Hooam. Mulutku tidak berhenti menguap, tetapi mataku sulit terpejam padahal ini sudah pukul tiga pagi. Rasanya badanku remuk seperti remahan kerupuk. Terlebih lagi aku masih belajar menggunakan smartphone pemberian Robert.
Meskipun itu adalah ponsel bekas pakai dari Robert, tetapi masih bagus dan sangat layak digunakan. Tidak seperti ponsel hitam putih milikku yang belum bisa tersambung dengan internet. Beberapa kali aku ingin membeli smartphone, tetapi Mas Patno selalu bilang. Katanya pemborosan, kan bisa telepon manual, dan banyak lagi alasannya. Padahal kalau menggunakan smartphone, kami bisa video call lewat WA. Aku juga bisa lihat foto anak-anak dan bisa setiap saat video call kalau sedang kangen berat. Karena pulang lima tahun sekali untuk menghemat biaya, aku tidak bisa melihat kedua anakku tumbuh dewasa. Ingin minta dikirimin foto, tapi HP tidak mendukung. Restu yang kini sudah berusia duapuluh, aku tinggalkan waktu usianya enam bulan. Sedangkan Risma lahir enam tahun kemudian. Dia lahir secara tidak sengaja dan tidak diinginkan. Saat itu aku sedang cuti dan berhubungan dengan Mas Patno, bodohnya aku tidak pakai pengaman. Dan saat kembali ke Singapura, rupanya Risma sudah bersemayam dalam kandunganku. Saat itu aku hendak pulang, tetapi bosku melarang. Mereka tidak masalah aku hamil selama bekerja. Begitu usia kehamilan menuju delapan bulan, aku pulang kampung dan melahirkan Risma. Belum genap enam bulan, aku sudah meninggalkan anak itu dan kembali bekerja. Tadinya aku ingin di kampung saja. Membesarkan anak-anak dan bekerja serabutan seperti orang di kampungku. Namun, Mas Patno melarang. Menghidupi dua anak dengan pekerjaan serabutan bukanlah hal mudah. Terlebih lagi jika aku ingin mereka sekolah tinggi sampai lulus sarjana. Terpaksa aku kembali ke Singapura dan bosku selalu menerimaku dengan tangan terbuka. Ah, aku rasanya tidak sabar menunggu pagi dan menelepon Mas Patno. Aku ingin sekali melihat wajahnya dan juga wajah anak-anak. Selain memasukkan nomor Mas Patno dan beberapa teman yang kebetulan rumahnya satu komplek denganku di kontak WA, Robert juga membantuku membuat akun F******k, tetapi karena masih bingung cara menggunakannya, nanti lagilah kuotak-atik. Sekarang pakai WA saja pun rasanya cukup. *** Waktu sudah menunjukkan pukul 05.40. Rupanya aku terbangun lebih dulu dibanding alarm yang sudah disetel Robert semalam. Bergegas aku ke kamar mandi untuk ambil air wudhu karena sebentar lagi memasuki waktu solat subuh. Di Singapura sebetulnya ada azan di masjid-masjid, hanya saja mereka tidak boleh menggunakan pengeras suara seperti di Indonesia. Alhasil, siapa pun perantau di Singapura yang beragama Islam, pasti akan sangat merindukan suara azan. Setelah selesai beribadah, aku memasak bubur dan membuat telur bacem serta menumis sayur pakcoy bumbu bawang putih. Di hari libur begini, biasanya mereka akan ada yang bangun pagi untuk sarapan dan ada yang bangun siang. Seperti biasa tugasku hanya perlu menyiapkan semua makanan di atas kompor dan nanti mereka akan mengambil sendiri-sendiri ketika bangun. Begitu selesai dengan urusan dapur, aku langsung menyapu dan mengepel lantai atas dan bawah. Kebetulan di keluarga bosku bukanlah chinese tradisional yang tidak boleh bebersih selama Chinese New Year. Di sini justru sebaliknya, semuanya harus serba bersih. Kurang dari jam sepuluh aku sudah selesai membersihkan rumah dan merendam baju yang akan kucuci. Aku kembali ke dapur dan meminum lagi kopi yang sudah dingin. Samar-samar aku mendengar suara koran dibalik dan aku langsung pergi ke ruang tengah. "Good morning, Sir." "Morning, Sumi. Sudah breakfast?" "Belum, Sir. Baru selesai kemas rumah." Majikan lelakiku itu meminum teh yang tadi dibuatnya sendiri lalu melihatku. "Breakfast dululah. Tak perlu masak buat lunch and dinner. We going out." "Yes, Sir. Thank you." Aku kembali ke dapur dan menyesap lagi kopi di depanku. Setelah itu aku mengambil beberapa lembar roti dan juga selai kacang. Setelah mengoleskan selai kacang di atas roti, aku memakannya pelan-pelan sambil memeriksa hp. "Apa kutelepon sekarang, ya?" gumamku sambil menggigit roti. "Kutelepon sajalah." Aku langsung memencet video call pada layar dan beberapa detik kemudian Mas Patno mengangkatnya. Mula-mula dia terlihat kaget dan bingung, serta nampak cemas. Lalu beberapa saat kemudian dia terlihat lari ke luar rumah. "S—sum?" "Ya, Mas. Assalamualaikum!" sahutku dengan nada riang. Lima tahun aku tidak bertemu Mas Patno,sekarang