Share

5

"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.

Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku.

Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi.

Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? 

Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun bercerita tentang kekasihnya. Saat itu juga dia tidak terlihat sedang hamil. Apakah karena tubuhnya yang kurus dan mungil, jadi dia tidak terlihat sedang mengandung?

Aku termenung sesaat dan langsung ingat nama itu. Khalisa. Nama yang sama dan digunakan sebagai akun F******k suamiku. Kini perlahan tabir itu telah terbuka. Apakah Khalisa adalah anak Mas Patno dari hasil penyelewengannya dengan adikku sendiri?

Sejak kapan mereka mulai tertarik satu sama lain? Sejak kapan mereka berdua memadu kasih? Ya, Allah. Rasanya aku tak sanggup lagi menghadapi semua ini.

"Jelaskanlah, Mas. Kamu memang berutang itu padaku!" kataku sinis sambil melirik Santi. Aku tidak menyangka bahwa adik yang kubesarkan dengan tanganku tega mengkhianati dan tidur dengan suamiku."Kalian benar-benar memalukan! Zina di rumahku di siang bolong begini!"

"Siapa yang zina, Mbak? Aku dan Mas Patno sudah menikah!" bantah adikku dengan cepat.

Hah! Rupanya dia punya nyali juga padahal sejak tadi dia hanya diam dan menunduk. 

"Semua orang tahu kami sudah menikah. Dan kami juga sudah punya anak."

"Anakmu anak haram!" sahutku jengkel. "Dia ada sebelum kalian menikah! Sampai kapan pun anakmu adalah anak hasil zina!"

"Tidaaak!" Santi berteriak. "Khalisa bukan anak haram!"

"Suatu saat anakmu akan merasakan apa yang aku rasakan, San! Suaminya akan direbut oleh perempuan lain!"

"Tidak! Aku tidak pernah merebut Mas Patno! Aku tidak pernah merebut suami siapa pun! Buktinya sampai sekarang Mas Patno masih jadi suami Mbak Sumi."

"Kalau bukan merebut, lalu apa perbuatan kalian ini, San? Aku jadi bertanya-tanya, sejak kapan kalian berbuat zina?"

Wanita itu diam lagi dan aku memalingkan pandanganku pada suamiku. "Sejak kapan kamu naksir adikku, Mas? Sejak kapan kalian bercumbu di rumahku? Mas yang menggodanya atau dia yang menggodamu? Atau jangan-jangan kalian sama-sama gatal, itu sebabnya kalian saling menggaruk!"

"Rumahmu?" Tanpa rasa bersaah sedikit pun Mas Patno berkata seperti itu. "Siapa bipang ini rumahmu, Sum? Ini adalah rumahku. Aku membangunnya sendiri. Semua orang juga tahu kalau ini rumahku!"

"Heh? Dasar laki-laki tidak tahu malu! Sejak kapan kamu punya duit, Mas? Selama menikah denganku, kamu cuma pengangguran dan kamu bilang ini rumahmu?"

Lelaki itu berdiri lalu masuk ke dalam kamar. Dan begitu dia kembali, dia membawa sebuah amplop coklat dan langsung ditaruh ke atas meja. 

"Bukalah," katanya tegas tanpa gentar sedikit pun. 

Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka amplop coklat itu dan setelah membaca semua isinya, lututku terasa lemas dan mulai kehilangan keseimbangan. 

Tanah tetangga yang kubeli dengan jerih payahku untuk membangun rumah, rumahku, ternyata semua sertifikat itu bukan atas namaku melainkan atas nama suamiku. Aku juga melihat di sana ada BPKB mobil atas nama adikku Susi Susanti.

"Di mana sertifikat sawah yang kubeli, Mas?"

"Sejak kapan kamu beli sawah? Duit saja gak punya!"

"Mas! Dulu kamu bilang katanya mau beli sawah seratus limapuluh juta! Aku pinjam ke bosku untuk membeli sawah itu."

"Mana? Aku tidak pernah menerima uang seperak pun! Kamu pasti mimpi!"

Dadaku kembang kempis menahan marah. Jelas-jelas saat itu aku memohon pada bosku agar mau meminjamkan uang. Sebagai gantinya, aku tidak mendapat bayaran selama kurang lebih dua tahun. 

Dasar iblis! Akhirnya aku melihat lagi BPKB mobil di tanganku dan melihat kapan pembelian mobil itu. Sekarang, aku tahu ke mana uang seratus lima puluh juta itu. Rupanya pria tak tahu diri itu membeli mobil dan mengatas namakan Santi. Hah, benar-benar ular berbisa!

"Sekarang kamu lihat sendiri, kan? Kamu tidak punya apa-apa di sini dan tidak berhak satu sen pun!" ucap Mas Patno seolah-olah dialah pemenangnya.

"Jangan senang dulu, Mas. Kamu pikir Tuhan tidak melihat perbuatanmu yang keji itu? Aku masih menyimpan semua bukti transfer ke rekeningmu dan aku bisa menuntutnya kalau mau. Dan Ibu ... Ibu juga pasti mau jadi saksi kalau aku menuntut kalian ke pengadilan!"

"Tuntut saja!" balas Mas Patno seperti orang kesetanan. "Kita lihat siapa yang akan membelamu di sini!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status