"Ris, kata orang-orang, ibumu pulang, ya?" Tanya Anggun, teman sekelas Risma yang memang terkenal usil.
Risma yang masih ngos-ngosan karena jalan kaki pun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih duduk terlebih dahulu lalu meminum air yang dibawanya dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, Risma bisa menempuh jarak yang 1 kilometer itu dengan berjalan kaki, tapi tetap saja dia ingin motor karena anak-anaknya di kelasnya hampir tak ada yang jalan kaki kecuali dirinya. Beberapa kali dia merengek pada bapaknya, tapi jawabannya selalu nanti, nanti, dan nanti. Padahal Risma tahu ibunya yang bekerja sebagai TKW itu selalu kirim uang ke rumah tiap bulan. Selain itu ... Risma juga tidak suka dengan buliknya yang saat ini tinggal bersamanya. Dia merasa sejak bapaknya menikah dan punya anak lagi, tidak ada lagi kasih sayang untuk dirinya. "Ditanyain kok bengong, sih? Berarti dekarang kamu punya dua ibu, dong?" tanya Anggun lagi dengan nada setengah mengejek. Akhirnya, teman-teman Risma yang kebetulan sudah ada di kelas pun berbisik-bisik dan Risma sama sekali tidak menyukai itu. Dia benci menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya dengan sebutan punya dua ibu dan dia juga benci pada ibunya karena membiarkan bapaknya menikah lagi! *** Sejak pagi Sumi tidak keluar rumah selain untuk menemui anak bungsunya. Hatinya terasa sakit ketika melihat Patno dan juga Santi. Ditambah lagi ketika melihat rumah yang ia bangun, tetapi orang lain yang menempati. Sumi bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya apa salahnya sampai-sampai anak kandungnya pun membenci dirinya. "Ngapain di dalam kamar terus to, Sum? Mbok yao nyapu-nyapu atau masak! Lihat rumah berantakan begini kok malah tiduran terus," omel emaknya dari luar kamar. Meski mendengar, Sumi tidak menjawab. Dia hanya meringkuk di atas kasurnya yang keras. Dia tidak peduli lagi rumah ibunya mau seperti kapal pecah atau kandang ayam. Lagipula, sudah berpuluh-puluh tahun dia bersih-bersih di rumah orang untuk keluarganya, tetapi apa balasannya setelah semua yang dia perjuangkan? Saat ini dia hanya ingin tidur sambil meratapi nasibnya yang tidak beruntung. Karena tak kunjung menyahut, Legi, ibunya Sumi langsung masuk ke dalam kamar anaknya dengan jengkel. "Kamu itu tuli apa gimana sih, Sum? Diomongi ora nyahut!" Sumi yang masih meringkuk di dalam selimut tidak menyahut. Dia memilih untuk abai terhadap kata-kata wanita paruh baya itu? Lagipula, buat apa menyahut? Toh, itu justru membuat Sumi semaki emosi. "Oalah, budek! Sudah berani ya Sum kamu sama emakmu?" umpat Legi ketika anaknya tak kunjung menjawab dan memilih untuk keluar kamar daripada darah tingginya kumat lagi. Perlahan air mata Sumi jatuh ke atas bantal ketika ibunya telah pergi. Dia tidak mengerti kenapa sekarang emaknya sering uring-uringan dan mengumpat padanya. *** "Untuk apa to Ibuk ke sini?" tanya Restu sinis ketika melihat ibunya sudah berada di kampusnya. Dia kesal karena Sumi datang tiba-tiba ke kampusnya tanpa memberitahu jauh-jauh hari. Dada Sumi berdenyut nyeri karena pertanyaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi? Dia datang tiba-tiba saat Restu sedang ada kuliah. "Ibuk kangen, Nduk. Dari kemarin Ibuk telepon, tapi gak kamu angkat," jawab Sumi dengan mata