Apa yang Santi takutkan terjadi. Siang itu sekitar jam dua Patno pulang sambil berteriak-teriak. Santi yang mendengar suara suaminya langsung ketakutan. "San, kamu di mana?" panggil Patno yang sudah mencari-cari di mana istrinya. Dia tahu kalau istrinya itu ada di rumah karena Santi jarang ke rumah tetangga. "Santi, ini ada makanan. Cepat siapkan piring."Makanan? Santi yang sejak tadi bersembunyi di dalam lemari langsung berlari ke luar kamar. Patno yang melihat istrinya pun langsung memberikan bungkusan plastik kresek berisi sate kambing dan juga gulai. "Dapat dari mana, Mas?" tanya Santi heran."Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ini ada uang juga," kata Patno memberikan uang lima juta pada istrinya. Uang itu berwarna merah semua dan terlihat masih baru. "Dapat dari mana, Mas? Menang judol?""Nggak. Judol kalah terus. Udah sana siapkan makan. Aku lapar! Oya, mana Khalisa?""Main, Mas. Nanti aku panggil suruh pulang."Buru-buru Santi menyiapkan makan untuk suaminya. Dia tak ingin m
Kamu sudah bangun, San?" tanya Sumi ketika melihat adiknya yang pingsan sudah membuka mata. "Tadi Pak Polisi bawa kamu ke rumas sakit dan dimintai tolong Emak untuk nelpon aku. Makanya aku ke sini.""Mmmba—." Santi ingin membalas, tapi bibirnya sulit digerakkan. Ketika dia ingin mencoba menggerakkan tangannya pun tidak bisa. Tubuhnya, bibirnya, lidahnya, semua terasa kaku. "Cepat panggil dokter, Sum!" suruh Legi yang panik melihat keadaan anaknya seperti itu."Iya, Mak." Sumi langsung memanggil dokter sambil berpikir dengan cemas. "Ya Allah ... sepertinya Santi terkena stroke."Begitu dokter datang dan memeriksa, Santi disarankan untuk melakukan CT-scan dan juga cek darah. Tanpa pikir panjang Sumi pun meminta tolong pada dokter agar mengurus semua yang perlu dilakukan oleh adiknya. "Semua ini salahmu, Sum!" ucap Legi ketika mereka berdua sedang berada di luar radiologi menunggu Santi yang sedang melakukan CT-scan. "Sampai kapan Emak akan berhenti menyalahkanku soal Santi, Mak?" tan
"Kapan kirim uang lagi, Sum? Anak-anak perlu bayar biaya sekolah dan kuliah, genteng banyak yang bocor di musim hujan begini, dan si bungsu juga minta motor kayak kakaknya. Katanya biar bisa sekolah bawa motor sendiri kayak teman-teman lainnya. Malu katanya, masak jalan kaki terus ke sekolah?"Astagfirullahaladzim ... baru saja aku ingin makan, tapi telpon dari Mas Patno membuat nafsu makanku hilang padahal seharian aku belum sempat makan dan sekarang sudah jam sepuluh malam. Kakiku sampai gemetar dan keluar keringat dingin karena kelaparan. "Kok diam saja sih, Sum?" tanya Mas Patno lagi ketika aku hanya diam saja. Bukannya tak mau menjawab, tapi aku sedang kehabisan tenaga. Meskipun hari ini Chinese New Year hari ketiga, tetap saja kerjaan tidak ada hentinya. Dari bangun tidur yang diurusin cuma soal masak, masak, dan masak karema banyak teman dan sanak saudara bosku yang berkunjung. "Sebentar, Mas. Aku baru duduk. Seharian capek berdiri terus.""Halah, capek ngapain, sih? Capek t
Hooam. Mulutku tidak berhenti menguap, tetapi mataku sulit terpejam padahal ini sudah pukul tiga pagi. Rasanya badanku remuk seperti remahan kerupuk. Terlebih lagi aku masih belajar menggunakan smartphone pemberian Robert. Meskipun itu adalah ponsel bekas pakai dari Robert, tetapi masih bagus dan sangat layak digunakan. Tidak seperti ponsel hitam putih milikku yang belum bisa tersambung dengan internet. Beberapa kali aku ingin membeli smartphone, tetapi Mas Patno selalu bilang. Katanya pemborosan, kan bisa telepon manual, dan banyak lagi alasannya. Padahal kalau menggunakan smartphone, kami bisa video call lewat WA. Aku juga bisa lihat foto anak-anak dan bisa setiap saat video call kalau sedang kangen berat. Karena pulang lima tahun sekali untuk menghemat biaya, aku tidak bisa melihat kedua anakku tumbuh dewasa. Ingin minta dikirimin foto, tapi HP tidak mendukung.Restu yang kini sudah berusia duapuluh, aku tinggalkan waktu usianya enam bulan. Sedangkan Risma lahir enam tahun kemudi
