Share

7

"Ris, kata orang-orang, ibumu pulang, ya?" Tanya Anggun, teman sekelas Risma yang memang terkenal usil. 

Risma yang masih ngos-ngosan karena jalan kaki pun tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih duduk terlebih dahulu lalu meminum air yang dibawanya dari rumah. 

Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, Risma bisa menempuh jarak yang 1 kilometer itu dengan berjalan kaki, tapi tetap saja dia ingin motor karena anak-anaknya di kelasnya hampir tak ada yang jalan kaki kecuali dirinya. 

Beberapa kali dia merengek pada bapaknya, tapi jawabannya selalu nanti, nanti, dan nanti. Padahal Risma tahu ibunya yang bekerja sebagai TKW itu selalu kirim uang ke rumah tiap bulan.

Selain itu ... Risma juga tidak suka dengan buliknya yang saat ini tinggal bersamanya. Dia merasa sejak bapaknya menikah dan punya anak lagi, tidak ada lagi kasih sayang untuk dirinya. 

"Ditanyain kok bengong, sih? Berarti dekarang kamu punya dua ibu, dong?" tanya Anggun lagi dengan nada setengah mengejek.

Akhirnya, teman-teman Risma yang kebetulan sudah ada di kelas pun berbisik-bisik dan Risma sama sekali tidak menyukai itu. Dia benci menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya dengan sebutan punya dua ibu dan dia juga benci pada ibunya karena membiarkan bapaknya menikah lagi!

***

Sejak pagi Sumi tidak keluar rumah selain untuk menemui anak bungsunya. Hatinya terasa sakit ketika melihat Patno dan juga Santi. Ditambah lagi ketika melihat rumah yang ia bangun, tetapi orang lain yang menempati. 

Sumi bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya apa salahnya sampai-sampai anak kandungnya pun membenci dirinya. 

"Ngapain di dalam kamar terus to, Sum? Mbok yao nyapu-nyapu atau masak! Lihat rumah berantakan begini kok malah tiduran terus," omel emaknya dari luar kamar. Meski mendengar, Sumi tidak menjawab. Dia hanya meringkuk di atas kasurnya yang keras. Dia tidak peduli lagi rumah ibunya mau seperti kapal pecah atau kandang ayam. 

Lagipula, sudah berpuluh-puluh tahun dia bersih-bersih di rumah orang untuk keluarganya, tetapi apa balasannya setelah semua yang dia perjuangkan?

Saat ini dia hanya ingin tidur sambil meratapi nasibnya yang tidak beruntung. 

Karena tak kunjung menyahut, Legi, ibunya Sumi langsung masuk ke dalam kamar anaknya dengan jengkel. "Kamu itu tuli apa gimana sih, Sum? Diomongi ora nyahut!"

Sumi yang masih meringkuk di dalam selimut tidak menyahut. Dia memilih untuk abai terhadap kata-kata wanita paruh baya itu? Lagipula, buat apa menyahut? Toh, itu justru membuat Sumi semaki emosi. 

"Oalah, budek! Sudah berani ya Sum kamu sama emakmu?" umpat Legi ketika anaknya tak kunjung menjawab dan memilih untuk keluar kamar daripada darah tingginya kumat lagi. 

Perlahan air mata Sumi jatuh ke atas bantal ketika ibunya telah pergi. Dia tidak mengerti kenapa sekarang emaknya sering uring-uringan dan mengumpat padanya.

***

"Untuk apa to Ibuk ke sini?" tanya Restu sinis ketika melihat ibunya sudah berada di kampusnya. Dia kesal karena Sumi datang tiba-tiba ke kampusnya tanpa memberitahu jauh-jauh hari. 

Dada Sumi berdenyut nyeri karena pertanyaan putrinya, tapi mau bagaimana lagi? Dia datang tiba-tiba saat Restu sedang ada kuliah. 

"Ibuk kangen, Nduk. Dari kemarin Ibuk telepon, tapi gak kamu angkat," jawab Sumi dengan mata yang berkaca-kaca. Jauh-jauh dia naik bus dari Blora ke Semarang, tetapi begitu dingin sambutan Restu. Barangkali jika tadi dia tidak chat Restu dan bilang kalau ada di depan kampusnya, anak itu pasti tak akan mau menemui Sumi. 

"Sudah kubilang aku sibuk, Buk. Banyak tugas."

"Boleh Ibuk nginep di kosmu? Ibu pengen ngobrol-ngobrol."

"Kan sudah kubilang aku sibuk. Ngapain sih Ibuk datang ke mari? Mengganggu saja!" sentak Restu dengan gemas lalu meninggalkan ibunya yang berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. 

Dipandanginya punggung Restu yang berjalan ke arah gedung dengan getir. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa anak-anaknya memusuhi dirinya. Di mana letak kesalahannya? Selama ini dia berusaha menyukupi kebutuhan mereka, memberikan apa yang dia inginkan, tapi kenapa seperti ini? Kenapa mereka menganggap ibu kandungnya seolah musuh mereka?