yang berkaca-kaca. Jauh-jauh dia naik bus dari Blora ke Semarang, tetapi begitu dingin sambutan Restu. Barangkali jika tadi dia tidak chat Restu dan bilang kalau ada di depan kampusnya, anak itu pasti tak akan mau menemui Sumi. "Sudah kubilang aku sibuk, Buk. Banyak tugas." "Boleh Ibuk nginep di kosmu? Ibu pengen ngobrol-ngobrol." "Kan sudah kubilang aku sibuk. Ngapain sih Ibuk datang ke mari? Mengganggu saja!" sentak Restu dengan gemas lalu meninggalkan ibunya yang berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Dipandanginya punggung Restu yang berjalan ke arah gedung dengan getir. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa anak-anaknya memusuhi dirinya. Di mana letak kesalahannya? Selama ini dia berusaha menyukupi kebutuhan mereka, memberikan apa yang dia inginkan, tapi kenapa seperti ini? Kenapa mereka menganggap ibu kandungnya seolah musuh mereka? Meninggalkan area kampus, Sumi berjalan tak tentu arah. Ketika melihat jam di ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore dan tiba-tiba perutnya berbunyi. Dia baru ingat kalau sejak pagi dia belum mengisi perutnya karena berencana ingin mengajak putrinya makan. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk membaca spanduk warung-warung yang berjejeran, Sumi memutuskan masuk ke warung tenda bertuliskan Warung Tahu Telur Bu Darmi. "Tahu telur setunggal, Bu. Pedes," pesan Sumi pada seorang ibu yang tengah mengulek sambal kacang. Barangkali itu untuk dua orang yang sedang duduk di pojokan sana. "Unjuk'ane nopo, Mbak?" "Es teh tawar, Bu," jawab Sumi kemudian duduk di kursi. Dengan sebar dia menunggu pemilik warung membuat makanan dan pesanan miliknya. Dan setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya makanannya tersaji di meja. "Monggo, Mbak," kata ibu penjual pada Sumi sembari menghidangkan tahu telur di depannya. "Minumannya tunggu sebentar ya, Mbak." "Iya, Bu. Sumi tersenyum tanpa berniat ingin meminta ibu penjual agar cepat melayaninya. Sumi paham betul sebagai penjual yang berjualan sendirian itu tidak mudah. Apalagi semua makanan dibuat serba dadakan. "Ini Mbak minumnya," kata di ibu sambil meletakkan es teh manis di depan Sumi. "Makasih, Bu." Sumi yang sedang mengunyah tahu telur langsung menyeruput es teh miliknya karena lidahnya kepedesan. "Maaf ya lama. Sampe kepedesan gitu." Sambil mengelap ingusnya dengan tisu, Sumi tersenyum. "Gak apa-apa, Bu. Sendirian, ya?" "Iya, Mbak. Setiap Ibu jualan sendiri. Narik gerobak, bobgkar tenda, angkat-angkat, semuanya juga sendiri. Habisnya mau gimana lagi wong gak ada yang bantuin." "Anaknya dan suaminya ke mana, Bu?" tanya Sumi tanpa bermaksud apa-apa. Biasanya kalau jualan begini, kalau gak dibantuin suami ya dibantuin anak. Wanita paruh baya itu pun akhirnya duduk di depan Sumi. Karena tidak ada lagi pembeli, dia bisa duduk santai sekarang. "Anak Ibu di Jakarta, Mbak. Sudah lama gak pulang. Sementara suami, udah kecantol wanita lain sejak Ibu jadi TKW di Hong Kong." "Pernah di HK, Bu? Kalau aku di Singapur." "Oalah. Sama-sama paripurna TKW kita," kata si ibu lagi sambil tertawa senang karena bertemu dengan teman seperjuangan. "Iya, Bu." "Ibu dulu di Taiwan 10 tahun. HK 16 tahun. Tapi gak dapat apa-apa, Mbak. Habis buat nyekolahin anak sampai sarjana. Bikin rumah, beli sawah, ee malah