"Wah, henpon baru ya, Sum?" tanya Mbak Sugi, dia adalah orang Jawa Timur yang kebetulan bekerja di sebelah rumah bosku. Hari ini aku sengaja ambil libur dan minta tolong Sugi untuk mengajariku bagaimana menggunakan Facebook karena aku tidak enak kalau harus minta tolong pada Robert."Iya, dikasih Robert. Kamu punya FB, Mbak? Apa nama FB-nya kok aku cari ora ketemu?"Mbak Sugi yang sedang meminum es tehnya langsung membanggakan diri. "Yo punyalah, Sum. Arek jaman sekarang, gak ada yang gak punya FB, Sum. Kamu aja itu yang kudet! Orang lain sudah pake android, kamu masih pake hp tulit-tulit.""Ya, mau gimana lagi, Mbak. Hp bagus kan harganya gak murah.""Ah, kamu itu. Buat suami sama anak-anakmu aja loyal, giliran buat diri sendiri pelit! Siniin hp-mu." Mbak Sugi merebut HP dari tanganku."Oya, semua kontak udah di sini semua?""Sudah, Mbak. Sudah dibantuin nyimpan semua."Mbak Sugi terlihat mengotak-atik HPku dengan lincahnya. "Kalau udah kesimpen, tinggal aku setting sinkron kontak. N
Dalam perjalanan ke Changi Airport, Mam Lusi tidak berhenti menangis padahal dia sedang menyetir. Setelah beberapa hari berpikir dan rembukan dengan suaminya, akhirnya mereka memperbolehkan aku untuk pulang. Namun, mereka masih berharap aku bisa kembali lagi bekerja di keluarga mereka. "Kalau nak balik sini, chat I saje. Oke? I, Sir, Robert, and all family selalu welcome.""Baik, Mam. Thank you so much.""Hati-hati bawa duit. Saye tak nak tanya ade ape masalah you and family, tapi I berdoa masalah you cepat selesai.""Terima kasih, Mam." Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mam Lusi sebelum akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di depan terminal 3. Aku memeluknya untuk yang terakhir kali lalu turun dan mengambil tasku yang tak terlalu besar dari bagasi. Begitu Mam Lusi menjalankan mobilnya, aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu hilang di ujung jalan. Kepulanganku kali ini adalah sebuah kejutan. Aku tidak memberitahu siapa pun termasuk suami dan anak-anakku. Kata Mbak
"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku.Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi.Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun be
Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah. "Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. "Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!""Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!"Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali ti
Kamu sudah bangun, San?" tanya Sumi ketika melihat adiknya yang pingsan sudah membuka mata. "Tadi Pak Polisi bawa kamu ke rumas sakit dan dimintai tolong Emak untuk nelpon aku. Makanya aku ke sini.""Mmmba—." Santi ingin membalas, tapi bibirnya sulit digerakkan. Ketika dia ingin mencoba menggerakkan tangannya pun tidak bisa. Tubuhnya, bibirnya, lidahnya, semua terasa kaku. "Cepat panggil dokter, Sum!" suruh Legi yang panik melihat keadaan anaknya seperti itu."Iya, Mak." Sumi langsung memanggil dokter sambil berpikir dengan cemas. "Ya Allah ... sepertinya Santi terkena stroke."Begitu dokter datang dan memeriksa, Santi disarankan untuk melakukan CT-scan dan juga cek darah. Tanpa pikir panjang Sumi pun meminta tolong pada dokter agar mengurus semua yang perlu dilakukan oleh adiknya. "Semua ini salahmu, Sum!" ucap Legi ketika mereka berdua sedang berada di luar radiologi menunggu Santi yang sedang melakukan CT-scan. "Sampai kapan Emak akan berhenti menyalahkanku soal Santi, Mak?" tan
