"Mana makanannya, San?" teriak Patno dari dapur. Saat membuka tudung saji tidak apa-apa di atas meja. Jangankan sayur atau ikan, nasi putih saja tidak ada. "Ada apa sih Mas teriak-teriak? Kayak orang hutan aja!" Santi yang baru muncul dari kamar menjawab dengan gemas. Padahal dia kan baru saja istirahat rebahan di kamar, ee malah suaminya mengganggu. "Lho kok malah nanya ada apa? Piye to kowe ki? Mana makananya?" Patno membuka lagi tudung saji yang tadi sempat dia tutup."Lha, kok nanya aku?" Sumi yang dimarahi jadi ikutan marah juga. Nada bicaranya juga tak kalah tinggi dengan nada bicara suaminya."Emange Mas Patno ngasih aku uang belanja? Ora, to? Lha kok minta makan!"Patno yang geram langsung membanting tudung saji ke lantai. Dia menganggap sekarang Santi tak semanis dulu. Sekarang semuanya serba sepet dan pahit! "Kamu itu uang belanja terus yang dipikirin! Selama ini uang yang aku kasih ke mana? Kamu itu wis boros, gak bisa nyari duit kayak Sumi, tapi kebanyakan gaya!"Sumi?
Apa yang Santi takutkan terjadi. Siang itu sekitar jam dua Patno pulang sambil berteriak-teriak. Santi yang mendengar suara suaminya langsung ketakutan. "San, kamu di mana?" panggil Patno yang sudah mencari-cari di mana istrinya. Dia tahu kalau istrinya itu ada di rumah karena Santi jarang ke rumah tetangga. "Santi, ini ada makanan. Cepat siapkan piring."Makanan? Santi yang sejak tadi bersembunyi di dalam lemari langsung berlari ke luar kamar. Patno yang melihat istrinya pun langsung memberikan bungkusan plastik kresek berisi sate kambing dan juga gulai. "Dapat dari mana, Mas?" tanya Santi heran."Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ini ada uang juga," kata Patno memberikan uang lima juta pada istrinya. Uang itu berwarna merah semua dan terlihat masih baru. "Dapat dari mana, Mas? Menang judol?""Nggak. Judol kalah terus. Udah sana siapkan makan. Aku lapar! Oya, mana Khalisa?""Main, Mas. Nanti aku panggil suruh pulang."Buru-buru Santi menyiapkan makan untuk suaminya. Dia tak ingin m
Kamu sudah bangun, San?" tanya Sumi ketika melihat adiknya yang pingsan sudah membuka mata. "Tadi Pak Polisi bawa kamu ke rumas sakit dan dimintai tolong Emak untuk nelpon aku. Makanya aku ke sini.""Mmmba—." Santi ingin membalas, tapi bibirnya sulit digerakkan. Ketika dia ingin mencoba menggerakkan tangannya pun tidak bisa. Tubuhnya, bibirnya, lidahnya, semua terasa kaku. "Cepat panggil dokter, Sum!" suruh Legi yang panik melihat keadaan anaknya seperti itu."Iya, Mak." Sumi langsung memanggil dokter sambil berpikir dengan cemas. "Ya Allah ... sepertinya Santi terkena stroke."Begitu dokter datang dan memeriksa, Santi disarankan untuk melakukan CT-scan dan juga cek darah. Tanpa pikir panjang Sumi pun meminta tolong pada dokter agar mengurus semua yang perlu dilakukan oleh adiknya. "Semua ini salahmu, Sum!" ucap Legi ketika mereka berdua sedang berada di luar radiologi menunggu Santi yang sedang melakukan CT-scan. "Sampai kapan Emak akan berhenti menyalahkanku soal Santi, Mak?" tan
"Kapan kirim uang lagi, Sum? Anak-anak perlu bayar biaya sekolah dan kuliah, genteng banyak yang bocor di musim hujan begini, dan si bungsu juga minta motor kayak kakaknya. Katanya biar bisa sekolah bawa motor sendiri kayak teman-teman lainnya. Malu katanya, masak jalan kaki terus ke sekolah?"Astagfirullahaladzim ... baru saja aku ingin makan, tapi telpon dari Mas Patno membuat nafsu makanku hilang padahal seharian aku belum sempat makan dan sekarang sudah jam sepuluh malam. Kakiku sampai gemetar dan keluar keringat dingin karena kelaparan. "Kok diam saja sih, Sum?" tanya Mas Patno lagi ketika aku hanya diam saja. Bukannya tak mau menjawab, tapi aku sedang kehabisan tenaga. Meskipun hari ini Chinese New Year hari ketiga, tetap saja kerjaan tidak ada hentinya. Dari bangun tidur yang diurusin cuma soal masak, masak, dan masak karema banyak teman dan sanak saudara bosku yang berkunjung. "Sebentar, Mas. Aku baru duduk. Seharian capek berdiri terus.""Halah, capek ngapain, sih? Capek t