dijual-jualin semua sama suami gara-gara janda." Sumi masih memperhatikan cerita ibu itu sambil menghabiskan tahu telur di depannya. Begitu habis, dia baru menyahut." "Ibu asli Semarang?" "Bukan. Ibu itu aslinya Demak, kebetulan aja jualan di sini. Pokoknya laki-laki jaman sekarang tuh rela bikin istrinya jadi janda demi janda, Mbak. Pokoknya kalau kerja di luar negeri, pinter-pinter ngatur duit. Jangan semua dikirim ke suami. Bisa ludes buat main perempuan! Pokoknya harus punya tabungan sendiri, Mbak!" kata ibu itu lagi dengan menggebu-gebu. "He he he. Iya, Bu." Sumi hanya meringis. Habisnya mau menyahut bagaimana lagi? Apa yang dilarang penjual tahu telur itu ternyata sudah dia langgar semua. "Pastikan juga punya rekening sendiri atas nama pribadi, Mbak. Wis, to percaya Ibu. Pokoknya jangan percaya suami 100%!" "Ibu nikah lagi gak, Bu?" "Wis ora, Mbak. Ibu udah gak pengen nikah lagi. Habis Ibu ngurus cerai itu, Ibu fokus sama diri sendiri. Gak mikirin lagi yang namanya anak dan suami. Sudah puluhan tahu Ibu ngurus mereka, sekarang pengen fokus aja ngabisin sisa hidup. Ngibadah. Hepi-hepi." Sumi mengembuskan napas pelan. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah dia juga akan seperti bu Darmi itu? Tapi ... cerai? Kata yang satu itu belum terlintas di pikiran Sumi."Mak ... Mak? Siapa yang masuk kamarku?" teriak Sumi ketika melihat kopernya tergeletak di lantai dengan keadaan compang camping bekas dirobek dengan pisau. Dan begitu memeriksanya dengan teliti, uang sejumlah satu juta sudah raib dari sana padahal dia sengaja menyisakan uang di sana untuk membelikan Risma hadiah. Karena Emak tak kunjung menyahut, Sumi berjalan tergopoh-gopoh ke dapur. Ke tempat biasa Emak nongkrong dengan bapak tiri Sumi. "Mak, siapa yang masuk ke kamar Sumi?"Emak yang sedang ngopi membelalak pada anaknya dengan emosi. "Ono opo to kok teriak-teriak?""Siapa yang masuk kamarku dan ngerusak koperku, Mak?""Lha mana aku ngerti to, Sum? Seharian aku di sawah. Justru kamu itu yang seharian ke mana kok malam begini baru pulang?""Semarang, Mak. Ketemu Restu," jawab Sumi ketus lalu meninggalkan dapur. Dia yakin kalau ada orang yang mengambil uang yang dia sembunyikan di dalam koper. Untung saja tadi pagi dia mengambil uang yang lainnya dan membawanya ke bank untuk membuk
"Ngapain Mas Patno di sini?" sentak Sumi kaget ketika dia merasakan seseorang mengelus kakinya. Dengan cepat dia menekuk kakinya dan mundur ke pinggir ranjang. Entah kenapa dia merasa jijik saat kulit lelaki itu menyentuhnya. Patno yang sedang menelan ludah itu pun tersenyum yang membuat Sumi bergidik ngeri. "Jangan gitu dong, Sum. Aku ini kan masih suamimu."Hah, suami? Pikir wanita itu jengkel. Lebih baik aku gak punya suami daripada punya suami iblis macam kamu!"Sekarang pernikahan kita cuma ada di atas kertas, Mas. Cepat atau lambat kita akan bercerai.""Lho, siapa yang ingin bercerai? Aku juga belum bilang talak ke kamu.""Sudahlah, Mas. Pokoknya sekarang aku gak mau jadi istrimu lagi. Jijik!"Patno tersinggung dengan perkataan istrinya itu. Dia mengepalkan tangan lalu menaiki ranjang dan berusaha mendekati Sumi.Dirangkulnya wanita itu dan Patno berusaha mendekatkan bibirnya pada wajah Sumi, tetapi karena Sumi terus memberontak sekuat tenaga, Patno jadi kewalahan. "Diem, Sum.
