"Kapan kirim uang lagi, Sum? Anak-anak perlu bayar biaya sekolah dan kuliah, genteng banyak yang bocor di musim hujan begini, dan si bungsu juga minta motor kayak kakaknya. Katanya biar bisa sekolah bawa motor sendiri kayak teman-teman lainnya. Malu katanya, masak jalan kaki terus ke sekolah?"
Astagfirullahaladzim ... baru saja aku ingin makan, tapi telpon dari Mas Patno membuat nafsu makanku hilang padahal seharian aku belum sempat makan dan sekarang sudah jam sepuluh malam. Kakiku sampai gemetar dan keluar keringat dingin karena kelaparan. "Kok diam saja sih, Sum?" tanya Mas Patno lagi ketika aku hanya diam saja. Bukannya tak mau menjawab, tapi aku sedang kehabisan tenaga. Meskipun hari ini Chinese New Year hari ketiga, tetap saja kerjaan tidak ada hentinya. Dari bangun tidur yang diurusin cuma soal masak, masak, dan masak karema banyak teman dan sanak saudara bosku yang berkunjung. "Sebentar, Mas. Aku baru duduk. Seharian capek berdiri terus." "Halah, capek ngapain, sih? Capek tuh aku, tiap hari ngurus anak dan pergi ke sawah. Kerjaanmu mah enak, gak perlu panas-panasan, tiap hari di rumah terus!" Kerjaanku kan memang di rumah, Mas. Makanya tiap hari di rumah. Ingin rasanya aku bicara begitu pada Mas Patno, tapi kuurungkan. Kalau aku membantah, bisa-bisa urusan jadi panjang dan ujung-ujungnya suami yang kutinggal jadi TKW selama dua puluh tahun itu bisa ngamuk. "Sabar ya, Mas. Nanti kalau sudah gajian, pasti aku kirim," kataku berusaha sesabar mungkin. "Aku sih bisa sabar, tapi uang sekolah anakmu kan gak bisa sabar. Hampir tiap hari aku dapat surat tagihan dari sekolah!" "Lha uangnya dari mana, Mas? Mas kan tahu kalau gak gajian, aku gak punya duit." "Coba pinjam sama bosmu, Sum. Bilang saja kalau penting," usul Mas Patno dengan entengnya. Karena tidak mau memperpanjang lagi obrolan, aku langsung saja mengiyakan agar dia menutup teleponnya. "Besok aku coba ya, Mas. Sekarang sudah malam." Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Patno langsung menutup teleponnya. Padahal, bisa kan bertanya dulu bagaimana kabarku? Sehat apa tidak? Capek apa tidak? Sudah makan apa belum? Aku tahu Mas Patno sejak dulu memang begitu, tetapi aku juga kan manusia biasa yang butuh perhatian dari suami meski hanya sesekali. "Who's talking to you, Sum? Makanlah dulu," kata majikanku yang sedang membuka kulkas dan mengambil buah naga yang sudah aku potong dan kutaruh di dalam tempat kedap udara. "Husband, Mam." Aku menjawab singkat. Sudah hampir duapuluh tahun aku bekerja di sini dan bos perempuanku itu selalu baik. Ya, meskipun kalau soal uang dia selalu perhitungan. Sebagai seorang Singaporean, Mam Lusi adalah keturunan chinese yang bisa berbahasa melayu. Jadi, bahasa kami sehari-hari adalah bahasa campur-campur antara Inggris Singapura dan juga melayu. "Haiya ... eat-lah. Have your dinner first, baru calling-calling." "Yes, Mam. Thank you," jawabku sambil tersenyum dan perempuan berusia enam puluhan itu pun pergi meninggalkan dapur. Sambil makan char kwe tiaw yang sudah dingin, pelan-pelan air mataku jatuh ke pipi. Seandainya Mas Patno seperti bosku yang berhatian begitu, pasti aku akan sangat bersyukur. Sayangnya, apa yang ditanyakan Mas Patno saat telepon adalah uang, uang, dan uang. Aku tahu kalau di kampung kebutuhan anak-anakku sangat banyak, tetapi hidup ini kan bukan hanya soal uang. Apalagi selama ini aku rela meninggalkan anak-anak dan suamiku menjadi TKW agar keluargaku bisa hidup layak. Aku yang dulu berusia dua puluhan dan baru melahirkan anak pertamaku, langsung mendaftar ke PJTKI karena ingin punya rumah sendiri. Maklum, bapak dan emakku hanya orang yang sederhana yang tidak mungkin mewariskan tanah atau rumah. Apalagi aku masih punya satu adik. Selama pernikahan kami itu, kami tinggal di rumah orangtuaku, tetapi tetap saja aku tidak nyaman. Aku bercita-cita