Sumi mendesah pelan ketika akhirnya Budi tidak langsung membawanya ke rumah, tetapi malah ke warung makan. Dan mau tak mau Sumi pun duduk daripada harus ribut dulu. Malu kan kalau jadi tontonan orang-orang?"Ayo Mbak pesen," kata Budi ketika Sumi hanya diam memandangi makanan-makanan itu."Kalau aku yang pesenkan, satu warung nanti tak borong semua, lho," lanjut pria itu sambil memarkan senyum yang memang selalu jadi andalannya.Karena takut Budi akan benar-benar melaksanakan apa yang dikatakannya, Sumi langsung memesan. "Nasi pecel satu, Mbak. Disiram kuah semur, nggih.""Minumnya nopo, Mbak?" tanya penjaga warung itu dengan ramah."Es teh manis mawon."Pandangan mata penjaga warung itu pun langsung berpindah pada Budi yang menyalakan rokoknya. "Mas makannya apa?""Lontong tahu, Mbak. Sama es jeruk," kata Budi santai sambil mengisap dalam-dalam rokok yang tidak pernah absen ketika dia sedang makan.Begitu makanan disajikan, Sumi terlihat sangat menikmati nasi pecel yang dipincuk deng
Sumi tersenyum bahagia ketika membaca pesan dari Risma. Rupanya anak itu sedikit mau membuka hati untuk ibunya. "Risma mau makan di mall." Itulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas.Tanpa pikir panjang Sumi langsung menyiyakan dan meminta Risma untuk bersiap-siap untuk makan malam. "Ibuk tunggu di depan rumah ya, Nduk," balas Sumi sambil cengar-cengir sendirian. Padahal hanya makan bersama anak sendiri, tapi girangnya bukan main seperti akan kencan dengan kekasih. Setelah sepuluh menit Sumi menunggu di depan rumah, Sumi melihat Risma keluar dari dalam. Anak remaja itu mengenakan baju gamis dan juga jilbab yang berwarna senada. Sumi berdecak kagum akan kecantikan putrinya. Dia yakin kalau sudah dewasa nanti, Risma akan menjadi rebutan para pemuda. Ah, Sumi jadi membayangkan dia jadi nenek dan menimang cucu dari anak-anaknya."Mau makan apa, Nduk?" tanya Sumi begitu mereka turun dari mobil yang dicarter Sumi. Dia tak ingin anaknya kelelahan naik ojek, itu sebabnya dia menyewa
Waktu baru menunjukkan pukul empat, tapi Sumi sudah terbangun. Dengan sangat hati-hati dia bangkit dari kasur agar tidak membangunkan Risma. Sebelum pergi dari kamar itu, Sumi membetulkan selimut yang menutupi tubuh cungkring Risma. "Maafkan Ibuk, Nduk. Ibuk sudah jahat padamu karena ketidak tahuan Ibuk," gumam Sumi sambil menghapus air matanya.Setelah itu Sumi mengambil ayam goreng semalam lalu mengendap-endap keluar dari rumahnya sendiri seperti maling dan pulang ke rumah emaknya. Begitu dia selesai mengganti baju dan menaruh tasnya di kamar, Sumi langsung menuju dapur untuk menanak nasi. Dia juga membuka kulkas dan mencari sesuatu yang barangkali dimasak untuk sarapan. Tak lupa juga Sumi mencari kotak makan di dalam lemari yang isinya semrawut bukan main. Dia ingat sekali dulu pernah membeli banyak tupperware. Begitu ketemu, Sumi langsung mencuci tupperware itu dan menyiapkannya untuk membawakan bekal pada Risma. "Ngapain ke sini lagi, Mbak?" tanya Santi di ruang tamu yang sed
"Ngapain sih Mbak ke sini lagi?" tanya Santi kesal ketika melihat kakaknya muncul lagi di rumah yang dianggap rumahnya. Ditambah lagi Sumi bawa-bawa sapu begitu. Bikin gondok saja! Masuk rumah orang sudah seenak jidat, tanpa permisi pula!"Bersihin kamar Risma," jawab Sumi tak kalah judesnya. "Pergi keluar sana kalau gak mau kena debu yang bikin asmamu kumat!" katanya lagi tak kalah gondok dengan Santi. Ini kan rumahnya, jadi Sumi bebas masuk sesuka hatinya.Santi yang sedang mengajak main anaknya langsung meremas balon milik Khalisa hingga meletus. Dia ingin sekali mengusir Sumi dari rumah itu, tapi dia tak berdaya. Dan kalau ngadu sama suaminya, Patno pasti hanya akan menyuruhnya sabar. Huh, bikin kesal saja!Begitu Sumi selesai mengemas barang-barang Risma, dia langsung meminta tolong pada tetangganya untuk mengangkat kasur dan juga mencabut ambalan yang ada di tembok. Begitu selesai, dia langsung membersihkan kamar itu dan langsung menelepon Pak Joyo untuk mengantar barang-barangn
