Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah.
"Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. "Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!" "Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!" Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali tidak mengerti perasaannya? "Mak ...." Sumi menyahut sambil menahan tangis. "Kenapa Emak sama sekali nggak ngerti? Duapuluh tahun aku kerja ke luar negeri dan berpisah dengan anak-suamiku, dan di belakangku suamiku menikah dengan adik kandungku sendiri! Mengambil semua milikku! Emak tau gak sih sakitnya gimana dan sekarang nyuruh aku berbagi dengan Santi?" "Wis to Sum. Jangan merengek seperti anak kecil! Apa salahnya poligami? Di agama kita juga tidak dilarang!" Sumi lari dari dapur dan masuk ke dalam kamarnya yang usang dan berdebu karena tidak pernah dibersihkan. Di sana dia tidak hanya menangis, tetapi juga memukuli dadanya yang terasa sangat sakit karena emaknya sendiri pun sama sekali tidak mengerti perasaannya. Dan justru emaknya membela Santi serta Patno. "Ya Allah, cabut nyawaku ya, Allah. Aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini," ucap Sumi terisak dalam tangisnya. Dia benar-benar merasa hancur dan tidak ingin hidup lagi. Dan ternyata, hal yang membuat hancur Sumi bukan hanya itu saja. Risma anaknya, bahkan tidak mau dekat-dekat dengannya dan terlihat sangat membencinya. "Buat apa sih Ibu pulang? Kenapa gak selamanya aja sih di Singapur?" ucap Risma ketus ketika keesokan paginya Sumi menemuinya. Sengaja Sumi menunggu Risma keluar rumah karena tak ingin masuk ke dalam rumah yang dihuni adik dan suaminya itu. Sumi pun mendekati Risma yang masih duduk sambil menali sepatunya. Ingin rasanya dia memeluk anaknya itu, tetapi diurungkannya. Kemarin, saat Risma pulang dari les Sumi ingin memeluknya, menciumi wajahnya, tetapi anak itu histeris dan langsung lari entah ke mana. Sumi ingin sekali mengejar, tetapi saat itu keadaan sedang tidak memungkinkan. Pagi ini, berharap Risma akan menerimanya, tetapi ternyata sama saja. Risma begitu jutek pada ibunya. "Ibuk kangen kamu, Nduk. Memangnya kamu gak kangen sama Ibuk?" "Gak!" jawab Risma judes. Hati Sumi bukan hanya sakit saat ini, tetapi hatinya sangat hancur. Saat masih di Singapura, Sumi pikir anaknya akan berubah kalau mereka berdekatan, tetapi justru sebaliknya. Risma begitu dingin dan menganggap ibunya seolah-olah adalah musuhnya. "Ibuk antar sekolah ya, Nduk. Biar bisa ngobrol di jalan." Risma menyunggingkan senyum sinis. "Anter pakai apa? Jalan kaki?" Teriris rasanya hati Sumi. "Memangnya kamu pengen motor apa, Nduk? Biar Ibuk belikan." "Emangnya kamu punya uang? Setiap gajian selalu dikirim ke Bapak dan Bulik! Mana mungkin Ibuk punya uang!" Apa yang dikatakan anak gadis Sumi memang betul. Selama bekerja, dia sama sekali tidak pernah menyimpan uang untuk dirinya sendiri. Semuanya ia kirimkan untuk Patno dan naifnya Sumi sangat percaya bahwa suaminya itu akan mengatur uangnya dengan baik. "Ma—maafkan Ibuk, Nduk." "Sudahlah. Aku mau pergi sekolah dulu!" Dengan jengkel Risma meninggalkan ibunya yang terus memandanginya dari belakang. Dia jadi ingat kejadian lima tahun lalu saat dirinya hendak kembali ke Singapura setelah dua minggu cuti untuk pulang ke kampung halaman. Saat itu Risma yang berumur sekitar 8 tahunan merengek dan melingkarkan tubuh ibunya saat Sumi hendak masuk ke dalam travel yang akan mengantarkannya ke bandara. "Jangan pergi, Buk. Risma masih kangen Ibu. Ibu gak boleh kerja." Saat itu bukan hanya Risma saja yang menangis, tetapi Sumi juga. Dia menunduk dan memeluk anaknya sambil menangis. "Ibuk harus kerja Nduk. Biar kamu dan Mbak Restu bisa sekolah. Bisa jajan." "Risma gak mau jajan! Risma gak mau sekolah. Risma maunya cuma Ibuk!" rengek Risma kecil yang memeluk ibunya dengan erat. "Risma ikut Bapak dulu, ya. Ibuk janji besok akan pulang cuti lagi." "Gak mau! Risma gak mau ikut Bapak! Maunya ikut Ibuk!" Saat itu Sumi terpaksa menyuruh suaminya untuk mengambil Risma dan menahan gadis cilik itu biar bisa masuk ke dalam mobil. Dan begitu mobil yang ditumpanginya perlahan menjauh, Sumi melihat Risma yang berlari mengejar mobil. Sungguh hancur hati Sumi yang melihat pemandangan itu. Dia berpikir, mungkin masa kecil Risma yang ditinggal ibunya itulah yang membuat anak itu membencinya."Ris, kata orang-orang, ibumu pulang, ya?" Tanya Anggun, teman sekelas Risma yang memang terkenal usil. Risma yang masih ngos-ngosan karena jalan kaki pun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih duduk terlebih dahulu lalu meminum air yang dibawanya dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, Risma bisa menempuh jarak yang 1 kilometer itu dengan berjalan kaki, tapi tetap saja dia ingin motor karena anak-anaknya di kelasnya hampir tak ada yang jalan kaki kecuali dirinya. Beberapa kali dia merengek pada bapaknya, tapi jawabannya selalu nanti, nanti, dan nanti. Padahal Risma tahu ibunya yang bekerja sebagai TKW itu selalu kirim uang ke rumah tiap bulan.Selain itu ... Risma juga tidak suka dengan buliknya yang saat ini tinggal bersamanya. Dia merasa sejak bapaknya menikah dan punya anak lagi, tidak ada lagi kasih sayang untuk dirinya. "Ditanyain kok bengong, sih? Berarti dekarang kamu punya dua ibu, dong?" tanya Anggun lagi dengan nada setengah mengejek.
