapi karena Sumi terus memberontak sekuat tenaga, Patno jadi kewalahan. "Diem, Sum.
Setelah mengambil uang satu juta dari ATM, Sumi memasukkan uang itu ke dalam tas dengan hati-hati. Untung saja dia masih memiliki uang gaji, bonus hari raya, dan juga bonus dari majikannya. Jika tidak, dia pasti akan lebih bingung dan pusing karena di kampung sekarang semua serba uang dan serba mahal. Jika dulu Sumi ngojek dari rumah ke pasar, biayanya masih lima ribu. Kalau sekarang, paling tidak empat puluh ribu. Dia berencana memberikan sebagian uang itu pada Legi dan sebagian lainnya dia ingin menggunakan untuk kebutuhannya sendiri. Dia juga ingin mengajak Risma makan dan jalan-jalan. Semoga saja anak itu tidak menolaknya karena tadi saat dia ingin bicara dengannya ketika akan pergi ke sekolah, anak itu langsung lari menghindari Sumi. "Mbak Sumi? Betul Mbak ini Mbak sumi?" tanya seorang pria yang baru saja turun dari mobil ketika melihat Sumi keluar dari bilik ATM. Sumi jadi bingung. Dia tidak mengenali lelaki itu. Dilihat betul-betul wajahnya, tetap saja dia gak kenal. "Siapa
Sumi mendesah pelan ketika akhirnya Budi tidak langsung membawanya ke rumah, tetapi malah ke warung makan. Dan mau tak mau Sumi pun duduk daripada harus ribut dulu. Malu kan kalau jadi tontonan orang-orang?"Ayo Mbak pesen," kata Budi ketika Sumi hanya diam memandangi makanan-makanan itu."Kalau aku yang pesenkan, satu warung nanti tak borong semua, lho," lanjut pria itu sambil memarkan senyum yang memang selalu jadi andalannya.Karena takut Budi akan benar-benar melaksanakan apa yang dikatakannya, Sumi langsung memesan. "Nasi pecel satu, Mbak. Disiram kuah semur, nggih.""Minumnya nopo, Mbak?" tanya penjaga warung itu dengan ramah."Es teh manis mawon."Pandangan mata penjaga warung itu pun langsung berpindah pada Budi yang menyalakan rokoknya. "Mas makannya apa?""Lontong tahu, Mbak. Sama es jeruk," kata Budi santai sambil mengisap dalam-dalam rokok yang tidak pernah absen ketika dia sedang makan.Begitu makanan disajikan, Sumi terlihat sangat menikmati nasi pecel yang dipincuk deng
Sumi tersenyum bahagia ketika membaca pesan dari Risma. Rupanya anak itu sedikit mau membuka hati untuk ibunya. "Risma mau makan di mall." Itulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas.Tanpa pikir panjang Sumi langsung menyiyakan dan meminta Risma untuk bersiap-siap untuk makan malam. "Ibuk tunggu di depan rumah ya, Nduk," balas Sumi sambil cengar-cengir sendirian. Padahal hanya makan bersama anak sendiri, tapi girangnya bukan main seperti akan kencan dengan kekasih. Setelah sepuluh menit Sumi menunggu di depan rumah, Sumi melihat Risma keluar dari dalam. Anak remaja itu mengenakan baju gamis dan juga jilbab yang berwarna senada. Sumi berdecak kagum akan kecantikan putrinya. Dia yakin kalau sudah dewasa nanti, Risma akan menjadi rebutan para pemuda. Ah, Sumi jadi membayangkan dia jadi nenek dan menimang cucu dari anak-anaknya."Mau makan apa, Nduk?" tanya Sumi begitu mereka turun dari mobil yang dicarter Sumi. Dia tak ingin anaknya kelelahan naik ojek, itu sebabnya dia menyewa
Waktu baru menunjukkan pukul empat, tapi Sumi sudah terbangun. Dengan sangat hati-hati dia bangkit dari kasur agar tidak membangunkan Risma. Sebelum pergi dari kamar itu, Sumi membetulkan selimut yang menutupi tubuh cungkring Risma. "Maafkan Ibuk, Nduk. Ibuk sudah jahat padamu karena ketidak tahuan Ibuk," gumam Sumi sambil menghapus air matanya.Setelah itu Sumi mengambil ayam goreng semalam lalu mengendap-endap keluar dari rumahnya sendiri seperti maling dan pulang ke rumah emaknya. Begitu dia selesai mengganti baju dan menaruh tasnya di kamar, Sumi langsung menuju dapur untuk menanak nasi. Dia juga membuka kulkas dan mencari sesuatu yang barangkali dimasak untuk sarapan. Tak lupa juga Sumi mencari kotak makan di dalam lemari yang isinya semrawut bukan main. Dia ingat sekali dulu pernah membeli banyak tupperware. Begitu ketemu, Sumi langsung mencuci tupperware itu dan menyiapkannya untuk membawakan bekal pada Risma. "Ngapain ke sini lagi, Mbak?" tanya Santi di ruang tamu yang sed