Sumi langsung berdiri ketika sebuah mobil berhenti di halaman rumahnya. Dia tahu persis mobil siapa itu, tetapi dia tidak tahu bahwa anaknya ada di dalam mobil milik Budi Hartono. Begitu Budi Hartono turun dari mobil dengan wajah cemas tanpa menyapa Sumi terlebih dahulu, Sumi menjadi bingung. Namun, saat Budi membuka pintu lain mobil dan menggendong seorang anak perempuan, barulah Sumi mengerti apa yang terjadi. Rupanya lelaki itu mengantar anaknya."Risma!" Sumi memanggil anaknya dengan cemas. "Kamu jatuh di mana, Nduk?" tanyanya cemas. "Di sana, Mbak," sahut Budi meski tahu pertanyaan itu bukan untuknya. "Ini mau ditaruh mana, Mbak?"Sumi yang panik pun tidak bisa berpikir jernih. Dia melihat ke arah anaknya bergantian sambil melihat teras."Aku taruh sini ya, Mbak," kata Budi berinisiatif menaruh Risma di teras. "Mbak Sum punya obat merah?""Ah! Kamu tunggu di sini dulu, Bud. Aku ke toko sebentar."Buru-buru Sumi pergi ke toko yang tak jauh dari rumahnya. Toko itu tepat berada di
Seperti biasa, Budi selalu bangun sebelum pagi dan meninggalkan rumah sebelum pukul delapan pagi, tetapi hari ini sedikit berbeda. Dia ingin keluar rumah lebih awal agar bisa bertemu dengan Sumi.Kemarin sebelum pulang, Sumi bilang pada Risma akan mengantarkannya ke sekolah pakai sepeda. Kalau pagi ini diabisa melihat pujaan hatinya, kerjanya pasti juga akan lebih semangat.Dia tahu apa yang hendak dilakukan ini konyol karena status Sumi yang masih memiliki suami, tapi apa salahnya? Di mata Budi, sepertinya pernikahan mereka tidak akur dan lagi mereka tak lagi tinggal serumah. Lagipula, Cinta itu kan tidak dosa. Dan misalnya pun dosa, Budi rela menjadi orang berdosa asal bisa mencintai Sumi.Semalaman dia berpikir dan bertekad akan menunggu Sumi sampai wanita itu bercerai. Dia tak peduli jika ada yang menganggapnya sebagai pebinor alias perebut bini orang. Karena yang terpenting baginya adalah dia bisa membantu Sumi.***"Ini uang sakumu, Nduk," kata Sumi sambil menyodorkan uang lima
"Kenapa sih kamu deket-deket sama lelaki itu, Sum?" tanya Patno jengkel karena tadi dia melihat istrinya jalan bersama pria lain sampai depan rumah. Dan yang paling menjengkelkan lagi, Patno melihat mereka sangat akrab dan ngobrol sambil senyum-senyum. Sumi yang sedang membersihkan kamar Risma pun mau tak menyahut agar suaminya itu tak lagi mengganggu dan mengawasinya seperti seorang sipir yang mengawasi seorang tahanan ketika sedang bekerja. Selain merasa tak nyaman, Sumi juga merasa risih karena Patno terus melihatnya. "Kebetulan aja tadi ketemu," jawab Sumi ketus."Gak malu dilihatin tetangga?"Hah? Malu? Pikir Sumi tak kalah kesalnya karena Patno berbicara seolah-olah bahwa Sumi adalah istri yang berlumur dosa karena jalan berduaan dengan Budi Hartono. "Buat apa malu? Kalau ada yang perlu malu itu harusnya bukan aku," sahut Sumi sambil mengambil keranjang kotor berisi pakaian Risma begitu dia selesai mengelap lantai dengan kain basah. "Sudahlah, Mas. Tidak perlu lagi ngurusi u
"Ya, Allah ...." Sumi kaget ketika melihat keadaan Budi yang terkapar di ranjang rumah sakit dengan wajah yang ditotol obat merah dan mata yang bengkak. Herannya, lelaki itu justru tersenyum saat tahu siapa yang datang menjenguknya."Gimana keadaanmu, Bud?" tanya Sumi dengan perasaan ngeri. Dia tak pernah berpikir bahwa suaminya akan berbuat demikian. Cemburukah dia? Kalau iya, sungguh egoisnya seorang lelaki. Patno sendiri memiliki dua istri, tapi dia tak suka jika istrinya bersama lelaki lain."Maafkan aku, Bud. Gara-gara aku kamu jadi begini," ucap Sumi penuh sesal. Seandainya saja tadi pagi dia tidak berhenti saat mobil Budi mogok di jalan, barangkali Patno tak akan marah dan merasa cemburu. "Jangan begitu, Mbak. Bukan salahmu." Budi berusaha menghibur Sumi meskipun itu percuma saja."Tetap saja aku yang salah. Gimanapun juga Mas Patno masih suamiku dan sekarang dia sedang dipenjara dan kamu jadi begini gara-gara aku."