"Mak ... Mak? Siapa yang masuk kamarku?" teriak Sumi ketika melihat kopernya tergeletak di lantai dengan keadaan compang camping bekas dirobek dengan pisau. Dan begitu memeriksanya dengan teliti, uang sejumlah satu juta sudah raib dari sana padahal dia sengaja menyisakan uang di sana untuk membelikan Risma hadiah. Karena Emak tak kunjung menyahut, Sumi berjalan tergopoh-gopoh ke dapur. Ke tempat biasa Emak nongkrong dengan bapak tiri Sumi. "Mak, siapa yang masuk ke kamar Sumi?"Emak yang sedang ngopi membelalak pada anaknya dengan emosi. "Ono opo to kok teriak-teriak?""Siapa yang masuk kamarku dan ngerusak koperku, Mak?""Lha mana aku ngerti to, Sum? Seharian aku di sawah. Justru kamu itu yang seharian ke mana kok malam begini baru pulang?""Semarang, Mak. Ketemu Restu," jawab Sumi ketus lalu meninggalkan dapur. Dia yakin kalau ada orang yang mengambil uang yang dia sembunyikan di dalam koper. Untung saja tadi pagi dia mengambil uang yang lainnya dan membawanya ke bank untuk membuk
"Ngapain Mas Patno di sini?" sentak Sumi kaget ketika dia merasakan seseorang mengelus kakinya. Dengan cepat dia menekuk kakinya dan mundur ke pinggir ranjang. Entah kenapa dia merasa jijik saat kulit lelaki itu menyentuhnya. Patno yang sedang menelan ludah itu pun tersenyum yang membuat Sumi bergidik ngeri. "Jangan gitu dong, Sum. Aku ini kan masih suamimu."Hah, suami? Pikir wanita itu jengkel. Lebih baik aku gak punya suami daripada punya suami iblis macam kamu!"Sekarang pernikahan kita cuma ada di atas kertas, Mas. Cepat atau lambat kita akan bercerai.""Lho, siapa yang ingin bercerai? Aku juga belum bilang talak ke kamu.""Sudahlah, Mas. Pokoknya sekarang aku gak mau jadi istrimu lagi. Jijik!"Patno tersinggung dengan perkataan istrinya itu. Dia mengepalkan tangan lalu menaiki ranjang dan berusaha mendekati Sumi.Dirangkulnya wanita itu dan Patno berusaha mendekatkan bibirnya pada wajah Sumi, tetapi karena Sumi terus memberontak sekuat tenaga, Patno jadi kewalahan. "Diem, Sum.
Setelah mengambil uang satu juta dari ATM, Sumi memasukkan uang itu ke dalam tas dengan hati-hati. Untung saja dia masih memiliki uang gaji, bonus hari raya, dan juga bonus dari majikannya. Jika tidak, dia pasti akan lebih bingung dan pusing karena di kampung sekarang semua serba uang dan serba mahal. Jika dulu Sumi ngojek dari rumah ke pasar, biayanya masih lima ribu. Kalau sekarang, paling tidak empat puluh ribu. Dia berencana memberikan sebagian uang itu pada Legi dan sebagian lainnya dia ingin menggunakan untuk kebutuhannya sendiri. Dia juga ingin mengajak Risma makan dan jalan-jalan. Semoga saja anak itu tidak menolaknya karena tadi saat dia ingin bicara dengannya ketika akan pergi ke sekolah, anak itu langsung lari menghindari Sumi. "Mbak Sumi? Betul Mbak ini Mbak sumi?" tanya seorang pria yang baru saja turun dari mobil ketika melihat Sumi keluar dari bilik ATM. Sumi jadi bingung. Dia tidak mengenali lelaki itu. Dilihat betul-betul wajahnya, tetap saja dia gak kenal. "Siapa
Sumi mendesah pelan ketika akhirnya Budi tidak langsung membawanya ke rumah, tetapi malah ke warung makan. Dan mau tak mau Sumi pun duduk daripada harus ribut dulu. Malu kan kalau jadi tontonan orang-orang?"Ayo Mbak pesen," kata Budi ketika Sumi hanya diam memandangi makanan-makanan itu."Kalau aku yang pesenkan, satu warung nanti tak borong semua, lho," lanjut pria itu sambil memarkan senyum yang memang selalu jadi andalannya.Karena takut Budi akan benar-benar melaksanakan apa yang dikatakannya, Sumi langsung memesan. "Nasi pecel satu, Mbak. Disiram kuah semur, nggih.""Minumnya nopo, Mbak?" tanya penjaga warung itu dengan ramah."Es teh manis mawon."Pandangan mata penjaga warung itu pun langsung berpindah pada Budi yang menyalakan rokoknya. "Mas makannya apa?""Lontong tahu, Mbak. Sama es jeruk," kata Budi santai sambil mengisap dalam-dalam rokok yang tidak pernah absen ketika dia sedang makan.Begitu makanan disajikan, Sumi terlihat sangat menikmati nasi pecel yang dipincuk deng
Sumi tersenyum bahagia ketika membaca pesan dari Risma. Rupanya anak itu sedikit mau membuka hati untuk ibunya. "Risma mau makan di mall." Itulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas.Tanpa pikir panjang Sumi langsung menyiyakan dan meminta Risma untuk bersiap-siap untuk makan malam. "Ibuk tunggu di depan rumah ya, Nduk," balas Sumi sambil cengar-cengir sendirian. Padahal hanya makan bersama anak sendiri, tapi girangnya bukan main seperti akan kencan dengan kekasih. Setelah sepuluh menit Sumi menunggu di depan rumah, Sumi melihat Risma keluar dari dalam. Anak remaja itu mengenakan baju gamis dan juga jilbab yang berwarna senada. Sumi berdecak kagum akan kecantikan putrinya. Dia yakin kalau sudah dewasa nanti, Risma akan menjadi rebutan para pemuda. Ah, Sumi jadi membayangkan dia jadi nenek dan menimang cucu dari anak-anaknya."Mau makan apa, Nduk?" tanya Sumi begitu mereka turun dari mobil yang dicarter Sumi. Dia tak ingin anaknya kelelahan naik ojek, itu sebabnya dia menyewa
Waktu baru menunjukkan pukul empat, tapi Sumi sudah terbangun. Dengan sangat hati-hati dia bangkit dari kasur agar tidak membangunkan Risma. Sebelum pergi dari kamar itu, Sumi membetulkan selimut yang menutupi tubuh cungkring Risma. "Maafkan Ibuk, Nduk. Ibuk sudah jahat padamu karena ketidak tahuan Ibuk," gumam Sumi sambil menghapus air matanya.Setelah itu Sumi mengambil ayam goreng semalam lalu mengendap-endap keluar dari rumahnya sendiri seperti maling dan pulang ke rumah emaknya. Begitu dia selesai mengganti baju dan menaruh tasnya di kamar, Sumi langsung menuju dapur untuk menanak nasi. Dia juga membuka kulkas dan mencari sesuatu yang barangkali dimasak untuk sarapan. Tak lupa juga Sumi mencari kotak makan di dalam lemari yang isinya semrawut bukan main. Dia ingat sekali dulu pernah membeli banyak tupperware. Begitu ketemu, Sumi langsung mencuci tupperware itu dan menyiapkannya untuk membawakan bekal pada Risma. "Ngapain ke sini lagi, Mbak?" tanya Santi di ruang tamu yang sed
"Ngapain sih Mbak ke sini lagi?" tanya Santi kesal ketika melihat kakaknya muncul lagi di rumah yang dianggap rumahnya. Ditambah lagi Sumi bawa-bawa sapu begitu. Bikin gondok saja! Masuk rumah orang sudah seenak jidat, tanpa permisi pula!"Bersihin kamar Risma," jawab Sumi tak kalah judesnya. "Pergi keluar sana kalau gak mau kena debu yang bikin asmamu kumat!" katanya lagi tak kalah gondok dengan Santi. Ini kan rumahnya, jadi Sumi bebas masuk sesuka hatinya.Santi yang sedang mengajak main anaknya langsung meremas balon milik Khalisa hingga meletus. Dia ingin sekali mengusir Sumi dari rumah itu, tapi dia tak berdaya. Dan kalau ngadu sama suaminya, Patno pasti hanya akan menyuruhnya sabar. Huh, bikin kesal saja!Begitu Sumi selesai mengemas barang-barang Risma, dia langsung meminta tolong pada tetangganya untuk mengangkat kasur dan juga mencabut ambalan yang ada di tembok. Begitu selesai, dia langsung membersihkan kamar itu dan langsung menelepon Pak Joyo untuk mengantar barang-barangn