Share

4

Dalam perjalanan ke Changi Airport, Mam Lusi tidak berhenti menangis padahal dia sedang menyetir. Setelah beberapa hari berpikir dan rembukan dengan suaminya, akhirnya mereka memperbolehkan aku untuk pulang. Namun, mereka masih berharap aku bisa kembali lagi bekerja di keluarga mereka. 

"Kalau nak balik sini, chat I saje. Oke? I, Sir, Robert, and all family selalu welcome."

"Baik, Mam. Thank you so much."

"Hati-hati bawa duit. Saye tak nak tanya ade ape masalah you and family, tapi I berdoa masalah you cepat selesai."

"Terima kasih, Mam." Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mam Lusi sebelum akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di depan terminal 3. 

Aku memeluknya untuk yang terakhir kali lalu turun dan mengambil tasku yang tak terlalu besar dari bagasi. 

Begitu Mam Lusi menjalankan mobilnya, aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu hilang di ujung jalan. 

Kepulanganku kali ini adalah sebuah kejutan. Aku tidak memberitahu siapa pun termasuk suami dan anak-anakku. Kata Mbak Sugi, jika aku ingin mengetahui kebenaran, aku harus mencari tahu dan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. 

Mbak Sugi curiga jika suamiku menikah lagi dan punya anak, itu sebabnya akun medsosnya diberi nama Ayahnya Khalisa. Semula aku tidak percaya atas asumsi Mbak Sugi, tapi kalau dirunutkan lagi hal itu bukan tak mungkin. Apalagi ditambah Restu dan Risma yang seolah menghindariku? Kalau tidak diiming-iming uang atau barang, mereka tak mau membalas pesanku.

Ya, Allah. Sebenarnya didikan seperti apa yang diberikan suamiku kepada anak-anakku?

***

"Turun di sini saja, Pak," ucapku pada supir travel yang mengantarku dari bandara ke kampung halamanku. Sengaja aku memintanya untuk berhenti jauh dari rumahku agar tidak ada yang menyadari bahwa aku pulang.

 "Masih jauh gak Mbak rumahnya?" tanya  bapak ity seperti penasaran.

"Deket kok, Pak. Itu di depan sana." Aku menunjuk ke arah jalan beton yang ada di depan sana. 

"Pulang cuti ya, Mbak? Makanya bawa tas saja? Biasanya orang kalau dari luar negeri, bawanya koper besar-besar, lho."

Tanpa menjawab aku langsung turun dari mobil sambil menenteng tas warna hitam milikku.

"Makasih ya, Pak."

"Makasih kembali, Mbak. Selamat berkumpul bersama keluarga!" sahut supir travel itu dengan penuh semangat, sama seperti aku yang bersemangat untuk pulang ke rumahku. Rumah yang dibangun dengan tangis dan keringat selama bekerja di Singapura. 

Aku berjalan pelan sambil menenteng tas dan melihat ke sekitar. Rupanya masih sama seperti dulu. Sepi kalau sore. Maklum, di kampung yang rata-rata penduduknya petani ini dari siang sampai sore mereka berada di sawah dan baru akan pulang menjelang magrib. 

"Akhirnya sampai juga di depan rumahku." Aku menarik napas pelan-pelan. Rumah itu memang tidak semewah seperti di perumahan elite, tetapi aku merasa bangga karena lantainya sudah dikeramik dan temboknya pun terlihat baru. Yaitu perpaduan warna ungu dan putih. 

Ah, sejak kapan Mas Patno menyukai warna ungu? Pikirku penuh tanda tanya sambil memandangi rumahku dan rumah ibuku yang bersebelahan. 

Rumah itu sekarang sudah banyak berubah, tidak lagi rumah beralaskan tanah melainkan sudah dipasangi keramik dengan cat tembok warna hijau. 

"Mobil siapa itu?" Aku berpikir keras saat melihat mobil warna merah di samping rumah ibuku. Tidak mungkin kan ibuku punya mobil? Sejak kapan dia punya duit? Orang rumah saja aku yang memperbaiki semuanya. 

Setelah termenung lama di pelataran rumah, aku memutuskan untuk berjalan mendekati rumah dan di sana aku melihat beberapa sandal anak kecil dan juga sandal hak tinggi dewasa. Milik siapa sandal-sandal itu? Apakah milik Restu? Ah, tidak. Dia pernah bilang tidak menyukai sandal atau sepatu hak tinggi. Milik Risma? Ah, masak iya sih anak usia tiga belas sudah pakai sandal hak tinggi? Selain itu juga ukurannya terlalu besar untuk Risma.

Dengan rasa penasaran sekaligus takut, aku mencoba membuka pintu yang tidak terkunci. Dan begitu masuk, alangkah terkejutnya aku mendengar suara desahan seorang perempuan yang dibarengi suara seorang pria yang paling kukenal.  Siapa wanita yang yang bersama Mas Patno?

Dengan kalap aku masuk ke dalam rumah dan memeriksa kamar satu persatu dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat Mas Patno sedang berada di kamar dengan seorang perempuan.

"Mas Patno?" Aku memanggil lelaki itu sambil berharap bahwa itu bukanlah suamiku. 

Lelaki itu seperti berhenti bergerak dan menatap ke arahku. Mungkin dia sedang memastikan aku ini nyata atau halusinasi saja. Dan di sanalah aku percaya bahwa harapanku sia-sia belaka. 

"Sumi? Itukah kamu, Sum?"

Dengan mata yang panas dan berkabut, aku masuk ke dalam kamar dan mencari saklar lampu. Setelah lampu menyala, kamar menjadi terang benderang. Mereka bisa melihatku dengan sangat jelas dan aku juga bisa melihat dengan jelas siapa perempuan yang tubuhnya masih menempel di bawah Mas Patno. 

"Mba— Mbak Sumi? Kapan pulang, Mbak? Kenapa gak ngasih tahu dulu?" kata wanita itu sambil buru-buru mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Semantara Mas Patno tanpa rasa bersalah dan tanpa rasa malu sedikit pun mendekatiku. 

"Kapan pulang, Sum? Kok gak ngasih tahu aku? Aku kan bisa jemput kamu?"

Aku tidak menjawab pertanyaan mereka. Kupandangi lelaki dan perempuan itu secara bergantian. Ada perasaan jijik dan perutku terasa mual melihat bagaimana tingkah laku mereka yang tidak beradab.

Bagaimana bisa suami dan adikku sampai tak punya hati sehingga memadu kasih di kamarku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status