Setelah mengambil uang satu juta dari ATM, Sumi memasukkan uang itu ke dalam tas dengan hati-hati. Untung saja dia masih memiliki uang gaji, bonus hari raya, dan juga bonus dari majikannya. Jika tidak, dia pasti akan lebih bingung dan pusing karena di kampung sekarang semua serba uang dan serba mahal. Jika dulu Sumi ngojek dari rumah ke pasar, biayanya masih lima ribu. Kalau sekarang, paling tidak empat puluh ribu. Dia berencana memberikan sebagian uang itu pada Legi dan sebagian lainnya dia ingin menggunakan untuk kebutuhannya sendiri. Dia juga ingin mengajak Risma makan dan jalan-jalan. Semoga saja anak itu tidak menolaknya karena tadi saat dia ingin bicara dengannya ketika akan pergi ke sekolah, anak itu langsung lari menghindari Sumi. "Mbak Sumi? Betul Mbak ini Mbak sumi?" tanya seorang pria yang baru saja turun dari mobil ketika melihat Sumi keluar dari bilik ATM. Sumi jadi bingung. Dia tidak mengenali lelaki itu. Dilihat betul-betul wajahnya, tetap saja dia gak kenal. "Siapa
Sumi mendesah pelan ketika akhirnya Budi tidak langsung membawanya ke rumah, tetapi malah ke warung makan. Dan mau tak mau Sumi pun duduk daripada harus ribut dulu. Malu kan kalau jadi tontonan orang-orang?"Ayo Mbak pesen," kata Budi ketika Sumi hanya diam memandangi makanan-makanan itu."Kalau aku yang pesenkan, satu warung nanti tak borong semua, lho," lanjut pria itu sambil memarkan senyum yang memang selalu jadi andalannya.Karena takut Budi akan benar-benar melaksanakan apa yang dikatakannya, Sumi langsung memesan. "Nasi pecel satu, Mbak. Disiram kuah semur, nggih.""Minumnya nopo, Mbak?" tanya penjaga warung itu dengan ramah."Es teh manis mawon."Pandangan mata penjaga warung itu pun langsung berpindah pada Budi yang menyalakan rokoknya. "Mas makannya apa?""Lontong tahu, Mbak. Sama es jeruk," kata Budi santai sambil mengisap dalam-dalam rokok yang tidak pernah absen ketika dia sedang makan.Begitu makanan disajikan, Sumi terlihat sangat menikmati nasi pecel yang dipincuk deng
Sumi tersenyum bahagia ketika membaca pesan dari Risma. Rupanya anak itu sedikit mau membuka hati untuk ibunya. "Risma mau makan di mall." Itulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas.Tanpa pikir panjang Sumi langsung menyiyakan dan meminta Risma untuk bersiap-siap untuk makan malam. "Ibuk tunggu di depan rumah ya, Nduk," balas Sumi sambil cengar-cengir sendirian. Padahal hanya makan bersama anak sendiri, tapi girangnya bukan main seperti akan kencan dengan kekasih. Setelah sepuluh menit Sumi menunggu di depan rumah, Sumi melihat Risma keluar dari dalam. Anak remaja itu mengenakan baju gamis dan juga jilbab yang berwarna senada. Sumi berdecak kagum akan kecantikan putrinya. Dia yakin kalau sudah dewasa nanti, Risma akan menjadi rebutan para pemuda. Ah, Sumi jadi membayangkan dia jadi nenek dan menimang cucu dari anak-anaknya."Mau makan apa, Nduk?" tanya Sumi begitu mereka turun dari mobil yang dicarter Sumi. Dia tak ingin anaknya kelelahan naik ojek, itu sebabnya dia menyewa
