Share

2

Hooam. Mulutku tidak berhenti menguap, tetapi mataku sulit terpejam padahal ini sudah pukul tiga pagi. Rasanya badanku remuk seperti remahan kerupuk. Terlebih lagi aku masih belajar menggunakan smartphone pemberian Robert. 

Meskipun itu adalah ponsel bekas pakai dari Robert, tetapi masih bagus dan sangat layak digunakan. Tidak seperti ponsel hitam putih milikku yang belum bisa tersambung dengan internet. Beberapa kali aku ingin membeli smartphone, tetapi Mas Patno selalu bilang. Katanya pemborosan, kan bisa telepon manual, dan banyak lagi alasannya. Padahal kalau menggunakan smartphone, kami bisa video call lewat WA. Aku juga bisa lihat foto anak-anak dan bisa setiap saat video call kalau sedang kangen berat. 

Karena pulang lima tahun sekali untuk menghemat biaya, aku tidak bisa melihat kedua anakku tumbuh dewasa. Ingin minta dikirimin foto, tapi HP tidak mendukung.

Restu yang kini sudah berusia duapuluh, aku tinggalkan waktu usianya enam bulan. Sedangkan Risma lahir enam tahun kemudian. Dia lahir secara tidak sengaja dan tidak diinginkan. Saat itu aku sedang cuti dan berhubungan dengan Mas Patno, bodohnya aku tidak pakai pengaman. Dan saat kembali ke Singapura, rupanya Risma sudah bersemayam dalam kandunganku. 

Saat itu aku hendak pulang, tetapi bosku melarang. Mereka tidak masalah aku hamil selama bekerja. Begitu usia kehamilan menuju delapan bulan, aku pulang kampung dan melahirkan Risma. Belum genap enam bulan, aku sudah meninggalkan anak itu dan kembali bekerja. 

Tadinya aku ingin di kampung saja. Membesarkan anak-anak dan bekerja serabutan seperti orang di kampungku. Namun, Mas Patno melarang. Menghidupi dua anak dengan pekerjaan serabutan bukanlah hal mudah. Terlebih lagi jika aku ingin mereka sekolah tinggi sampai lulus sarjana. 

Terpaksa aku kembali ke Singapura dan bosku selalu menerimaku dengan tangan terbuka. 

Ah, aku rasanya tidak sabar menunggu pagi dan menelepon Mas Patno. Aku ingin sekali melihat wajahnya dan juga wajah anak-anak. 

Selain memasukkan nomor Mas Patno dan beberapa teman yang kebetulan rumahnya satu komplek denganku di kontak WA, Robert juga membantuku membuat akun F******k, tetapi karena masih bingung cara menggunakannya, nanti lagilah kuotak-atik. Sekarang pakai WA saja pun rasanya cukup.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 05.40. Rupanya aku terbangun lebih dulu dibanding alarm yang sudah disetel Robert semalam.

Bergegas aku ke kamar mandi untuk ambil air wudhu karena sebentar lagi memasuki waktu solat subuh. 

Di Singapura sebetulnya ada azan di masjid-masjid, hanya saja mereka tidak boleh menggunakan pengeras suara seperti di Indonesia. Alhasil, siapa pun perantau di Singapura yang beragama Islam, pasti akan sangat merindukan suara azan. 

Setelah selesai beribadah, aku memasak bubur dan membuat telur bacem serta menumis sayur pakcoy bumbu bawang putih. Di hari libur begini, biasanya mereka akan ada yang bangun pagi untuk sarapan dan ada yang bangun siang. 

Seperti biasa tugasku hanya perlu menyiapkan semua makanan di atas kompor dan nanti mereka akan mengambil sendiri-sendiri ketika bangun.

Begitu selesai dengan urusan dapur, aku langsung menyapu dan mengepel lantai atas dan bawah. Kebetulan di keluarga bosku bukanlah chinese tradisional yang tidak boleh bebersih selama Chinese New Year. Di sini justru sebaliknya, semuanya harus serba bersih. 

Kurang dari jam sepuluh aku sudah selesai membersihkan rumah dan merendam baju yang akan kucuci. Aku kembali ke dapur dan meminum lagi kopi yang sudah dingin. Samar-samar aku mendengar suara koran dibalik dan aku langsung pergi ke ruang tengah. 

"Good morning, Sir."

"Morning, Sumi. Sudah breakfast?"

"Belum, Sir. Baru selesai kemas rumah."

Majikan lelakiku itu meminum teh yang tadi dibuatnya sendiri lalu melihatku. "Breakfast dululah. Tak perlu masak buat lunch and dinner. We going out."

"Yes, Sir. Thank you."

Aku kembali ke dapur dan menyesap lagi kopi di depanku. Setelah itu aku mengambil beberapa lembar roti dan juga selai kacang. 

Setelah mengoleskan selai kacang di atas roti, aku memakannya pelan-pelan sambil memeriksa hp. 

"Apa kutelepon sekarang, ya?" gumamku sambil menggigit roti. 

"Kutelepon sajalah." Aku langsung memencet video call pada layar dan beberapa detik kemudian Mas Patno mengangkatnya. Mula-mula dia terlihat kaget dan bingung, serta nampak cemas. Lalu beberapa saat kemudian dia terlihat lari ke luar rumah. 

"S—sum?"

"Ya, Mas. Assalamualaikum!" sahutku dengan nada riang. Lima tahun aku tidak bertemu Mas Patno,sekarang dia nampak gemuk dan kulitnya lebih bersih. "Masih di rumah ya, Mas? Ga ke sawah?"

"A—anu, Sum," jawab suamiku itu terbata. "A—aku lagi istirahat."

"Oalah. Kalau capek ya istirahat saja, Mas. Oya, aku mau lihat rumahnya, Mas. Arahin kameranya ke sana, ya."

"I—iya. Tunggu, ya."

Aku mengernyitkan dahi, kenapa Mas Patno seperti bingung dan kaget begitu? 

"Ayaaah!" 

Samar-samar aku mendengar suara seorang anak kecil yang memanggil ayahnya. Karena penasaran, aku bertanya pada suamiku.

"Anaknya siapa, Mas? Kok manggil-manggil ayahnya?"

"Mana ada? Salah dengar kamu, Sum. Gak ada suara anak kecil."

Aku yakin aku tidak salah dengar dan memang ada suara anak kecil.

"Anaknya Santi ya, Mas? Memangnya dia sudah kawin? Kapan? Kok gak ngasih tahu aku?"

"Ssu—sudah dulu ya, Sum. Ada urusan ndadak. Nanti aku video call kamu." Mas Patno terlihat buru-buru menutup teleponnya. Memangnya urusan apa, sih? Kalau minta uang saja semua harus serba cepet, giliran ditelepon istrinya, maunya cepet-cepet ditutup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status