dia nampak gemuk dan kulitnya lebih bersih. "Masih di rumah ya, Mas? Ga ke sawah?" "A—anu, Sum," jawab suamiku itu terbata. "A—aku lagi istirahat." "Oalah. Kalau capek ya istirahat saja, Mas. Oya, aku mau lihat rumahnya, Mas. Arahin kameranya ke sana, ya." "I—iya. Tunggu, ya." Aku mengernyitkan dahi, kenapa Mas Patno seperti bingung dan kaget begitu? "Ayaaah!" Samar-samar aku mendengar suara seorang anak kecil yang memanggil ayahnya. Karena penasaran, aku bertanya pada suamiku. "Anaknya siapa, Mas? Kok manggil-manggil ayahnya?" "Mana ada? Salah dengar kamu, Sum. Gak ada suara anak kecil." Aku yakin aku tidak salah dengar dan memang ada suara anak kecil. "Anaknya Santi ya, Mas? Memangnya dia sudah kawin? Kapan? Kok gak ngasih tahu aku?" "Ssu—sudah dulu ya, Sum. Ada urusan ndadak. Nanti aku video call kamu." Mas Patno terlihat buru-buru menutup teleponnya. Memangnya urusan apa, sih? Kalau minta uang saja semua harus serba cepet, giliran ditelepon istrinya, maunya cepet-cepet ditutup."Wah, henpon baru ya, Sum?" tanya Mbak Sugi, dia adalah orang Jawa Timur yang kebetulan bekerja di sebelah rumah bosku. Hari ini aku sengaja ambil libur dan minta tolong Sugi untuk mengajariku bagaimana menggunakan Facebook karena aku tidak enak kalau harus minta tolong pada Robert."Iya, dikasih Robert. Kamu punya FB, Mbak? Apa nama FB-nya kok aku cari ora ketemu?"Mbak Sugi yang sedang meminum es tehnya langsung membanggakan diri. "Yo punyalah, Sum. Arek jaman sekarang, gak ada yang gak punya FB, Sum. Kamu aja itu yang kudet! Orang lain sudah pake android, kamu masih pake hp tulit-tulit.""Ya, mau gimana lagi, Mbak. Hp bagus kan harganya gak murah.""Ah, kamu itu. Buat suami sama anak-anakmu aja loyal, giliran buat diri sendiri pelit! Siniin hp-mu." Mbak Sugi merebut HP dari tanganku."Oya, semua kontak udah di sini semua?""Sudah, Mbak. Sudah dibantuin nyimpan semua."Mbak Sugi terlihat mengotak-atik HPku dengan lincahnya. "Kalau udah kesimpen, tinggal aku setting sinkron kontak. N
Dalam perjalanan ke Changi Airport, Mam Lusi tidak berhenti menangis padahal dia sedang menyetir. Setelah beberapa hari berpikir dan rembukan dengan suaminya, akhirnya mereka memperbolehkan aku untuk pulang. Namun, mereka masih berharap aku bisa kembali lagi bekerja di keluarga mereka. "Kalau nak balik sini, chat I saje. Oke? I, Sir, Robert, and all family selalu welcome.""Baik, Mam. Thank you so much.""Hati-hati bawa duit. Saye tak nak tanya ade ape masalah you and family, tapi I berdoa masalah you cepat selesai.""Terima kasih, Mam." Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mam Lusi sebelum akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di depan terminal 3. Aku memeluknya untuk yang terakhir kali lalu turun dan mengambil tasku yang tak terlalu besar dari bagasi. Begitu Mam Lusi menjalankan mobilnya, aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu hilang di ujung jalan. Kepulanganku kali ini adalah sebuah kejutan. Aku tidak memberitahu siapa pun termasuk suami dan anak-anakku. Kata Mbak
"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku.Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi.Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun be
Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah. "Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. "Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!""Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!"Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali ti
"Ris, kata orang-orang, ibumu pulang, ya?" Tanya Anggun, teman sekelas Risma yang memang terkenal usil. Risma yang masih ngos-ngosan karena jalan kaki pun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih duduk terlebih dahulu lalu meminum air yang dibawanya dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, Risma bisa menempuh jarak yang 1 kilometer itu dengan berjalan kaki, tapi tetap saja dia ingin motor karena anak-anaknya di kelasnya hampir tak ada yang jalan kaki kecuali dirinya. Beberapa kali dia merengek pada bapaknya, tapi jawabannya selalu nanti, nanti, dan nanti. Padahal Risma tahu ibunya yang bekerja sebagai TKW itu selalu kirim uang ke rumah tiap bulan.Selain itu ... Risma juga tidak suka dengan buliknya yang saat ini tinggal bersamanya. Dia merasa sejak bapaknya menikah dan punya anak lagi, tidak ada lagi kasih sayang untuk dirinya. "Ditanyain kok bengong, sih? Berarti dekarang kamu punya dua ibu, dong?" tanya Anggun lagi dengan nada setengah mengejek.