Waktu baru menunjukkan pukul empat, tapi Sumi sudah terbangun. Dengan sangat hati-hati dia bangkit dari kasur agar tidak membangunkan Risma. Sebelum pergi dari kamar itu, Sumi membetulkan selimut yang menutupi tubuh cungkring Risma. "Maafkan Ibuk, Nduk. Ibuk sudah jahat padamu karena ketidak tahuan Ibuk," gumam Sumi sambil menghapus air matanya.Setelah itu Sumi mengambil ayam goreng semalam lalu mengendap-endap keluar dari rumahnya sendiri seperti maling dan pulang ke rumah emaknya. Begitu dia selesai mengganti baju dan menaruh tasnya di kamar, Sumi langsung menuju dapur untuk menanak nasi. Dia juga membuka kulkas dan mencari sesuatu yang barangkali dimasak untuk sarapan. Tak lupa juga Sumi mencari kotak makan di dalam lemari yang isinya semrawut bukan main. Dia ingat sekali dulu pernah membeli banyak tupperware. Begitu ketemu, Sumi langsung mencuci tupperware itu dan menyiapkannya untuk membawakan bekal pada Risma. "Ngapain ke sini lagi, Mbak?" tanya Santi di ruang tamu yang sed
"Ngapain sih Mbak ke sini lagi?" tanya Santi kesal ketika melihat kakaknya muncul lagi di rumah yang dianggap rumahnya. Ditambah lagi Sumi bawa-bawa sapu begitu. Bikin gondok saja! Masuk rumah orang sudah seenak jidat, tanpa permisi pula!"Bersihin kamar Risma," jawab Sumi tak kalah judesnya. "Pergi keluar sana kalau gak mau kena debu yang bikin asmamu kumat!" katanya lagi tak kalah gondok dengan Santi. Ini kan rumahnya, jadi Sumi bebas masuk sesuka hatinya.Santi yang sedang mengajak main anaknya langsung meremas balon milik Khalisa hingga meletus. Dia ingin sekali mengusir Sumi dari rumah itu, tapi dia tak berdaya. Dan kalau ngadu sama suaminya, Patno pasti hanya akan menyuruhnya sabar. Huh, bikin kesal saja!Begitu Sumi selesai mengemas barang-barang Risma, dia langsung meminta tolong pada tetangganya untuk mengangkat kasur dan juga mencabut ambalan yang ada di tembok. Begitu selesai, dia langsung membersihkan kamar itu dan langsung menelepon Pak Joyo untuk mengantar barang-barangn
Sumi langsung berdiri ketika sebuah mobil berhenti di halaman rumahnya. Dia tahu persis mobil siapa itu, tetapi dia tidak tahu bahwa anaknya ada di dalam mobil milik Budi Hartono. Begitu Budi Hartono turun dari mobil dengan wajah cemas tanpa menyapa Sumi terlebih dahulu, Sumi menjadi bingung. Namun, saat Budi membuka pintu lain mobil dan menggendong seorang anak perempuan, barulah Sumi mengerti apa yang terjadi. Rupanya lelaki itu mengantar anaknya."Risma!" Sumi memanggil anaknya dengan cemas. "Kamu jatuh di mana, Nduk?" tanyanya cemas. "Di sana, Mbak," sahut Budi meski tahu pertanyaan itu bukan untuknya. "Ini mau ditaruh mana, Mbak?"Sumi yang panik pun tidak bisa berpikir jernih. Dia melihat ke arah anaknya bergantian sambil melihat teras."Aku taruh sini ya, Mbak," kata Budi berinisiatif menaruh Risma di teras. "Mbak Sum punya obat merah?""Ah! Kamu tunggu di sini dulu, Bud. Aku ke toko sebentar."Buru-buru Sumi pergi ke toko yang tak jauh dari rumahnya. Toko itu tepat berada di