ingin punya rumah sendiri agar tidak perlu bergantung lagi pada orangtua. Tidak ketinggian kan cita-citaku itu? "Aunty, Sum, makan apa tuh?" tanya Robert, dia adalah anak bosku yang paling bontot. Usianya hampir sama dengan anak pertamaku yaitu sembilan belasan. "Kwe tiaw. Do you need something?" "No. I just wanna give you this," ujar Robert sambil memberikan padaku sebuah kotak ponsel berwarna putih. "Tak baru, tapi lebih bagus daripada punya Aunty Sum yang black and white." "This is for me? Smartphone?" Aku bertanya tak percaya. "Yes. Nanti I ajar biar bisa pakai smartphone." "Thank you, Robert,"jawabku dengan mata berkaca-kaca. "Same-same, Aunty," anak lelaki itu memelukku dengan erat. "Thank you for taking care of me," kata anak itu lagi yang membuatku tidak mampu menahan tangis karena Robert tidak hanya menganggapku sebagai seorang pembantu di rumahnya, tetapi dia menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. "Lepas ni I teach how to use smartphone, tapi selesaikan maakan and berih-bersih dulu, ye." "Oke. Aunty nak clear up first kalau gitu," sahutku sambil tersenyum dan dengan cepat menghabiskan makanan agar cepat pula aku bersih-bersih dapur yang berantakan bak kapal karam.Hooam. Mulutku tidak berhenti menguap, tetapi mataku sulit terpejam padahal ini sudah pukul tiga pagi. Rasanya badanku remuk seperti remahan kerupuk. Terlebih lagi aku masih belajar menggunakan smartphone pemberian Robert. Meskipun itu adalah ponsel bekas pakai dari Robert, tetapi masih bagus dan sangat layak digunakan. Tidak seperti ponsel hitam putih milikku yang belum bisa tersambung dengan internet. Beberapa kali aku ingin membeli smartphone, tetapi Mas Patno selalu bilang. Katanya pemborosan, kan bisa telepon manual, dan banyak lagi alasannya. Padahal kalau menggunakan smartphone, kami bisa video call lewat WA. Aku juga bisa lihat foto anak-anak dan bisa setiap saat video call kalau sedang kangen berat. Karena pulang lima tahun sekali untuk menghemat biaya, aku tidak bisa melihat kedua anakku tumbuh dewasa. Ingin minta dikirimin foto, tapi HP tidak mendukung.Restu yang kini sudah berusia duapuluh, aku tinggalkan waktu usianya enam bulan. Sedangkan Risma lahir enam tahun kemudi
"Wah, henpon baru ya, Sum?" tanya Mbak Sugi, dia adalah orang Jawa Timur yang kebetulan bekerja di sebelah rumah bosku. Hari ini aku sengaja ambil libur dan minta tolong Sugi untuk mengajariku bagaimana menggunakan Facebook karena aku tidak enak kalau harus minta tolong pada Robert."Iya, dikasih Robert. Kamu punya FB, Mbak? Apa nama FB-nya kok aku cari ora ketemu?"Mbak Sugi yang sedang meminum es tehnya langsung membanggakan diri. "Yo punyalah, Sum. Arek jaman sekarang, gak ada yang gak punya FB, Sum. Kamu aja itu yang kudet! Orang lain sudah pake android, kamu masih pake hp tulit-tulit.""Ya, mau gimana lagi, Mbak. Hp bagus kan harganya gak murah.""Ah, kamu itu. Buat suami sama anak-anakmu aja loyal, giliran buat diri sendiri pelit! Siniin hp-mu." Mbak Sugi merebut HP dari tanganku."Oya, semua kontak udah di sini semua?""Sudah, Mbak. Sudah dibantuin nyimpan semua."Mbak Sugi terlihat mengotak-atik HPku dengan lincahnya. "Kalau udah kesimpen, tinggal aku setting sinkron kontak. N
Dalam perjalanan ke Changi Airport, Mam Lusi tidak berhenti menangis padahal dia sedang menyetir. Setelah beberapa hari berpikir dan rembukan dengan suaminya, akhirnya mereka memperbolehkan aku untuk pulang. Namun, mereka masih berharap aku bisa kembali lagi bekerja di keluarga mereka. "Kalau nak balik sini, chat I saje. Oke? I, Sir, Robert, and all family selalu welcome.""Baik, Mam. Thank you so much.""Hati-hati bawa duit. Saye tak nak tanya ade ape masalah you and family, tapi I berdoa masalah you cepat selesai.""Terima kasih, Mam." Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mam Lusi sebelum akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di depan terminal 3. Aku memeluknya untuk yang terakhir kali lalu turun dan mengambil tasku yang tak terlalu besar dari bagasi. Begitu Mam Lusi menjalankan mobilnya, aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu hilang di ujung jalan. Kepulanganku kali ini adalah sebuah kejutan. Aku tidak memberitahu siapa pun termasuk suami dan anak-anakku. Kata Mbak