Apa yang Santi takutkan terjadi. Siang itu sekitar jam dua Patno pulang sambil berteriak-teriak. Santi yang mendengar suara suaminya langsung ketakutan. "San, kamu di mana?" panggil Patno yang sudah mencari-cari di mana istrinya. Dia tahu kalau istrinya itu ada di rumah karena Santi jarang ke rumah tetangga. "Santi, ini ada makanan. Cepat siapkan piring."Makanan? Santi yang sejak tadi bersembunyi di dalam lemari langsung berlari ke luar kamar. Patno yang melihat istrinya pun langsung memberikan bungkusan plastik kresek berisi sate kambing dan juga gulai. "Dapat dari mana, Mas?" tanya Santi heran."Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ini ada uang juga," kata Patno memberikan uang lima juta pada istrinya. Uang itu berwarna merah semua dan terlihat masih baru. "Dapat dari mana, Mas? Menang judol?""Nggak. Judol kalah terus. Udah sana siapkan makan. Aku lapar! Oya, mana Khalisa?""Main, Mas. Nanti aku panggil suruh pulang."Buru-buru Santi menyiapkan makan untuk suaminya. Dia tak ingin m
"Mana makanannya, San?" teriak Patno dari dapur. Saat membuka tudung saji tidak apa-apa di atas meja. Jangankan sayur atau ikan, nasi putih saja tidak ada. "Ada apa sih Mas teriak-teriak? Kayak orang hutan aja!" Santi yang baru muncul dari kamar menjawab dengan gemas. Padahal dia kan baru saja istirahat rebahan di kamar, ee malah suaminya mengganggu. "Lho kok malah nanya ada apa? Piye to kowe ki? Mana makananya?" Patno membuka lagi tudung saji yang tadi sempat dia tutup."Lha, kok nanya aku?" Sumi yang dimarahi jadi ikutan marah juga. Nada bicaranya juga tak kalah tinggi dengan nada bicara suaminya."Emange Mas Patno ngasih aku uang belanja? Ora, to? Lha kok minta makan!"Patno yang geram langsung membanting tudung saji ke lantai. Dia menganggap sekarang Santi tak semanis dulu. Sekarang semuanya serba sepet dan pahit! "Kamu itu uang belanja terus yang dipikirin! Selama ini uang yang aku kasih ke mana? Kamu itu wis boros, gak bisa nyari duit kayak Sumi, tapi kebanyakan gaya!"Sumi?
Palu telah diketuk. Sumi dan Patno sudah resmi bercerai dengan pembagian harta gono-gini yang menurut Sumi semua itu sudah lebih dari cukup meski terkesan tidak adil.Dia memperoleh sebuah mobil atas nama Santi dan juga sebuah sepeda motor yang akhirnya dia jual setelah melalui banyak pertimbangan. Dia memutuskan untuk membiarkan rumah itu dihuni oleh mantan suami dan adiknya. Bukan karena dia baik, sama sekali bukan. Namun, bagaimana pun Sumi merasa Santi tetap adiknya bagaimanapun rasa sakit yang telah diberikan olehnya. Selain itu juga dia tak ingin ribut dengan Legi dan semakin dibenci oleh emaknya sendiri.Dengan uang penjualan kendaraan, Sumi memutuskan untuk membeli rumah daerah perkotaan. Rumah itu adalah rumah bekas pakai dan tak begitu luas. Meskipun demikian, Sumi sudah cukup senang karena dia masih memiliki sedikit sisa uang dari hasil penjualan kendaraan. "Seneng deh, Buk punya rumah baru!" celoteh Risma yang sekarang punya kamar lebih luas daripada yang dulu. Barang-ba
"Jadi pulang hari ini, Res?" tanya teman sekamar Restu ketika melihat gadis itu sedang mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Semalam ibunya meminta Restu untuk pulang karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Sebetulnya Restu sudah tahu apa yang hendak dibicarakan ibunya karena Risma sudah memberitahu kejadian apa yang sedang mengguncang keluarganya, tetapi Restu memang sengaja tidak ingin banyak bicara pada Sumi. Bagi Restu, apa pun masalah yang terjadi di rumahnya, bagi gadis itu tetap saja hubungan antara dirinya dan Sumi sulit diperbaiki. "Jadi, Zi. Males, sih. Tapi mau gimana lagi?" Restu menjawab sambil memeriksa dompetnya dan memastikan bahwa uang, SIM, dan surat motor sudah ada di sana. "Kenapa sih lo gitu banget sama nyokap, Res? Gimana pun juga kan itu nyokap lo. Waktu dulu ke sini itu, lo usir pula. Kagak takut dicap anak durhaka?" tanya Zia penasaran sambil ngemil bakwan goreng yang tadi dia beli di
