Share

Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW
Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW
Penulis: Maitra Tara

1

"Kapan kirim uang lagi, Sum? Anak-anak perlu bayar biaya sekolah dan kuliah, genteng banyak yang bocor di musim hujan begini, dan si bungsu juga minta motor kayak kakaknya. Katanya biar bisa sekolah bawa motor sendiri kayak teman-teman lainnya. Malu katanya, masak jalan kaki terus ke sekolah?"

Astagfirullahaladzim ... baru saja aku ingin makan, tapi telpon dari Mas Patno membuat nafsu makanku hilang padahal seharian aku belum sempat makan dan sekarang sudah jam sepuluh malam. Kakiku sampai gemetar dan keluar keringat dingin karena kelaparan. 

"Kok diam saja sih, Sum?" tanya Mas Patno lagi ketika aku hanya diam saja. 

Bukannya tak mau menjawab, tapi aku sedang kehabisan tenaga. Meskipun hari ini Chinese New Year hari ketiga, tetap saja kerjaan tidak ada hentinya. Dari bangun tidur yang diurusin cuma soal masak, masak, dan masak karema banyak teman dan sanak saudara bosku yang berkunjung. 

"Sebentar, Mas. Aku baru duduk. Seharian capek berdiri terus."

"Halah, capek ngapain, sih? Capek tuh aku, tiap hari ngurus anak dan pergi ke sawah. Kerjaanmu mah enak, gak perlu panas-panasan, tiap hari di rumah terus!"

Kerjaanku kan memang di rumah, Mas. Makanya tiap hari di rumah. Ingin rasanya aku bicara begitu pada Mas Patno, tapi kuurungkan. Kalau aku membantah, bisa-bisa urusan jadi panjang dan ujung-ujungnya suami yang kutinggal jadi TKW selama dua puluh tahun itu bisa ngamuk. 

"Sabar ya, Mas. Nanti kalau sudah gajian, pasti aku kirim," kataku berusaha sesabar mungkin.

"Aku sih bisa sabar, tapi uang sekolah anakmu kan gak bisa sabar. Hampir tiap hari aku dapat surat tagihan dari sekolah!"

"Lha uangnya dari mana, Mas? Mas kan tahu kalau gak gajian, aku gak punya duit."

"Coba pinjam sama bosmu, Sum. Bilang saja kalau penting," usul Mas Patno dengan entengnya. Karena tidak mau memperpanjang lagi obrolan, aku langsung saja mengiyakan agar dia menutup teleponnya. 

"Besok aku coba ya, Mas. Sekarang sudah malam."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Patno langsung menutup teleponnya. Padahal, bisa kan bertanya dulu bagaimana kabarku? Sehat apa tidak? Capek apa tidak? Sudah makan apa belum? Aku tahu Mas Patno sejak dulu memang begitu, tetapi aku juga kan manusia biasa yang butuh perhatian dari suami meski hanya sesekali.

"Who's talking to you, Sum? Makanlah dulu," kata majikanku yang sedang membuka kulkas dan mengambil buah naga yang sudah aku potong dan kutaruh di dalam tempat kedap udara. 

"Husband, Mam." Aku menjawab singkat. Sudah hampir duapuluh tahun aku bekerja di sini dan bos perempuanku itu selalu baik. Ya, meskipun kalau soal uang dia selalu perhitungan. 

Sebagai seorang Singaporean, Mam Lusi adalah keturunan chinese yang bisa berbahasa melayu. Jadi, bahasa kami sehari-hari adalah bahasa campur-campur antara Inggris Singapura dan juga melayu. 

"Haiya ... eat-lah. Have your dinner first, baru calling-calling."

"Yes, Mam. Thank you," jawabku sambil tersenyum dan perempuan berusia enam puluhan itu pun pergi meninggalkan dapur. 

Sambil makan char kwe tiaw yang sudah dingin, pelan-pelan air mataku jatuh ke pipi.

Seandainya Mas Patno seperti bosku yang berhatian begitu, pasti aku akan sangat bersyukur.

Sayangnya, apa yang ditanyakan Mas Patno saat telepon adalah uang, uang, dan uang. Aku tahu kalau di kampung kebutuhan anak-anakku sangat banyak, tetapi hidup ini kan bukan hanya soal uang. Apalagi selama ini aku rela meninggalkan anak-anak dan suamiku menjadi TKW agar keluargaku bisa hidup layak. 

Aku yang dulu berusia dua puluhan dan baru melahirkan anak pertamaku, langsung mendaftar ke PJTKI karena ingin punya rumah sendiri. Maklum, bapak dan emakku hanya orang yang sederhana yang tidak mungkin mewariskan tanah atau rumah. Apalagi aku masih punya satu adik.

Selama pernikahan kami itu, kami tinggal di rumah orangtuaku, tetapi tetap saja aku tidak nyaman. Aku bercita-cita ingin punya rumah sendiri agar tidak perlu bergantung lagi pada orangtua. Tidak ketinggian kan cita-citaku itu?

"Aunty, Sum, makan apa tuh?" tanya Robert, dia adalah anak bosku yang paling bontot. Usianya hampir sama dengan anak pertamaku yaitu sembilan belasan. 

"Kwe tiaw. Do you need something?"

"No. I just wanna give you this," ujar Robert sambil memberikan padaku sebuah kotak ponsel berwarna putih. "Tak baru, tapi lebih bagus daripada punya Aunty Sum yang black and white."

"This is for me? Smartphone?" Aku bertanya tak percaya. 

"Yes. Nanti I ajar biar bisa pakai smartphone."

"Thank you, Robert,"jawabku dengan mata berkaca-kaca. 

"Same-same, Aunty," anak lelaki itu memelukku dengan erat. "Thank you for taking care of me," kata anak itu lagi yang membuatku tidak mampu menahan tangis karena Robert tidak hanya menganggapku sebagai seorang pembantu di rumahnya, tetapi dia menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. 

"Lepas ni I teach how to use smartphone, tapi selesaikan maakan and berih-bersih dulu, ye."

"Oke. Aunty nak clear up first kalau gitu," sahutku sambil tersenyum dan dengan cepat menghabiskan makanan agar cepat pula aku bersih-bersih dapur yang berantakan bak kapal karam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status