"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku.Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi.Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun be
Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah. "Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. "Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!""Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!"Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali ti
"Ris, kata orang-orang, ibumu pulang, ya?" Tanya Anggun, teman sekelas Risma yang memang terkenal usil. Risma yang masih ngos-ngosan karena jalan kaki pun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih duduk terlebih dahulu lalu meminum air yang dibawanya dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, Risma bisa menempuh jarak yang 1 kilometer itu dengan berjalan kaki, tapi tetap saja dia ingin motor karena anak-anaknya di kelasnya hampir tak ada yang jalan kaki kecuali dirinya. Beberapa kali dia merengek pada bapaknya, tapi jawabannya selalu nanti, nanti, dan nanti. Padahal Risma tahu ibunya yang bekerja sebagai TKW itu selalu kirim uang ke rumah tiap bulan.Selain itu ... Risma juga tidak suka dengan buliknya yang saat ini tinggal bersamanya. Dia merasa sejak bapaknya menikah dan punya anak lagi, tidak ada lagi kasih sayang untuk dirinya. "Ditanyain kok bengong, sih? Berarti dekarang kamu punya dua ibu, dong?" tanya Anggun lagi dengan nada setengah mengejek.
"Mak ... Mak? Siapa yang masuk kamarku?" teriak Sumi ketika melihat kopernya tergeletak di lantai dengan keadaan compang camping bekas dirobek dengan pisau. Dan begitu memeriksanya dengan teliti, uang sejumlah satu juta sudah raib dari sana padahal dia sengaja menyisakan uang di sana untuk membelikan Risma hadiah. Karena Emak tak kunjung menyahut, Sumi berjalan tergopoh-gopoh ke dapur. Ke tempat biasa Emak nongkrong dengan bapak tiri Sumi. "Mak, siapa yang masuk ke kamar Sumi?"Emak yang sedang ngopi membelalak pada anaknya dengan emosi. "Ono opo to kok teriak-teriak?""Siapa yang masuk kamarku dan ngerusak koperku, Mak?""Lha mana aku ngerti to, Sum? Seharian aku di sawah. Justru kamu itu yang seharian ke mana kok malam begini baru pulang?""Semarang, Mak. Ketemu Restu," jawab Sumi ketus lalu meninggalkan dapur. Dia yakin kalau ada orang yang mengambil uang yang dia sembunyikan di dalam koper. Untung saja tadi pagi dia mengambil uang yang lainnya dan membawanya ke bank untuk membuk
"Ngapain Mas Patno di sini?" sentak Sumi kaget ketika dia merasakan seseorang mengelus kakinya. Dengan cepat dia menekuk kakinya dan mundur ke pinggir ranjang. Entah kenapa dia merasa jijik saat kulit lelaki itu menyentuhnya. Patno yang sedang menelan ludah itu pun tersenyum yang membuat Sumi bergidik ngeri. "Jangan gitu dong, Sum. Aku ini kan masih suamimu."Hah, suami? Pikir wanita itu jengkel. Lebih baik aku gak punya suami daripada punya suami iblis macam kamu!"Sekarang pernikahan kita cuma ada di atas kertas, Mas. Cepat atau lambat kita akan bercerai.""Lho, siapa yang ingin bercerai? Aku juga belum bilang talak ke kamu.""Sudahlah, Mas. Pokoknya sekarang aku gak mau jadi istrimu lagi. Jijik!"Patno tersinggung dengan perkataan istrinya itu. Dia mengepalkan tangan lalu menaiki ranjang dan berusaha mendekati Sumi.Dirangkulnya wanita itu dan Patno berusaha mendekatkan bibirnya pada wajah Sumi, tetapi karena Sumi terus memberontak sekuat tenaga, Patno jadi kewalahan. "Diem, Sum.