Meninggalkan area kampus, Sumi berjalan tak tentu arah. Ketika melihat jam di ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore dan tiba-tiba perutnya berbunyi. 

Dia baru ingat kalau sejak pagi dia belum mengisi perutnya karena berencana ingin mengajak putrinya makan. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk membaca spanduk warung-warung yang berjejeran, Sumi memutuskan masuk ke warung tenda bertuliskan Warung Tahu Telur Bu Darmi. 

"Tahu telur setunggal, Bu. Pedes," pesan Sumi pada seorang ibu yang tengah mengulek sambal kacang. Barangkali itu untuk dua orang yang sedang duduk di pojokan sana.

"Unjuk'ane nopo, Mbak?"

"Es teh tawar, Bu," jawab Sumi kemudian duduk di kursi. Dengan sebar dia menunggu pemilik warung membuat makanan dan pesanan miliknya. Dan setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya makanannya tersaji di meja. 

"Monggo, Mbak," kata ibu penjual pada Sumi sembari menghidangkan tahu telur di depannya. "Minumannya tunggu sebentar ya, Mbak."

"Iya, Bu. Sumi tersenyum tanpa berniat ingin meminta ibu penjual agar cepat melayaninya. Sumi paham betul sebagai penjual yang berjualan sendirian itu tidak mudah. Apalagi semua makanan dibuat serba dadakan. 

"Ini Mbak minumnya," kata di ibu sambil meletakkan es teh manis di depan Sumi.

"Makasih, Bu." Sumi yang sedang mengunyah tahu telur langsung menyeruput es teh miliknya karena lidahnya kepedesan. 

"Maaf ya lama. Sampe kepedesan gitu."

Sambil mengelap ingusnya dengan tisu, Sumi tersenyum. "Gak apa-apa, Bu. Sendirian, ya?"

"Iya, Mbak. Setiap Ibu jualan sendiri. Narik gerobak, bobgkar tenda, angkat-angkat, semuanya juga sendiri. Habisnya mau gimana lagi wong gak ada yang bantuin."

"Anaknya dan suaminya ke mana, Bu?" tanya Sumi tanpa bermaksud apa-apa. Biasanya kalau jualan begini, kalau gak dibantuin suami ya dibantuin anak. 

Wanita paruh baya itu pun akhirnya duduk di depan Sumi. Karena tidak ada lagi pembeli, dia bisa duduk santai sekarang. 

"Anak Ibu di Jakarta, Mbak. Sudah lama gak pulang. Sementara suami, udah kecantol wanita lain sejak Ibu jadi TKW di Hong Kong."

"Pernah di HK, Bu? Kalau aku di Singapur."

"Oalah. Sama-sama paripurna TKW kita," kata si ibu lagi sambil tertawa senang karena bertemu dengan teman seperjuangan.

"Iya, Bu."

"Ibu dulu di Taiwan 10 tahun. HK 16 tahun. Tapi gak dapat apa-apa, Mbak. Habis buat nyekolahin anak sampai sarjana. Bikin rumah, beli sawah, ee malah dijual-jualin semua sama suami gara-gara janda."

Sumi masih memperhatikan cerita ibu itu sambil menghabiskan tahu telur di depannya. Begitu habis, dia baru menyahut."

"Ibu asli Semarang?"

"Bukan. Ibu itu aslinya Demak, kebetulan aja jualan di sini. Pokoknya laki-laki jaman sekarang tuh rela bikin istrinya jadi janda demi janda, Mbak. Pokoknya kalau kerja di luar negeri, pinter-pinter ngatur duit. Jangan semua dikirim ke suami. Bisa ludes buat main perempuan! Pokoknya harus punya tabungan sendiri, Mbak!" kata ibu itu lagi dengan menggebu-gebu. 

"He he he. Iya, Bu." Sumi hanya meringis. Habisnya mau menyahut bagaimana lagi? Apa yang dilarang penjual tahu telur itu ternyata sudah dia langgar semua. 

"Pastikan juga punya rekening sendiri atas nama pribadi, Mbak. Wis, to percaya Ibu. Pokoknya jangan percaya suami 100%!"

"Ibu nikah lagi gak, Bu?"

"Wis ora, Mbak. Ibu udah gak pengen nikah lagi. Habis Ibu ngurus cerai itu, Ibu fokus sama diri sendiri. Gak mikirin lagi yang namanya anak dan suami. Sudah puluhan tahu Ibu ngurus mereka, sekarang pengen fokus aja ngabisin sisa hidup. Ngibadah. Hepi-hepi."

Sumi mengembuskan napas pelan. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah dia juga akan seperti bu Darmi itu? Tapi ... cerai? Kata yang satu itu belum terlintas di pikiran Sumi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status