"Habis nangis, Nduk?" tanya Sumi terus terang ketika menjemput Risma sekolah. Anak gadis yang sedang membonceng ibunya itu langsung mengeratkan pegangan tangannya di perut Sumi lalu menyandarkan kepalanya di punggung Sumi yang hangat karena tersengat matahari."Aku malu dihina temen sekolah, Buk. Katanya Risma punya bapak penjahat dan calon napi."Ya, Allah. Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Sumi karena dia benar-benar tidak tahu harus bicara bagaimana. "Risma jengkel karena sering jadi bahan bully temen-temen, Buk. Sering dikatain punya dua ibu dan sekarang dikatain anak penjahat. Risma gak mau sekolah lagi, Bu," kata Risma lagi dengan jengkel sambil sesekali menghapus air matanya. "Maafin Ibuk ya, Nduk," balas Sumi yang tidak pernah tahu bahwa selama ini anaknya menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya. Sekarang dia mengerti, itukah sebabnya tempo hari Risma menanyakan soal perceraian? Karena dia tak mau di
"Ya, Allah ...." Sumi kaget ketika melihat keadaan Budi yang terkapar di ranjang rumah sakit dengan wajah yang ditotol obat merah dan mata yang bengkak. Herannya, lelaki itu justru tersenyum saat tahu siapa yang datang menjenguknya."Gimana keadaanmu, Bud?" tanya Sumi dengan perasaan ngeri. Dia tak pernah berpikir bahwa suaminya akan berbuat demikian. Cemburukah dia? Kalau iya, sungguh egoisnya seorang lelaki. Patno sendiri memiliki dua istri, tapi dia tak suka jika istrinya bersama lelaki lain."Maafkan aku, Bud. Gara-gara aku kamu jadi begini," ucap Sumi penuh sesal. Seandainya saja tadi pagi dia tidak berhenti saat mobil Budi mogok di jalan, barangkali Patno tak akan marah dan merasa cemburu. "Jangan begitu, Mbak. Bukan salahmu." Budi berusaha menghibur Sumi meskipun itu percuma saja."Tetap saja aku yang salah. Gimanapun juga Mas Patno masih suamiku dan sekarang dia sedang dipenjara dan kamu jadi begini gara-gara aku."
"Kenapa sih kamu deket-deket sama lelaki itu, Sum?" tanya Patno jengkel karena tadi dia melihat istrinya jalan bersama pria lain sampai depan rumah. Dan yang paling menjengkelkan lagi, Patno melihat mereka sangat akrab dan ngobrol sambil senyum-senyum. Sumi yang sedang membersihkan kamar Risma pun mau tak menyahut agar suaminya itu tak lagi mengganggu dan mengawasinya seperti seorang sipir yang mengawasi seorang tahanan ketika sedang bekerja. Selain merasa tak nyaman, Sumi juga merasa risih karena Patno terus melihatnya. "Kebetulan aja tadi ketemu," jawab Sumi ketus."Gak malu dilihatin tetangga?"Hah? Malu? Pikir Sumi tak kalah kesalnya karena Patno berbicara seolah-olah bahwa Sumi adalah istri yang berlumur dosa karena jalan berduaan dengan Budi Hartono. "Buat apa malu? Kalau ada yang perlu malu itu harusnya bukan aku," sahut Sumi sambil mengambil keranjang kotor berisi pakaian Risma begitu dia selesai mengelap lantai dengan kain basah. "Sudahlah, Mas. Tidak perlu lagi ngurusi u
Seperti biasa, Budi selalu bangun sebelum pagi dan meninggalkan rumah sebelum pukul delapan pagi, tetapi hari ini sedikit berbeda. Dia ingin keluar rumah lebih awal agar bisa bertemu dengan Sumi.Kemarin sebelum pulang, Sumi bilang pada Risma akan mengantarkannya ke sekolah pakai sepeda. Kalau pagi ini diabisa melihat pujaan hatinya, kerjanya pasti juga akan lebih semangat.Dia tahu apa yang hendak dilakukan ini konyol karena status Sumi yang masih memiliki suami, tapi apa salahnya? Di mata Budi, sepertinya pernikahan mereka tidak akur dan lagi mereka tak lagi tinggal serumah. Lagipula, Cinta itu kan tidak dosa. Dan misalnya pun dosa, Budi rela menjadi orang berdosa asal bisa mencintai Sumi.Semalaman dia berpikir dan bertekad akan menunggu Sumi sampai wanita itu bercerai. Dia tak peduli jika ada yang menganggapnya sebagai pebinor alias perebut bini orang. Karena yang terpenting baginya adalah dia bisa membantu Sumi.***"Ini uang sakumu, Nduk," kata Sumi sambil menyodorkan uang lima