Hooam. Mulutku tidak berhenti menguap, tetapi mataku sulit terpejam padahal ini sudah pukul tiga pagi. Rasanya badanku remuk seperti remahan kerupuk. Terlebih lagi aku masih belajar menggunakan smartphone pemberian Robert. Meskipun itu adalah ponsel bekas pakai dari Robert, tetapi masih bagus dan sangat layak digunakan. Tidak seperti ponsel hitam putih milikku yang belum bisa tersambung dengan internet. Beberapa kali aku ingin membeli smartphone, tetapi Mas Patno selalu bilang. Katanya pemborosan, kan bisa telepon manual, dan banyak lagi alasannya. Padahal kalau menggunakan smartphone, kami bisa video call lewat WA. Aku juga bisa lihat foto anak-anak dan bisa setiap saat video call kalau sedang kangen berat. Karena pulang lima tahun sekali untuk menghemat biaya, aku tidak bisa melihat kedua anakku tumbuh dewasa. Ingin minta dikirimin foto, tapi HP tidak mendukung.Restu yang kini sudah berusia duapuluh, aku tinggalkan waktu usianya enam bulan. Sedangkan Risma lahir enam tahun kemudi
"Wah, henpon baru ya, Sum?" tanya Mbak Sugi, dia adalah orang Jawa Timur yang kebetulan bekerja di sebelah rumah bosku. Hari ini aku sengaja ambil libur dan minta tolong Sugi untuk mengajariku bagaimana menggunakan Facebook karena aku tidak enak kalau harus minta tolong pada Robert."Iya, dikasih Robert. Kamu punya FB, Mbak? Apa nama FB-nya kok aku cari ora ketemu?"Mbak Sugi yang sedang meminum es tehnya langsung membanggakan diri. "Yo punyalah, Sum. Arek jaman sekarang, gak ada yang gak punya FB, Sum. Kamu aja itu yang kudet! Orang lain sudah pake android, kamu masih pake hp tulit-tulit.""Ya, mau gimana lagi, Mbak. Hp bagus kan harganya gak murah.""Ah, kamu itu. Buat suami sama anak-anakmu aja loyal, giliran buat diri sendiri pelit! Siniin hp-mu." Mbak Sugi merebut HP dari tanganku."Oya, semua kontak udah di sini semua?""Sudah, Mbak. Sudah dibantuin nyimpan semua."Mbak Sugi terlihat mengotak-atik HPku dengan lincahnya. "Kalau udah kesimpen, tinggal aku setting sinkron kontak. N
Dalam perjalanan ke Changi Airport, Mam Lusi tidak berhenti menangis padahal dia sedang menyetir. Setelah beberapa hari berpikir dan rembukan dengan suaminya, akhirnya mereka memperbolehkan aku untuk pulang. Namun, mereka masih berharap aku bisa kembali lagi bekerja di keluarga mereka. "Kalau nak balik sini, chat I saje. Oke? I, Sir, Robert, and all family selalu welcome.""Baik, Mam. Thank you so much.""Hati-hati bawa duit. Saye tak nak tanya ade ape masalah you and family, tapi I berdoa masalah you cepat selesai.""Terima kasih, Mam." Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mam Lusi sebelum akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di depan terminal 3. Aku memeluknya untuk yang terakhir kali lalu turun dan mengambil tasku yang tak terlalu besar dari bagasi. Begitu Mam Lusi menjalankan mobilnya, aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu hilang di ujung jalan. Kepulanganku kali ini adalah sebuah kejutan. Aku tidak memberitahu siapa pun termasuk suami dan anak-anakku. Kata Mbak
"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku.Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi.Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun be