Share

6

Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah. 

"Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. 

"Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!"

"Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!"

Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali tidak mengerti perasaannya?

"Mak ...." Sumi menyahut sambil menahan tangis. "Kenapa Emak sama sekali nggak ngerti? Duapuluh tahun aku kerja ke luar negeri dan berpisah dengan anak-suamiku, dan di belakangku suamiku menikah dengan adik kandungku sendiri! Mengambil semua milikku! Emak tau gak sih sakitnya gimana dan sekarang nyuruh aku berbagi dengan Santi?"

"Wis to Sum. Jangan merengek seperti anak kecil! Apa salahnya poligami? Di agama kita juga tidak dilarang!"

Sumi lari dari dapur dan masuk ke dalam kamarnya yang usang dan berdebu karena tidak pernah dibersihkan. Di sana dia tidak hanya menangis, tetapi juga memukuli dadanya yang terasa sangat sakit karena emaknya sendiri pun sama sekali tidak mengerti perasaannya. Dan justru emaknya membela Santi serta Patno. 

"Ya Allah, cabut nyawaku ya, Allah. Aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini," ucap Sumi terisak dalam tangisnya. Dia benar-benar merasa hancur dan tidak ingin hidup lagi. Dan ternyata, hal yang membuat hancur Sumi bukan hanya itu saja. Risma anaknya, bahkan tidak mau dekat-dekat dengannya dan terlihat sangat membencinya.

"Buat apa sih Ibu pulang? Kenapa gak selamanya aja sih di Singapur?" ucap Risma ketus ketika keesokan paginya Sumi menemuinya. Sengaja Sumi menunggu Risma keluar rumah karena tak ingin masuk ke dalam rumah yang dihuni adik dan suaminya itu. 

Sumi pun mendekati Risma yang masih duduk sambil menali sepatunya. Ingin rasanya dia memeluk anaknya itu, tetapi diurungkannya. Kemarin, saat Risma pulang dari les Sumi ingin memeluknya, menciumi wajahnya, tetapi anak itu histeris dan langsung lari entah ke mana. Sumi ingin sekali mengejar, tetapi saat itu keadaan sedang tidak memungkinkan.

Pagi ini, berharap Risma akan menerimanya, tetapi ternyata sama saja. Risma begitu jutek pada ibunya. 

"Ibuk kangen kamu, Nduk. Memangnya kamu gak kangen sama Ibuk?"

"Gak!" jawab Risma judes. 

Hati Sumi bukan hanya sakit saat ini, tetapi hatinya sangat hancur. Saat masih di Singapura, Sumi pikir anaknya akan berubah kalau mereka berdekatan, tetapi justru sebaliknya. Risma begitu dingin dan menganggap ibunya seolah-olah adalah musuhnya. 

"Ibuk antar sekolah ya, Nduk. Biar bisa ngobrol di jalan."

Risma menyunggingkan senyum sinis. "Anter pakai apa? Jalan kaki?"

Teriris rasanya hati Sumi. "Memangnya kamu pengen motor apa, Nduk? Biar Ibuk belikan."

"Emangnya kamu punya uang? Setiap gajian selalu dikirim ke Bapak dan Bulik! Mana mungkin Ibuk punya uang!"

Apa yang dikatakan anak gadis Sumi memang betul. Selama bekerja, dia sama sekali tidak pernah menyimpan uang untuk dirinya sendiri. Semuanya ia kirimkan untuk Patno dan naifnya Sumi sangat percaya bahwa suaminya itu akan mengatur uangnya dengan baik.

"Ma—maafkan Ibuk, Nduk."

"Sudahlah. Aku mau pergi sekolah dulu!"

Dengan jengkel Risma meninggalkan ibunya yang terus memandanginya dari belakang. Dia jadi ingat kejadian lima tahun lalu saat dirinya hendak kembali ke Singapura setelah dua minggu cuti untuk pulang ke kampung halaman. 

Saat itu Risma yang berumur sekitar 8 tahunan merengek dan melingkarkan tubuh ibunya saat Sumi hendak masuk ke dalam travel yang akan mengantarkannya ke bandara. "Jangan pergi, Buk. Risma masih kangen Ibu. Ibu gak boleh kerja."

Saat itu bukan hanya Risma saja yang menangis, tetapi Sumi juga. Dia menunduk dan memeluk anaknya sambil menangis. "Ibuk harus kerja Nduk. Biar kamu dan Mbak Restu bisa sekolah. Bisa jajan."

"Risma gak mau jajan! Risma gak mau sekolah. Risma maunya cuma Ibuk!" rengek Risma kecil yang memeluk ibunya dengan erat. 

"Risma ikut Bapak dulu, ya. Ibuk janji besok akan pulang cuti lagi."

"Gak mau! Risma gak mau ikut Bapak! Maunya ikut Ibuk!"

Saat itu Sumi terpaksa menyuruh suaminya untuk mengambil Risma dan menahan gadis cilik itu biar bisa masuk ke dalam mobil. Dan begitu mobil yang ditumpanginya perlahan menjauh, Sumi melihat Risma yang berlari mengejar mobil. 

Sungguh hancur hati Sumi yang melihat pemandangan itu. Dia berpikir, mungkin masa kecil Risma yang ditinggal ibunya itulah yang membuat anak itu membencinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status