"Mak ... Mak? Siapa yang masuk kamarku?" teriak Sumi ketika melihat kopernya tergeletak di lantai dengan keadaan compang camping bekas dirobek dengan pisau. Dan begitu memeriksanya dengan teliti, uang sejumlah satu juta sudah raib dari sana padahal dia sengaja menyisakan uang di sana untuk membelikan Risma hadiah. Karena Emak tak kunjung menyahut, Sumi berjalan tergopoh-gopoh ke dapur. Ke tempat biasa Emak nongkrong dengan bapak tiri Sumi. "Mak, siapa yang masuk ke kamar Sumi?"Emak yang sedang ngopi membelalak pada anaknya dengan emosi. "Ono opo to kok teriak-teriak?""Siapa yang masuk kamarku dan ngerusak koperku, Mak?""Lha mana aku ngerti to, Sum? Seharian aku di sawah. Justru kamu itu yang seharian ke mana kok malam begini baru pulang?""Semarang, Mak. Ketemu Restu," jawab Sumi ketus lalu meninggalkan dapur. Dia yakin kalau ada orang yang mengambil uang yang dia sembunyikan di dalam koper. Untung saja tadi pagi dia mengambil uang yang lainnya dan membawanya ke bank untuk membuk
"Ngapain Mas Patno di sini?" sentak Sumi kaget ketika dia merasakan seseorang mengelus kakinya. Dengan cepat dia menekuk kakinya dan mundur ke pinggir ranjang. Entah kenapa dia merasa jijik saat kulit lelaki itu menyentuhnya. Patno yang sedang menelan ludah itu pun tersenyum yang membuat Sumi bergidik ngeri. "Jangan gitu dong, Sum. Aku ini kan masih suamimu."Hah, suami? Pikir wanita itu jengkel. Lebih baik aku gak punya suami daripada punya suami iblis macam kamu!"Sekarang pernikahan kita cuma ada di atas kertas, Mas. Cepat atau lambat kita akan bercerai.""Lho, siapa yang ingin bercerai? Aku juga belum bilang talak ke kamu.""Sudahlah, Mas. Pokoknya sekarang aku gak mau jadi istrimu lagi. Jijik!"Patno tersinggung dengan perkataan istrinya itu. Dia mengepalkan tangan lalu menaiki ranjang dan berusaha mendekati Sumi.Dirangkulnya wanita itu dan Patno berusaha mendekatkan bibirnya pada wajah Sumi, tetapi karena Sumi terus memberontak sekuat tenaga, Patno jadi kewalahan. "Diem, Sum.
Setelah mengambil uang satu juta dari ATM, Sumi memasukkan uang itu ke dalam tas dengan hati-hati. Untung saja dia masih memiliki uang gaji, bonus hari raya, dan juga bonus dari majikannya. Jika tidak, dia pasti akan lebih bingung dan pusing karena di kampung sekarang semua serba uang dan serba mahal. Jika dulu Sumi ngojek dari rumah ke pasar, biayanya masih lima ribu. Kalau sekarang, paling tidak empat puluh ribu. Dia berencana memberikan sebagian uang itu pada Legi dan sebagian lainnya dia ingin menggunakan untuk kebutuhannya sendiri. Dia juga ingin mengajak Risma makan dan jalan-jalan. Semoga saja anak itu tidak menolaknya karena tadi saat dia ingin bicara dengannya ketika akan pergi ke sekolah, anak itu langsung lari menghindari Sumi. "Mbak Sumi? Betul Mbak ini Mbak sumi?" tanya seorang pria yang baru saja turun dari mobil ketika melihat Sumi keluar dari bilik ATM. Sumi jadi bingung. Dia tidak mengenali lelaki itu. Dilihat betul-betul wajahnya, tetap saja dia gak kenal. "Siapa